Penurunan Produksi Ikan, Beras dan Sayur Sebabkan Inflasi di Sultra

  • Bagikan
Pedangan ikan di Pasar Lelang Kendari. (Foto: Gugus Suryaman/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Komoditas bahan makanan kembali memicu terjadinya inflasi di Sulawesi Tenggara, terutama oleh komoditas ikan segar, beras, dan sayuran. Paling tinggi didorong oleh komoditas jenis ikan, terutama dari wilayah Kota Kendari dan Baubau.

Meski demikian, Tim Pemantau Inflasi Daerah (TPID) menilai inflasi di Sulawesi Tenggara pada Januari 2018 masih terkendali dalam kisaran sasarannya. Secara bulanan, inflasi tercatat sebesar 0,62% (mtm), menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatatkan inflasi sebesar 0,70% (mtm).

Sedangkan secara tahunan, Sultra mengalami inflasi sebesar 2,83% (yoy) atau berada dalam kisaran sasaran inflasi 2018 yaitu 3,5%±1% (yoy). Secara spasial, Kota Kendari maupun Kota Baubau kembali mencatatkan inflasi masing-masing sebesar 0,59% (mtm) dan 0,70% (mtm).

Dalam rilis yang disampaikan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Sultra, Minot Purwahono, Sabtu (3/2/2018), bahwa kelompok volatile food (VF) memberikan andil bulanan terbesar kepada inflasi Sultra yakni sebesar 0,59% (mtm). Sehingga secara tahunan tercatat sebesar 6,74% (yoy).

“Tingginya inflasi ikan segar masih merupakan dampak dari menurunnya kapasitas produksi karena pembatasan penangkapan ikan di beberapa wilayah perairan Sulawesi Tenggara, dan pembatasan operasional kapal dari luar Sulawesi Tenggara serta cuaca yang belum kondusif,” terang Minot Purwahono yang juga Sekretaris TPID Sultra.

Sedangkan inflasi yang terjadi pada komoditas beras lebih disebabkan karena dampak dari peningkatan permintaan yang berasal dari Pulau Jawa, meskipun pasokan beras Sulawesi Tenggara relatif stabil.

Secara spasial, komoditas volatile food yang mempengaruhi inflasi Kota Kendari adalah bandeng/bolu, tomat buat, telur ayam ras, daging ayam ras, pepaya dan kembung/gembung walaupun di Kota Baubau ikan kembung/gembung justru menjadi salah satu penyumbang deflasi.

Sedangkan di Kota Baubau, inflasi didorong oleh selar/tude, katamba, baronang, cumi, kangkung dan bayam, sementara di Kota Kendari bayam justru menjadi salah satu penyumbang deflasi.

Peningkatan inflasi pada kelompok volatile food sedikit tertahan oleh deflasi pada sawi hijau di kedua kota tersebut, selain ikan ekor kuning, kacang panjang, kol putih/kubis, cabai rawit, bawah merah dan apel.

Inflasi inti relatif terjaga yaitu sebesar 0,08% (mtm), menurun dibandingkan bulan lalu sebesar 0,20% (mtm). Beberapa komponen yang mempengaruhi inflasi inti Kota Kendari ialah jantung pisang, celana panjang jeans, sabun detergen bubuk/cair, dan celana panjang sersin. 

Sedangkan di Kota Baubau, air kemasan kembali mencatatkan deflasi setelah bulan sebelumnya menyumbangkan penurunan harga di Kota Baubau. Secara tahunan, inflasi inti tercatat sebesar 1,56% (yoy), melambat dari bulan lalu sebesar 2,23% (yoy).

Sementara itu kelompok administered prices mencatatkan deflasi sebesar 0,17% (mtm) dan secara tahunan sebesar 1,56% (yoy) menurun dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat sebesar 2,23% (yoy).

Deflasi tersebut antara lain disumbang oleh deflasi yang terjadi pada harga angkutan udara di  Kota Kendari maupun Kota Baubau masing-masing sebesar 1,28% (mtm) dan 7,59% (mtm) seiring dengan turunnya permintaan pasca musim liburan akhir tahun. Deflasi pada kelompok administered price tertahan oleh inflasi pada komoditas bensin yang terjadi di Kota Kendari (0,52%, mtm).

Menyikapi perkembangan terkini dan memperhatikan risiko ke depan, TPID Sulawesi Tenggara terus mencermati perkembangan harga yang terjadi dan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan, sebagaimana dibahas dalam High Level Meeting tanggal 17 Januari 2018.

“Selain itu, TPID juga tetap melakukan koordinasi untuk memastikan ketersediaan stok bahan makanan Sulawesi Tenggara antara lain dengan mendorong kerjasama antar daerah dan pelaksanaan operasi pasar,” tandas Minot.

  • Bagikan