Pemimpin Lahir dari Diskusi Warung Kopi

  • Bagikan
M. Najib Husain
M. Najib Husain

Oleh: M. Najib Husain (Pengurus Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi Pusat)

Minggu lalu mahasiswa kami di Program Studi  Ilmu Politik UHO  melaksanakan Pelatihan Pembuatan Proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)  dan salah satu bidang dari kreativitas tersebut  adalah pembuatan proposal  Kewiraushaan. Pemateri menawarkan membuka usaha Warung Kopi. Dipilihnya Kopi,   karena Kopi bisa menjangkau semua kalangan konsumen. Kalangan Millenial/Anak muda (Mahasiswa) yang menghabiskan waktu untuk ngobrol, nongkrong sampai mengerjakan tugas sambil menikmati Kopi dan layanan wifi di warung Kopi/Coffee Shop/Cafe. Begitu juga dengan Kalangan produktif (Karyawan Kantoran) yang kelelahan bekerja di kantor, biasanya memilih Warung Kopi/Coffee Shop/Cafe untuk bersantai dan mengobrol santai dengan teman. Sasaran terpenting adalah, kalangan politisi/pejabat. Para calon pejabat atau Para Pejabat atau Politisi saat ini  juga menghabiskan waktu di Warung Kopi. Sehingga tak heran ada beberapa Tagline yang menggunakan, Logo atau Motto tempat lahirnya Pejabat Setempat. Kedepan seharusnya bukan hanya tempat lahirnya pejabat tapi juga tempat mempertanggungjawabkan jabatan yang telah diraih. Sehingga betul-betul warung kopi menjadi tempat berawal dan berakhirnya seorang pemimpin.       

Setiap warung kopi, sebaiknya memiliki Brand, nama Brand  bisa saja berubah sesuai ciri khas dari produk yang ditawarkan, bisa menciptakan Pilihan Kopi dengan nama  yang unik dan Khas Politik. Misalnya : Kopi Janji Politik  (Kopi Janpol),  Kopi Janji Politik Caleg (Kopi Hitam), Kopi Janji Politik Cagub (Kopi Susu), Kopi Janji Politik Capres (Es Kopi Susu). Hal lain yang perlu dipikirkan dengan semakin maraknya usaha Warkop adalah  Eksistensi dari warung kopi yang telah terkenal dimana-mana yang masih sebatas  menjadi “warung” dan belum “ruang publik” yang benar-benar efektif dalam mendialogkan problem-problem kemasyarakatan.

Ruang publik  memungkinkan seluruh warga masyarakat berpartisipasi dalam diskusi dan debat mengenai visi, misi, latar belakang, program kerja, dan kapabilitas figur-figur yang dicalonkan. Ruang publik menjadi arena bagi berlangsungnya pertarungan wacana. Di  dalam ruang publik inilah, masing-masing pihak yang terlibat dalam pemilihan Bupati di 7 Kabupaten kemarin dan kedepan untuk pemilihan Walikota Kendari dan daerah-daerah lainnya  untuk  saling mengkontestasikan argumentasinya masing-masing dari para tim sukses.

Ruang publik tidak diartikan secara fisik tetapi sebagai ruang sosial yang dihasilkan dari pertarungan wacana.  Oleh karena itu, ketersediaan ruang publik ditentukan oleh bagaimana kontestasi argumen berlangsung, bagaimana isu-isu didefinisikan, dan dipublikasikan melalui berbagai cara, baik melalui relasi kekuasaan, penggunaan sumber daya finansial, maupun melalui simbol-simbol kultural. Konsep tentang arena atau ruang tempat berlangsungnya tindakan komunikatif untuk menegosiasikan wacana dan isu-isu publik inilah yang disebut dengan ruang publik. Oleh karena itu, dalam konsepsi ini, ruang publik tidak diartikan secara fisik tetapi merupakan ruang sosial (social space) yang dihasilkan oleh tindakan komunikatif. Ruang publik menjadi tempat bagi terbentuknya opini publik yang merefleksikan isu-isu yang berkembang dalam tataran elit maupun  massa. Pembentukan opini publik melalui debat publik akan memiliki kekuatan, apalagi jika dengan membuat diskusi publik di warung kopi.

Yang salah kalau duduk berjam-jam di warung kopi. Yang terdengar adalah omongan-omongan yang tidak berhubungan dengan wacana kepublikan (publicness). Di beberapa tempat warung kopi, khususnya yang banyak dipenuhi oleh kalangan mahasiswa (apa lagi Mahasiswa Politik)  amat jarang terdengar ada wacana yang berhubungan praktek  politik dan perilaku elite di Sulawesi Tenggara. Tujuannya mungkin agar status ruang publik itu memang digunakan secara baik dalam menyebarkan wacana dan pengetahuan sosial-humaniora, bukan hanya perbincangan yang sifatnya privat dan sekedar minum “kopi ”.

Namun ada juga kekuatiran, bahwa warung kopi akhirnya dikorupsi untuk kepentingan politis, misalnya tindakan elite politik yang menjadikannya tempat dominasi dan melakukan kekerasan wacana. Saat ini ada beberapa warung kopi yang menjadi tempat kongkow para politikus. Sayangnya momentum itu hanya diisi oleh sesama elite dan bukan bersama warga yang ingin tahu perkembangan politik pada tataran elit mereka dan semestinya mereka bisa berdiskusi tanpa ada perbedaan kelas, sehingga yang pada awalnya diharapkan warung kopi bisa berlangsung komunikasi dua arah tidak terwujud, yang terjadi   tidak ada komunikasi dua arah yang  menghasilkan perubahan. Komunikasi lebih banyak berhubungan dengan kontrak-kontrak politik, perbincangan privat yang sifatnya tertutup, dan bukan tindakan  komunikasi yang mematangkan rasionalitas publik.

Sehigga komunikasi di “ruang publik” selama ini yang terjadi di Warung-Warung Kopi di Kota Kendari dan di daerah-daerah lain  belum mengarah pada proses demokratisasi. Problemnya masih terkait eksistensi ruang publik itu sendiri, warga yang mengisi ruang publik itu, dan tindakan komunikasi yang dijalankan. Belum banyak active citizen yang bisa menjadi kekuatan kelas menengah yang memenuhi wacana di ruang publik secara akademis, strategis, dan estetis, baik bagi perkembangan pengetahuan publik atau perubahan sosial. Lebih banyak denizen – istilah Olle Törnquist – yaitu penduduk yang tidak memiliki dan tidak berusaha memaksimalkan hak-hak aktualnya sebagai warga negara.

Bagi Habermas, pertimbangan publik yang rasional (public reason) bukan suatu kondisi yang terbentuk dengan sendirinya, tetapi berada dalam struktur interaksi atau communicative action di mana individu dapat menerima atau menolak validitas klaim yang disampaikan oleh pihak lainnya. Dengan kata lain, proses deliberasi melalui perdebatan publik bukanlah sesuatu yang bisa ditentukan secara apriori tetapi merupakan suatu proses yang akan senantiasa berlangsung melalui interaksi komunikasi antara sejumlah pihak. Deliberasi tidak hanya proses saling berargumentasi dan bernegosiasi atau menerapkan pertimbangan-pertimbangan rasional ke dalam pembuatan keputusan, tetapi juga proses menghasilkan pertimbangan-pertimbangan rasional yang sifatnya komunikatif (communicative reason). Hal ini dikaitkan dengan tujuan dari deliberasi itu sendiri, yakni untuk mengubah atau mempengaruhi preferensi seseorang tentang suatu isu.ketersediaan ruang publik sebagai arena berlangsungnya kompetisi wacana dapat diukur dari penggunaan dimensi-dimensi kekuasaan, kapital, dan kebudayaan dalam proses produksi dan reproduksi makna dari suatu wacana. Pada akhirnya, efek dari opini yang terbentuk melalui pertarungan wacana dalam ruang publik akan diukur dari sejauhmana dimensi kekuasaan, kapital, dan kebudayaan dapat digunakan oleh para aktor pendukung wacana utama maupun wacana tandingan untuk saling menguji argumentasinya masing-masing. 

Sehingga jangan heran walaupun pemimpin itu lahir dari diskusi warung kopi dan dengan harapan bahwa pemimpin yang terpilih pada pemilihan serentak  7 kabupaten di Sulawesi Tenggara benar-benar adalah pemimpin yang amanah dan mampu menjawab dan mewujudkan janji-janji politik yang merupakan visi dan misi selama masa kepemimpinan   yang dituangkan dalam RPJMD kedepan bisa jadi  hanya menjadi harapan belaka. Padahal  mereka digodok dan diskusikan serta dilahirkan  di Warung kopi sebagai simbol kerakyatan, simbol keberagaman, simbol perlawanan, simbol perubahan   dan simbol warungg aspirasi masyarakat di akar rumput karena kita sudah tidak memiliki Gedung Aspirasi. Semua itu terjadi karena warung kopi belum menjadi Ruang Publik tapi masih sebatas “Warung”. 

Semoga di tahun depan keberadaan Warung Kopi di Kota Kendari dan daerah-daerah lain benar-benar bisa menjadi Ruang Publik yang sesungguhnya di mana terjadi sebuah komunikasi dua arah antara Rakyat dan para elit politik mereka yang saling memberikan masukan dan saran, agar tidak ditemukan lagi pemimpin yang menang Pilkada adalah pemimpin yang  Buta dan Tuli akan jeritan penderitaan rakyat sebagai dampak covid-19 yang tidak ketahuan kapan berakhirnya serta bukan pula  pemimpin yang rakus dengan memanfaatkan bantuan sosial untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok pendukungnya   serta  menekan dan memaksa lawan politik yang kalah  “perang “ dalam pemilihan serentak    menjadi  kawan demi satu tujuan SATU SUARA……..

  • Bagikan