Negeri Rawan Gempa, Minim Tanggap Bencana

  • Bagikan
negeri rawan gempa Foto: media oposisi

SULTRAKINI.COM: Duka masih menyelimuti wilayah Palu dan sekitarnya. Daerah mutiara khatulistiwa itu lumpuh total usai diguncang gempa 7,4 SR disusul sapuan tsunami. Pasca dua bencana dahsyat tersebut, tinggalah bangunan rata dengan tanah, listrik padam, air bersih, makanan dan BBM langka hingga warga yang tak tahu sampai berapa lama akan bertahan hidup.

Listrik dan BBM merupakan dua hal krusial yang sangat dibutuhkan korban gempa. Dengan listrik setidaknya warga bisa mengembalikan fungsi sejumlah alat rumah tangga. Sementara itu, BBM dibutuhkan untuk mobilitas warga baik menjemput bola bantuan yang ada maupun mencari sanak keluarga yang hilang (Merdeka.com, 05/10/2018).

Dua hari setelah gempa berkekuatan 7,4 skala Richter disusul tsunami yang menghantam Kabupaten Donggala dan Kota Palu di Sulawesi Tengah, Presiden Joko Widodo akhirnya membuka pintu bagi masuknya bantuan internasional.

Kebijakan itu diambil setelah pemerintah kewalahan melakukan penanganan darurat terhadap korban gempa dan tsunami yang terus bertambah. Belum lagi rusaknya infrastruktur yang mengakibatkan layanan kebutuhan dasar, seperti pangan yang tidak dapat dipenuhi.

Dilansir dari Voaislam.com, 04/10/2018, Dalam jumpa pers mingguan di kantornya, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir menjelaskan sejak hari pertama terjadinya gempa dan tsunami, berbagai negara sudah menawarkan bantuan kemanusiaan baik yang disampaikan langsung melalui Presiden Joko Widodo atau Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

Arrmanatha menambahkan Satuan Tugas Nasional Penanganan Gempa dan Tsunami Palu telah menginventarisir kebutuhan mendesak dalam masa tanggap darurat. Arrmanatha mengatakan bahwa bantuan asing yang diharapkan, diprioritaskan adalah pesawat terbang, pesawat angkut seperti C-130 atau sejenisnya, tenda pengungsi, alat pengolahan air, genset, rumah sakit lapangan, dan peralatan medisnya.

Menurut Arrmanatha, sampai saat ini sudah ada 18 negara dan dua organisasi internasional yang sudah memberikan daftar bantuan secara konkret, termasuk Amerika Serikat, Prancis, Turki, dan Arab Saudi. Dia mengatakan pesawat yang membawa bantuan kemanusiaan dari Singapura dan India sudah mendarat di Balikpapan dan Palu (Voaislam.com, 05/10/2018).

Tetapi mengapa sudah dua minggu berlalu. Namun duka kota Palu masih lah pilu. Masih banyak masyarakat yang mengadu belum menemukan anggota keluarganya. Upaya pencarian korban pun masih terus  dilakukan. Namun, minimnya alat berat tentu semakin mempersulit tugas tim pencari korban. Apalagi BNPB menetapkan akan menghentikan status tanggap darurat Palu dan Donggala mulai 11 Oktober (Liputan6.com, 07/10/2018).

Kepiluan Kota Palu belumlah berhenti sampai di situ. Bagaimana tidak, nasib warga Kota Palu yang selamat masih lah belum jelas. Pendistribusian bantuan berupa makanan dan logistik yang mengalami masalah. Sehingga membuat beberapa daerah belum tersentuh oleh bantuan pemerintah. Bahkan digambarkan oleh warga sekitar bahwa kondisi kota palu pasca bencana bak hukum rimba. Siapa kuat dialah yang menang (Merdeka.com, 3/10/2018). Ajaibnya, diberitakan bahwa pengungsi gempa di Sulawesi Tengah dimintai kartu identitas saat hendak mengambil minum (Tribunnews.com, 7/10/2018).

Mengapa bisa seperti itu? Nasib Palu-Donggala masih tak jelas. Kemana penguasa? Seakan-akan Pemerintah tak serius dalam menangani dampak bencana alam yang terjadi. Bisa kita lihat bagaimana pemerintah seakan enggan memberikan status bencana nasional baik di Lombok maupun Palu. Akibatnya pemerintah pusat punya alasan sendiri untuk membantu seadanya. Karena dianggap masih ada pemerintah daerah yang lebih berperan menanganinya.

Pemerintah hanya sibuk pencitraan dimana-mana tanpa aksi nyata untuk membantu bencana Palu-Donggala, dan mereka lebih sibuk dengan persiapan agenda IMF-World Bank di Bali yang begitu mewah. Inilah bukti bahwa para pemimpin saat ini hanyalah pelayan para kapitalis, bukan penjamin terpenuhinya hajat hidup rakyat.

Inilah buah dari sistem demokrasi kapitalis. Sehingga lahirlah kepemimpinan yang tak handal dalam mengayomi umat. Karena penguasa di sistem ini hanya mementingkan pihak korporasi yang dapat menghasilkan modal buat mereka.

Mengeluarkan dana untuk menangani dampak bencana tentu sangatlah berat bagi pemimpin di rezim ini. Pada akhirnya, penguasa pun lebih mengandalkan bantuan pihak asing. Padahal tak ada yang gratis di dunia ini tentu menjadi prinsip kaum penjajah. Sehingga semakin kuat lah cengkraman dan dominasi negeri-negeri barat di tanah air.

Sungguh miris jika mengandalkan pemimpin pada rezim ini. Kurang adanya perhatian dan tanggung jawab. Sedangkan jika dalam Islam, pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas rakyat yang dipimpinnya. Bukan sibuk dengan urusan pribadinya, sehingga tidak memperdulikan rakyat yang tengah tertimpah bencana.

Karena itu kita harus menyadari bahwa umat butuh pemimpin yang dapat mengurus dan melindunginya serta menjaganya. Tentunya tak hanya sekedar ketika bencana menimpa negeri. Terbukti dengan sistem Islam dapat mewujudkan itu semua. Sejarah pun mencatat bahwa dibawah naungan kepemimpinan Islam umat berada dalam kesejahteraan yang nyata. Bahkan pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz terjadi kelimpahan dana zakat karena tidak ada lagi rakyat miskin yang berhak menerima.

Maka dari itu, jelaslah dengan kepemimpinan Islam  maka umat akan terayomi dengan baik. Sehingga kepiluan seperti yang dialami kota palu ini tak akan berkepanjangan seperti ini. Karena penguasa dalam kepemimpinan Islam tak mungkin lari dari tanggung jawabnya untuk menjaga umat. Wallahu alam bisshawab.

Oleh : Estriani Safitri, Amd. Keb (Muslimah Media Konawe)

  • Bagikan