Pajak Ditengah Nestapa Penderitaan Rakyat

  • Bagikan

Kompas.com edisi 17 Agustus setahun silam pernah melansir sebuah berita mengenai materi sadar pajak agar diselipkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Direktur jenderal  pajak Ken Dwijugiaseteadi mengatakan “Mungkin nanti selanjutnya, pegawai pajak akan ngajar seminggu sekali di SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi” Meskipun materi pajak tidak akan hadir sebagai satu mata pelajaran khusus melainkan akan diselipkan pembahasan terkaitnya melalui pelajaran-pelajarn Bahasa, Sejarah, Pancasila dan Agama.

Pada tahun ini kebijakan mengenai sadar pajak di kalangan pelajar sedikit mengalami evolusi. Mengingat jumlah lulusan mahasiswa pada setiap tahunnya dari berbagai kampus di Indonesia bukanlah jumlah yang sedikit. Ada 1,8 juta mahasiswa yang diwisuda tiap tahunnya. Korelasinya dengan kebijakan sadar pajak ialah dengan menetapkan setiap lulusan agar disertai dengan NPWP. Hal ini pun disambut baik oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir. Bahkan beliau telah meminta para rektor untuk mengurus hal ini. Agar mahasiswa ketika wisuda sudah memiliki kartu NPWP (09/11/18).

Namun, kartu ini tidak serta merta berlaku atas mahasiswa terkecuali ketika yang bersangkutan telah mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan gaji yang masuk dalam kategori wajib pajak. Kebijakan ini diharapkan sebagai bentuk sumbangsi mahasiswa dalam membangun negeri. Beberapa hari lalu Sri Mulyani Indrawati dalam seminar yang bertajuk pajak bertutur: Pahlawan zaman now di kampus UB Malang. Beliau menilai bahwa tugas konstitusi untuk mengumpulkan penerimaan pajak tidaklah  mudah, dibutuhkan kesadaran serta pemahaman yang harusnya ditanamkan sejak usia dini. Untuk itu dilakukan MoU bersama lima lembaga tinggi negara yang memiliki andil besar terhadap pelajar di Indonesia. Diantaranya Kemenag, Kemendagri, LIPI, Kemendikbud, serta Kemenristekdikti. Untuk membantu dalam mensukseskan agenda ini.

Potensi pajak memang cukup menjanjikan untuk menopang pendapatan Negara. Sri Mulyani bahkan kembali memperjelas bahwa penerimaan pajak di Indonesia mencapai 1.500 triliun hingga 1.600 triliun. Apabila tax ratio bisa dinaikan 16 persen maka potensi dana yang dapat dikumpulkan mencapai 750 triliun. Maka target inilah yang dikejar oleh pemerintah. Sebab berdasarkan hasil pemantauan kesadaran wajib pajak di kalangan masyarakat masih sangat kurang. Bahkan diantara 10 pekerja hanya ada 1 orang yang membayar pajak. Maka sesungguhnya masih banyak yang belum tersadarkan. Olehnya itu perlu untuk diadakan sosialisasi-sosialisasi terkait wajib pajak sejak dini melalui lembaga-lembaga pendidikan. Dengan harapan seluruh masyarakat memiliki kesadaran ataupun kemauan untuk membayar pajak.

Aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah diatas terkait pajak semakin menunjukan bahwa pajak merupakan sarana yang jitu untuk meraup pendapatan dalam jumlah triliun rupiah. Massifnya gerakan penyadaran masyarakat terkait pajak juga menggambarkan bahwa pendapatan bangsa ini sebagian besarnya darinya (pajak). Dan pajak masih sangat menjanjikan untuk memasok pendapatan kas negara.

Namun, satu hal yang harus diingat oleh penguasa. Bahwa saat ini masyarakat kita sedang dalam duka panjangnya yang belum sembuh malah kian menjadi. Sulitnya lapangan pekerjaan, mahalnya kebutuhan hidup serta minimnya pendapatan masih terus membayang-bayangi mereka bahkan menjadi teman dalam keseharian. Mampukah dengan kondisi demikian rakyat bisa membayar pajak? Makan saja pun susah. Bahkan sampai meminta-minta di jalanan.

Harusnya jika pemerintah menginginkan agar seluruh masyarakat membayar pajak maka pemerintah juga harus membuka lapangan pekerjaan. Namun, faktanya tidaklah demikian masyarakat harus berjuang mati-matian demi mengais rupiah bahkan yang diperoleh hanya sebatas mengisi perut. Untuk menabung pun kadang tak tersisihkan. Meskipun sosialisasi kesadaran pajak itu dimulai sedari dini, namun jika masyarakat tidak mempunyai pendapatan tiap harinya maka tetap saja tidak akan bisa tertunaikan keinginan untuk membayar pajak.

Belum lagi pajak yang harus dibayarkan bukan pada satu aspek saja, banyak hal yang semuanya dikenai pajak. Baik tanah, kendaraan dan lain-lain. Maka layakkah ini dikatakan untuk membangun negeri sementara untuk melakukannya rakyat sudah terbebani. Harusnya pemerintah mampu mengindera fakta kondisi masyarakat kita hari ini, Mengapa tidak mengoptimalkan hasil alam, yang jelas sungguh melimpah?. Bukankah masyarakat kita hari ini hidupnya sudah sangat sulit. Jika kewajiban pajak masih terus dieksiskan maka nasib rakyat kita ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Jika dalihnya sebagai bentuk kepedulian kepada bangsa dan negara maka kemana hasil alam kita yang banyak itu. Mengapa tidak dipakai untuk membangun bangsa? Mengapa rakyat yang sudah susah masih lagi dibebankan dengan kewajiban pajak?.

Selain itu, tidak ada kejelasan kemana alokasi dana pajak tersebut. Padahal hasilnya bisa mencapai ribuan triliun rupiah. Jika dikatakan untuk membangun bangsa memperbaiki infrastruktur, buktinya masih banyak dijumpai wilayah-wilayah diberbagai pelosok negeri yang jalannya masih rusak bahkan untuk melaluinya  mengancam nyawa dan keselamatan. Penarikan pajak ditengah kondisi masyarakat yang kian miskin justru akan lebih mendzolimi. Padahal Allah Swt mengingatkan agar penetapan kebijakan akan hal pajak tidak diperbolehkan jatuhnya memberatkan masyarakat.

Dalam takaran syariat, pajak yang dikenal dengan istilah dlaribah, hanya dapat dilakukan ketika kas negara/baitul mal lagi kosong. Pajak tidak boleh dilakukan setiap saat. Melainkan pada masa-masa tertentu saja. Dimana jika ini tidak dilakukan maka bahaya akan melanda ummat manusia. Misalnya pengadaan air bersih, sarana jalan raya, sekolah, pembiayaan bagi mereka korban bencana alam dan kebutuhan penting lainnya. Sebab Allah Swt melarang bahaya itu terjadi. “Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan  (HR.Ibnu Majah dan Ahmad).

Namun, masyarakat hanya akan membayar sebatas apa yang menjadi kebutuhan yang memang saat itu lagi benar-benar kurang. Lebih darinya itu tidak dapat dilakukan. Dan pemerintah pun tidak boleh meminta lebih. Yang membayar pajak pun hanyalah mereka yang berkelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkap secara baik. Bagi mereka yang kesehariannya sulit untuk memenuhi kebutuhan pokok tidak diwajibkan untuk membayar pajak. Sebagaimana sabda beliau “Sebaik-baik shadaqah adalah yang berasal dari orang-orang kaya (HR.Bukhari). Orang kaya adalah orang yang keadaan hartanya lebih dari manusia lainnya dalam hal memenuhi kebutuhannya.

Lain halnya dengan kondisi hari ini dimana kebijakan pajak dipukul rata untuk seluruh masyarakat tanpa memilah dan memilih mana yang harusnya masuk dalam kategori layak bayar dan tidak. Selain itu, kategori ini pun tidak jelas. Hanya berpatokan pada standar gaji. Padahal dengan gaji yang dimiliki juga belum tentu cukup untuk membiayai kebutuhan seluruh anggota keluarga, belum lagi jika ia memiliki banyak tanggungan dan lain sebagainya.

Wallahu’alam

 

(Rosmiati, S.Si)

  • Bagikan