Pemerintah Lalai, Akidah Tergadai

  • Bagikan

Gempa bumi berkekuatan 7,0 Skala Richter mengguncang Nusa Tenggara Barat (NTB) minggu (5/08/2018).  Gempa yang terjadi pada pukul  18.46  WIB ini awalnya diprediksi akan menimbulkan Tsunami.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, sampai hari ini telah terjadi gempa susulan sebanyak 1089 kali di wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

“Gempa susulan masih sering terjadi dengan intensitas kecil. Sampai dengan 24/8/2018 sore telah terjadi 1.089 kali gempa pasca gempa kekuatan M7 pada 5/8/2018. Dari 1.089 kali gempa susulan tersebut gempa yang dirasakan ada 50 kali,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (24/8/2018).

Gempa Lombok meninggalkan dampak yang sangat serius, salah satunya jumlah korban meninggal.

“Dampak gempa tersebut telah menyebabkan 555 orang meninggal. Korban meninggal tersebar di Kab. Lombok Utara 466 orang, Lombok Barat 40 orang, Lombok Timur 31 orang, Lombok Tengah 2 orang, Kota Mataram 9 orang, Sumbawa Besar 5 orang, dan Sumbawa Barat 2 orang,” paparnya.

Tak hanya itu, jumlah pengungsi pun bertambah dari data sebelumnya. Kabupaten Lombok Utara merupakan wilayah paling banyak pengungsinya.

“Terdapat 390.529 orang masih mengungsi akibat gempa Lombok. Pengungsi tersebar di Kabupaten Lombok Utara 134.235 orang, Lombok Barat 116.453 orang, Lombok Timur 104.060 orang, Lombok Tengah 13.887 orang, dan Kota Mataram 18.894 orang,” jelasnya. (Teropongsenayan.com, 24/08/2018).

Sementara itu, data korban yang terluka pertanggal 23 Agustus 2018 meliputi 1.116 jiwa, rumah rusak sekitar 71.937 unit.  (Tribunnews.com, 25/08/2018).

Sangat disayangkan,  pemerintah terkesan lambat dalam menangani persoalan gempa Lombok ini.  Berbagai pihak telah mendesak pemerintah untuk menaikkan status gempa Lombok sebagai gempa Nasional.  Tapi pemerintah bergeming dengan berbagai alasan.

Fraksi PKS mendesak pemerintah mempercepat penanganan gempa Lombok mengingat intensitasnya masih terjadi. Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, mengingatkan pemerintah bahwa prioritas utama saat ini adalah menyelamatkan korban .

“Prioritas utama pemerintah adalah menyelamatkan korban rakyat, jangan berpikir untung rugi, citra dan lain sebagainya,” kata Jazuli dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 21/08/2018  (Msn.com, 21/20/2018).

Senada dengan itu, Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, mengkritik pemerintah yang  enggan menetapkan gempa Lombok, sebagai bencana Nasional.

Fahri menyesalkan keengganan itu didasari kekhawatiran pemerintah akan sektor pariwisata,  padahal gempa Lombok masih terus terjadi dan menelan korban lebih dari 500  jiwa .

“Tidak bisa dibandingkan antara musibah yang sudah terjadi dan korban yang sudah berjatuhan dengan pariwisata yang belum kejadian, ” kata Fahri Hamzah (Kompas.com, 20/08 /2018).

“Karena itu seharusnya yang diprioritaskan  adalah korban, bukan pasar pariwisata yang sensitif terhadap situasi alam.  Jadi, saya kira alasan pemerintah ini untuk mempertahankan ego kurang memperhatikan rakyat,” tambahnya (Kompas.com, 20/08/2018).

Lambatnya penanganan para korban gempa ini telah memberikan celah kepada sekelompok orang yang berupaya melakukan pendangkalan akidah dengan dalih bantuan kemanusiaan.

Korban gempa Lombok yang sebagian besar adalah umat Islam menjadi target pemurtadan. Di Dusun Loloan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) ditemukan buku-buku yang berisi materi kristenisasi yang siap dibagikan kepada masyarakat.

Dilansir dari VOA Islam, salah satu relawan asal kota Mataram, Farhan Abu Hamzah, yang tengah bertugas di Dusun Loloan mengungkapkan, tidak diketahui siapa pengirim buku tersebut namun buku-buku tersebut tergeletak di posko bantuan korban gempa yang berada di kantor dusun.

Menurut Farhan, setelah buku-buku kristen itu diketahui Kepala Dusun, buku tersebut disimpan dan tidak disebarkan ke masyarakat.

“Dia (Kepala Dusun) selektif menerima bantuan, tidak terima dari yayasan Kristen. Makanya mereka minta saudara-saudara muslim tetap memperhatikan mereka secara berkesinambungan selama masa-masa sulit ini,” ungkap Farhan, yang disampaikan ke VOA Islam, Sabtu (25/08/2018).

Sebelum ditemukan buku-buku itu, Farhan bersama tim juga telah mengingatkan kepada kepala dusun dan warga agar berhati-hati dengan aksi pemurtadan di tengah bencana gempa ini (Eramuslim.com, 25/08/2018).

Sementara itu, di jejaring percakapan WhatsApp juga beredar sejumlah foto-foto yang memperlihatkan buku-buku berisi materi pemurtadan. Percakapan di sejumlah Whatsapp Group tersebut menyebutkan para misionaris melakukan kristenisasi dengan dalih trauma healing khususnya kepada pengungsi anak-anak gempa Lombok.

Kejadian ini mengisyaratkan akan lemahnya peran negara dalam menjaga akidah umat Islam.  Sehingga menimbulkan krisis keimanan dan menyebabkan  umat Islam  mudah menggadaikan akidahnya hanya dengan satu dos mie instan.

Hal ini wajar,  karena negara dalam sistem demokrasi berfungsi sebagai penjaga kebebasan bagi warganya. Negara justru harus memberikan jaminan kepada siapa saja atas dasar kekebasan beragama untuk menyebarkan agamanya meskipun kepada orang yang telah beragama. Negara pun tidak peduli dengan pilihan agama yang dipilih warganya. Bahkan tak beragama pun tak jadi masalah.

Paling tidak, ada tiga penyebab mengapa kristenisasi bisa berkembang luas di dunia Islam. Pertama, faktor ideologis, yakni kelemahan fikrah (ide) Islam dan tharîqah (metode menerapkan Islam) yang ada di tengah-tengah kaum muslim.

Kedua, kebencian kaum kafir terhadap Islam dan kaum muslim. Kristenisasi semakin meluas karena didorong oleh kebencian orang-orang kafir terhadap Islam dan kaum muslim. Ditanamkan dan disebarluaskan bahwa Islam adalah agama primitif, kejam, haus darah, melecehkan wanita, teroris, dan lain-lain.

Ketiga, adalah ketiadaan Daulah Khilafah Islam. Ketiadaan Daulah Khilafah Islam membuat hukum-hukum Allah tidak bisa ditegakkan secara kâffah (menyeluruh). Padahal tugas dan kewajiban Daulah Islam adalah menerapkan syariat Islam.

Tugas melindungi akidah umat ini menjadi tugas penting Daulah Khilafah. Qadhi Abu Ya‘la al-Farra’ mengatakan, “Imam (Khalifah) diwajibkan untuk mengurus urusan umat ini, yaitu sepuluh urusan. Pertama, menjaga agama berkenaan dengan persoalan ushûl (pokok) yang telah disepakati oleh umat terdahulu. Apabila ada orang ragu dan keliru terhadapnya (Islam) maka Imam bertanggungjawab untuk menerangkan argumentasi (hujah) kepadanya dan menyampaikan kebenaran kepadanya. Dia bertanggung jawab pula untuk melaksanakan hak dan agar agama ini tetap terjaga dan terpelihara dari kekeliruan….” (Al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 27).

Oleh karena itu, kasus pendangkalan akidah dan pemurtadan seperti ini dipastikan akan terus terjadi dalam sistem demokrasi. Dimana kepemimpinan hanya berorientasi pada kepentingan pribadi, golongan maupun partai.

Berharap negara  menjalankan fungsinya sebagai pengurus (ra’in) dan perisai (junnah) bagi umat Islam bak mengantang asap mengukir langit.

Maka, sudah menjadi keharusan dan kebutuhan bagi umat untuk mewujudkan sistem Islam. Karena hanya sistem Islam yang mampu melahirkan kepemimpinan hakiki. Dimana negara benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pemelihara (ra’in) dan perisai (junnah) bagi umat.

Juga, karena sistem Islam saja yang mampu menumbuh-suburkan ruh spiritualitas dan militansi terhadap Islam serta menjauhkan umat dari krisis keimanan. Negara juga akan menjaga dan melindungi umat dari upaya pendangkalan akidah dan pemurtadan. Semua itu hanya dapat diwujudkan jika negara kita mau menerapkan hukum-hukum Islam secara kaaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam bishowab.

  • Bagikan