Ombudsman Subjektif

  • Bagikan
Ketua Komisi I DPRD Sultra, LM Taufan Alam (kiri) saat diwawancarai M Djufri Rachim dari SULTRAKINI.COM. (Foto: Merry Malewa/SULTRAKINI.COM)

Wawancara Khusus dengan Ketua Komisi 1 DPRD Soal Seleksi KPID

Panitia seleksi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sulawesi Tenggara telah menelorkan 7 nama calon anggota KPI periode 2016-2019. Mereka sudah siap dilantik, namun di tengah jalan muncul masalah. Sejumlah pihak memprotes hasil rekrutmen yang dianggap cacat prosedur. Bahkan lembaga pemantau pelayanan publik Ombudsman mengeluarkan rekomendasi pembatalan hasil seleksi anggota KPID. Ketua Komisi I DPRD Sultra, LM Taufan Alam, menjawab semua itu kepada M Djufri Rachim dari SultraKini.com. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Anda menjelaskan adanya sorotan rekrutmen anggota KPID yang dilaksanakan Komisi I DPRD Sultra?
Saya mulai dulu dengan kronologis. Pada bulan Juni atau Juli 2015 ada laporan dari sekretaris KPID Sultra bahwa masa jabatan KPID Sultra sudah berakhir. Dalam peraturan KPI, enam bulan sebelum berakhir masa jabatannya semestinya ada pemberitahuan kepada DPRD sehingga kalaupun belumada rekrutmen maka bisa diperpanjang masa jabatannya. Karena tidak ada laporan maka kita menganggap KPI ini vakum untuk sementara waktu. Mereka berakhir masa jabatan, tidak ada perpanjangan juga tidak ada rekrutmen.

Lantas apa yang dilakukan DPRD?
Kita mencari legal standing nya. Sekretaris KPID memberikan kita UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Peraturan KPI No.1 tahun 2014 tentang Kelembagaan KPI. Ada tiga buku yang diberikan kepada kita. Kita kaji semuanya. Dalam pasal 10 (UU No.32 Tahun 2002), jelas bahwa anggota KPID dipilih oleh DPRD provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka. Setelah itu kita lihat juga Per-KPI yang mengatur secara internal, setelah kita kaji ternyata ada beberapa hal yang memang tidak bisa kita lakukan terkait keterbatasan anggaran.

Hal apa saja yang tidak bisa dipenuhi dalam per-KPI tersebut?
Ada beberapa hal yang memang tidak bisa lakukan misalnya adalah pelibatan tim seleksi dari luar dan menyangkut tes psikologi. Ada dua lembaga yang berkompoten melakukan tes psikologi, yakni di UI (Jakarta) dan di Bandung. Setelah kita konsultasi ternyata biayanya Rp20 juta per orang. Artinya dengan biaya begitu untuk pendaftar 100 orang maka kita butuhkan biaya Rp2 miliar, belum lagi honor timnya. Sementara dalam APBD 2015 dan 2016 kita tidak ada biaya Rp2 miliar hanya untuk seleksi.

Memang berapa biaya yang disediakan untuk seleksi KPID ini?
Kalau anggaran yang disiapkan saya tidak tahu. Hanya untuk urusan perjalanan dinas, namun tidak ada menyiapkan untuk urusan proses seleksi, tidak ada honor, tidak ada untuk tes psikologi, sementara dibutuhkan Rp2 miliar lebih.

Terus bagaimana selanjutnya?
Setelah ada hambatan itu, maka pada tanggal 10 sampai 13 November 2015 kita lakukan konsultasi ke KPI pusat terkait beberapa hal. Pertama soal beberapa per-KPI yang tidak bisa kita jalankan, kedua bagaimana dengan incumbent yang sudah berakhir masa jabatannya. Hasilnya adalah, terkait dengan incumbent sebenarnya seandainya mereka masih tetap melakukan prosedur dan menyampaikan, sebenarnya dalam rangka menjaga kesinambungan program harusnya ada dari incumbent. Ada kompensasi yang diberikan kepada incumbent, yakni setelah mendaftar tidak perlu mengikuti ujian tertulis. Tetapi konteksnya, ini sudah tidak…

Apa penyebabnya?
Dia vakum. Penyebabnya adalah tidak ada penyampaian enam bulan sebelumnya tadi, sehingga tidak ada perpanjangan masa jabatan.

 

Pemberitahuan enam bulan sebelumnya tadi dalam bentuk apa?
Bentuknya dalam laporan ke DPRD. Itu yang mereka tidak lakukan, sehingga kita anggap tidak ada. Maka seleksi terhadap calon dari incumbent kita perlakukan sama dengan yang lainnya.

Hal apa lagi yang disampaikan KPI Pusat?
Dalam bahasa Sekjen KPI bahwa KPID itu adalah anak kandung DPRD. Dalam khirarkis per-Undang-Undangan kita, mulai UUD kemudian Ketetapan MPR, UU, Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden yang biasanya dijabarkan dalam peraturan menteri, kemudian ada peraturan daerah provinsi dan perda kabupaten. Maka kita simpulkan dengan KPI pusat bahwa Per-KPI ini bukanlah produk undang-undang dan yang melaksanakan tes adalah DPRD Provinsi maka DPRD Provinsi hanya tunduk kepada undang-undang bukan tunduk pada per-KPI. Namun demikian kita tidak hilangkan secara total, melainkan mengadopsi beberapa item karena keterbatasan anggaran. Nah sepulangnya itu, kita laporkan kepada pimpinan DPRD. Maka lahirlah tim seleksi.

Jadi DPRD melahirkan tim seleksi. Unsurnya dari mana saja?
Ada tim seleksi yang diputuskan oleh pimpinan DPRD. Unsurnya dari pemerintah, dari DPRD sendiri. Kita menganggap bahwa yang dari DPRD ini juga adalah unsur tokoh masyarakat karena anggota DPRD itu juga adalah tokoh masyarakat. Ada juga dari luar seperti sekretaris KPID. Yang tidak bisa kita ambil dari luar karena ada konsekuensi biaya. Kalau kita yang dari komisi satu adalah melengket sebagai tugas sehingga tidak perlu dihonor untuk itu.

Komposisi tim seleksinya bagaimana?
Ada…. kalau dari DPRD semua komisi satu masuk, sebanyak sembilan orang.

Apa selanjutnya yang dilakukan oleh tim seleksi ini?
Kita mengumumkan secara terbuka proses pendaftaran calon anggota KPID. Dari sekitar 100 orang pendaftar, hanya satu orang yang tidak lolos seleksi administrasi karena bukan ijazah sarjana. Karena memang syarat yang kita sampaikan harus sarjana.
Selanjutnya kita lakukan tes tertulis. Di sini kita koordinasi dengan pihak luar, termasuk BKAD, bagaimana untuk menetapkan kelulusan seseorang. Kita kemudian membuatkan soal dengan bobot tertentu dan harus memenuhi passing grade 70. Namun setelah dilihat hasilnya yang lolos tidak cukup 10 orang, sehingga kita rapat kembali untuk menurunkan passing grade 60 dan hasilnya bisa mencapai 15 orang yang lolos.

Kalau begitu kenapa ada pihak yang tidak puas?
Nah, orang yang melapor ini bernama Baramuddin SE, yang kemudian dijadikan dasar oleh ombudsman, itu adalah ranking 63 dari jumlah pendaftar dan nilainya 22, sementara passing grade 60, nah bagaimana mungkin bisa diloloskan.

 

Setelah itu langkah apa yang dilakukan selanjutnya?
Jadi kita buka ruang untuk masyarakat yang melapor. Setelah itu kita melakukan fit and proper test. Di sini ada tiga indikator yang kita pakai, pertama dukungan masyarakat, kedua bagaimana kemampuan intelektual dan ketiga bagaimana dengan integritas. Dari tiga indikator inilah kemudian yang melahirkan tujuh orang calon anggota KPID. Jadi jelas bahwa legal standing kita pakai adalah UU No.32 tahun 2002.

Ombudsman menilai ada maladministrasi dalam proses rekrutmen itu. Bagaimana Anda menanggapinya?
Aneh kemudian ombudsman menyampaikan bahwa ada maladministrasi, sementara dalam UU pembentukan ombudsman definisi maladminstrasi itu adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, termasuk kelalaian kewajiban hukum yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau in materiil. Pertanyaannya adalah hukum mana yang dilanggar oleh DPRD, sementara kita melakukan ini berdasarkan perundangan yang ada. Memang ada beberapa pasal yang kita abaikan dari Per-KPI, tetapi bahwa berdasarkan penjelasan hasil konsultasi kita, mengabaikan itu karena Sekjen KPI mengatakan bahwa pada akhirnya Per-KPI itu bukanlah undang-undang. Karena memang tidak bisa dilakukan.

 

Bagaimana dong tim seleksi memandang penilaian umbudsman itu. Apa klarifikasinya?
Saya melihat ombudman subjektif dalam mengeluarkan rekomendasi. Kita masih menelusuri bagaimana hubungan sipelapor dengan orang-orang di ombudsman, ternyata informasi awal bahwa sipelapor dengan salah satu anggota ombudsman di sana adalah teman seangkatan di kampus. Kita melihat ini subjektif sekali sebenarnya.

Tapi kan dalam mengambil keputusan tentu ada landasan acuan ombudsman?
Sampai hari ini belum ada rekomendasi mereka sampai kepada kami. Aturannya dalam ombudsman bahwa 14 hari sudah harus masuk kepada terlapor.

Jadi belum ada rekomendasi yang masuk kepada Anda selaku Ketua Komisi Satu?
Sampai hari ini belum masuk. Kami hanya mengetahui melalui media massa. Oleh karenanya saya menjadwalkan mestinya hari Jumat kemarin dengar pendapat dengan ombudsman namun karena masih reses maka akan dijadwalkan setelah reses. Sekali lagi kami menganggap ini adalah subjektivitas dan kita akan lakukan klarifikasi, karena ini menyangkut integritas. Pada saat dia katakan maladminsitrasi berarti ada pelanggaran hukum kita sementara kita bekerja berdasarkan undang-undang.

  • Bagikan