Peran Forum Kemitraan Polisi Masyarakat, Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Luar Pengadilan

  • Bagikan

Oleh Faizal Mustapa (Wakil Ketua Forum Pemuda Pelopor Kamtibmas)

Penegakan hukum yang didasari pandangan positivistik tersebut menyulut keprihatinan masyarakat yang diantaranya diwujudkan dengan “perlawanan” masyarakat atas sikap aparat penegak hukum tersebut. “Perlawanan” masyarakat tersebut terbaca pada media dengan beberapa gerakan seperti: “koin untuk Prita” dan gerakan “seribu sandal untuk AAL” yang dimotori Komisi Perlindungan Anak Indonesia Keinginan masyarakat akan adanya lembaga dan mekanisme khusus untukmenyelesaikan kasus ringan perlu dijembatani dengan kajian – kajian ilmiah.Kajian– kajian tersebut pada saat ini berada pada momentum yang tepat. Disatu sisi untuk menjembatani kesenjangan sistem peradilan pidana yang saat ini berlaku dan dikukuhi oleh aparat penegak hukum secara kaku.

Di sisi lain bersamaan waktunya dengan pembaharuan hukum pidana dan acara pidana yang saat ini sedang berlangsung. Dengan demikian hasil penelitian dapat memberikan kontribusi pada penyelesaian tindak pidana ringan yang berbasis keadilan, sebagaimana diharapkan masyarakat. Urgensi adanya sistem penyelesaian tindak- pidana ringan yang tidak menyamaratakan perbuatan dan pelaku tindak pidana, dengan alternatif rekonstruksi kultural khususnya rekonstruksi pemikiran hukum/ juridis (legal/ juridical thinking),dapat ditunjukkan dari adanya kesenjangan/ tidak adanya sinkronisasi hukum antaraasas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 2 ayat (4) UU No.48 tahun2009) dengan pemaknaan aparat penegak hukum tentang pengaturan cara penyelesaian perkara pidana yang diatur dalam UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP).

Secara normatif KUHAP tidak mengatur seleksi perkara yang harus diselesaikan melalui peradilan pidana. KUHAP hanya mengatur cara melakukan pemeriksaan perkara yang dibedakan menjadi : (i) acara pemeriksaan biasa untuk perkara yang proses pembuktian kesalahan terdakwa diperkirakan sulit (lihat Pasal 152 KUHAP dan seterusnya); (ii) acara pemeriksaan singkat apabila proses pembuktian dan penerapan hukumnya diperkirakan mudah serta sifatnya yang sederhana (lihat Pasal 203 KUHAP)dan (iii) acara pemeriksaan cepat, untuk memeriksa tindak pidana ringan dengankriteria : perkara yang ancaman pidana penjara atau kurungannya tidak lebih dari tigabulan dan atau denda sebanyak– banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah (Pasal 205 ayat(1) KUHAP). Cara pemeriksaan ini digunakan pula untuk memeriksa perkarapelanggaran lalu – lintas tertentu (Pasal 211 KUHAP). Ketentuan KUHAP tersebutmenegaskan semua perkara pidana termasuk tindak – pidana ringan harus diselesaikan melalui peradilan pidana . Ketentuan KUHAP tersebut dikuatkan dengan Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman yang hanya mengakui peradilan negara sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 18 Undang – Undang No.48 tahun2009.

Terusiknya rasa keadilan masyarakat atas cara– cara penyelesaian tindak pidana ringan yang tidak memberi ruang cara – cara penyelesaian yang tidak formalistik, berkeadilan dengan pandangan positivistik yang dikukuhi aparat penegak hukum dalam praktik penegakan hukum selama ini. Pandangan positivistik ini ditandai dengan terikatnya aparat penegak hukum pada prosedur – prosedur kaku yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan. Pandangan ini menempatkan prosedur menjadi dasar legalitas untuk menegakkan keadilan, bahkan lebih penting dari keadilan itu sendiri.

Penegakan hukum yang terkungkung dengan tembok– tembok prosedur tersebut,menjadi penghalang untuk mewujudkan pencarian kebenaran (searching for the truth)dan keadilan (searching for justice). Penegakan hukum positif (undang – undang) yang dikukuhi sebagai menjunjung tinggi rule of law hanya mampu mewujudkan keadilan formal (formal justice) tetapi belum mampu mewujudkan keadilan substantif(substansial justice).

Keadilan formal yang diwujudkan peradilan selama ini tentu saja tidak selaras dengan amanat mulia tugas peradilan yang diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (1)Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang mengamanatkan“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Amanah konstitusi tersebut dioperasionalkan antara lain pada Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman dengan rumusan : (i) DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA (Pasal 2 ayat : (1); (ii) menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila (Pasal 2 ayat (2) dan kewajiban hakim dan hakim konstitusi menggali, mengikuti dan memahami nilai– nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat .(Pasal 5 ayat (1)).Pasal – pasal di atas menurut Barda Nawawi Arief merupakan keunikan penegakan hukum di Indonesia yang ditandai dengan : (i) “pendekatan religius”dengan penegasan “Peradilan dilakukan demi DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; (ii) mengkaitkan penerapan dan penegakan hukum dan keadilan dengan Pancasila. Keduanya merupakan rambu– rambu penegakan hukum dalam kerangka Sistem Hukum Nasioanal (SISKUMNAS) 6. Rambu – rambu tersebut diimplementasikan dengan mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Salah satu yang menarik dari perumusan pasal– pasal di atas adalah kata– kata“menerapkan dan menegakkan hukum” selalu dikaitkan dengan kata “keadilan”.Rumusan kata – kata tersebut menunjukkan SISKUMNAS tidak menganut “asas kepastian undang– undang” (certainty of law, written law certaintly, formal / legalcertainly) yang dirumuskan secara kaku dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang sepenuhnya meniru rumusan pasal yang sama dalam Wetboek van Strafrecht. Kata– kata tersebut menunjukkan dianutnya “asas keseimbangan” yang didalamnya terkandung makna“kepastian substantif / materiel (substantive / materiel certainly) 7.Asas keseimbangan dan kepastian substantif terkait dengan dengan rumusan pasal lain yang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Rumusan pasal tersebut menunjukkan pengakuan kebaradaan hukum yang hidup di masyarakat.

Keberadaan sumber hukum tersebut secara konstitusional ditegaskan pada Pasal 18 Bayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Negaramengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalamUndang – Undang”. Dasar konstitusional tersebut dijabarkan secara operasional dalam praktik peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 50 Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman “Putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang – undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Luhut M.P. Pangaribuan dalam desertasinya mensinyalir diantaranya adanya hambatan kelembagaan (istilah dari peneliti) yang menyebabkan pengadilan tidak secara maksimal mewujudkan amanat Konstitusi dan Undang– Undang Kekuasaan Kehakiman di atas. Hambatan ini berkaitan dengan tugas hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai– nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang diwujudkan dalam dasar putusan pengadilan. Mekanisme peradilan selama ini tidak memberi ruang dan kesempatan yang cukup memadai bagi hakim untuk melaksanakan amanat tersebut 8. Untuk mengatasi kelemahan peradilan tersebut, Luhut M. P. Pangaribuanmenggagas reformasi peradilan dengan melibatkan partisipasi masyarakat(lay participations) dalam peradilan, sebagaimana yang dilaksanakan sistem hukum Anglo Saxon. Kepersertaan masyarakat dalam peradilan disebut dengan lay judges yang diartikan dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit : partisipasi masyarakat yang tidak direkrut secara khusus dan dilatih sebagai hakim, tetapi dilibatkan dalam proses peradilan (lay participations) . Dalam arti luas diartikan sebagai semua bentuk partisipasi masyarakat dalam pengadilan pidana baik sebagai jury  maupun sebagai lay judges sendiri. Lay judges sudah pernah dikenal dalam sejarah pengadilan di Indonesia pada era pra kemerdekaan, dengan adanya Pengadilan Adat / Pribumi (Inheemsche Rechtspraak) dan Pengadilan Desa (Dorpjustitie). Keduanya berdampingan dengan pengadilan negara yang dikenal pada saat itu yaitu Pengadilan Gubernemen (Gouvernement Rechtspraak),

Pengadilan Agama / Pribumi (Godsdienstige Rechtspraak) dan Pengadilan Swapraja (Zelfbestuurrechtspraak). Pasca kemerdekaan keberadaan lembaga pengadilan rakyat tersebut justru dihapus dengan Undang – Undang Darurat No.1 tahun 1951 tentangTindakan – Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan – Pengadilan Sipil.

Penjelasan Undang– Undang di atas menegaskan diantara pertimbangan penghapusan Pengadilan Adat dan Pengadilan Desa berpangkal keraguan akan kebebasan, syarat kepandaian dan kecakapan hakim Pengadilan Adat dan Pengadilan Desa dalam mewujudkan keadilan.

Dasar penghapusan tersebut dibantah oleh Luhut M.P. Pangaribuan, yang menyatakan keadilan tidak hanya permasalahan keahlian semata, tetapi lebih tertuju pada permasalahan sistem, bagaimana proses keadilan itu diwujudkan. Permasalahan sistem tersebut terkait dengan amanat Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman di atas yang

mengharuskan hakim menerapkan / menegakkan hukum dan keadilan pada saat yangsama 11.Mewujudkan keadilan tidak otomatis terwujud dengan mengkonstatasikan hukumnya. Perundang– undangan bersifat formal, terbatas dan bersifat umum.

Sementara suatu perkara bersifat spesifik sehingga tidak cukup hanya mengacu padasumber hukum formal tetapi juga sumber hukum material. Untuk menggali sumberhukum material tersebut, secara konseptual proses peradilan harus didekatkan dengan masyarakat sendiri. Metode mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat adalah dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif dalam pengambilan keputusan.

Partisipasi masyarakat ini di negara common law di representasikan dalam bentuk jury. Kebutuhan akan adanya (i) alternatif penyelesaian tindak pidana ringan di luar pengadilan formal dan (ii) proses peradilan (penyelesaian tindak pidana ringan) yang dilaksanakan dengan menyerap rasa keadilan masyarakat, menempatkan KepolisianRepublik Indonesia (POLRI) sebagai alternatif jawaban yang strategis. Alternatif ini Hilman Hadikusuma dalam Heidar Laudjeng, 2003, Mempertimbangkan Peradilan Adat, Seri Pengembangan Wacana.

Didasarkan pada dua konsepsi : pertama kedudukan POLRI dalam sistem peradilan pidana dan kedua, terkait dengan reformasi POLRI menjadi Polisi Sipil. Pertama, kedudukan POLRI, khususnya dalam kedudukannya sebagai penyidik, merupakan pintu gerbang memasuki sistem peradilan pidana. Pada posisi demikian,peran penyidik berdasarkan asas – asas hukum pidana, yaitu asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas, memiliki wewenang melaksanakan seleksi perkara yang akan dilanjutkan pada tahap– tahap berikut dalam sistem peradilan pidana. Kewenangan ini tidak identik dengan “penghentian penyidikan” berdasarkan Pasal 109 ayat : (2) KUHAP dengan alasan: (i) tidak terdapat cukup bukti; (ii) tidak merupakan suatu tindak pidana dan (iii) dihentikan demi hukum.

Kewenangan seleksi perkara berlandaskan asas proporsionalitas menghendaki polisi tidak diperkenankan menggunakan langkah – langkah berat, bila langkah yang lebih ringan cukup untuk mengatasi permasalahannya 15. Sedang asas subsidiaritas dikaitkan dengan sanksi pidana dengan menghindari sanksi yang lebih berat, apabila sanksi yang lebih ringan telah memadai sebagai respon atas suatu tindak pidana.

Ruslan Saleh mengutip pendapat Hulsman, menjelaskan asas subsidiaritas secara negatifdengan :

1) Bilamana dari segi prevensi umum maupun khusus dan

2) Ketidaktenangan yang diakibatkan oleh suatu delik tidak memerlukan suatu perkara diselesaikan melalui Hukum Pidana

3) Apabila kedua hal di atas terpenuhi maka polisi akan memberikan peringatan kepada yang bersangkutan tanpa melanjutkan perkara kekejaksaan. Sudarto mengembangkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas dengan memperhatikan pada : (i) kualitas perkara, yaitu perkara yang substansinya kecil. Mengutip pendapat Vrij, perkara– perkara yang dikategorikan tidak mengandung unsur sub–sosial. (ii) Pertimbangan efisiensi dan efektivitas tugas polisi, dibandingkan apabila perkara– perkara tersebut dilanjutkan ke kejaksaan dan yang akan berujung dipengadilan. (iii) Faktor waktu (contante justice) penyelesaian perkara– perkara tertentu dan dalam keadaan tertentu, yang akan dirasakan dan berpengaruh lebih baik bagi parapihak. Konsep untuk mencari alternatif penyelesaian tindak pidana ringan di luar pengadilan yang dilaksanakan dengan menyerap rasa keadilan masyarakat yang kedua, terkait dengan reformasi POLRI menjadi polisi sipil. Perubahan ini didasarkan pemikiran bahwa keberhasilan tugas POLRI tergantung pada bagaimana membangun hubungan dengan masyarakat, yang oleh pakar disebut sebagai keniscayaan.

Keunikan tugas polisi dibanding dengan empat catur wangsa aparat penegak hukum yang lain (hakim, jaksa, polisi dan advokat), terletak pada kedudukan polisi yang tidak hanya melaksanakan peran sebagai penegak hukum, tetapi juga berperan ganda sebagai penjaga ketertiban yang harus melindungi dan melayani (protect and serve) masyarakat. Pada saat menjalankan peran sebagai penegak hukum, polisi berada pada posisi vertikal (atas – bawah) dengan masyarakat, yang dengan the strong hand–nya diantaranya berhak melakukan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) dan tindakan – tindakan lain yang menempatkan polisi pada peran“antagonis” berhadapan dengan masyarakat.

Di sisi lain pada saat melaksanakan peran sebagai pelindung dan pelayan masyarakat, polisi dengan the soft hand–nya berkedudukan pada aras yang sama (horisontal) dengan masyarakat, yang harus mengayomi, melindungi, membimbing dan melayani masyarakat. Pada posisi ini polisi berperan “protagonis” di mata masyarakat. Peran ganda sebagai aparat penegak hukum sekaligus sebagai pengayom dan pelindung masyarakat inilah yang menempatkan polisi tidak hanya bertanggungjawab kepada hukum, dalam arti dalam menjalankan tugas operasionalnya terikat pada peraturan perundangan, doktrin dan asas – asas hukum yang berlaku (khususnya hukum pidana). Pada saat yang bersamaan polisi juga harus bertangungjawab kepada masyarakat yang mengharapkan profesionalisme polisi untuk mengungkap kejahatan dalam rangka mewujudkan ketertiban masyarakat.

Polisi mensiasati hubungannya dengan masyarakat. Arti pentingnya peran serta masyarakat dalam mendukung keberhasilan tugas polisi mewujudkan KAMTIBMAS dapat diuraikan dengan dua pendekatan, pertama dari sejarah kepolisian di Indonesia menuju “polisi sipil” atau “polisi yang berwatak sipil” dan kedua dari perkembangan konsep pemolisian.

Terlepasnya POLRI dari lingkungan TNI / ABRI merupakan momentum pentingbagi POLRI untuk melakukan reformasi diri menjadi “polisi sipil”. Momentum ini antara lain ditandai dengan perubahan gaya pemolisian dari gaya pemolisian yang oleh Friedman disebut sebagai “pemolisian tradisional” atau oleh Sutanto disebut“pemolisian tim”, yang antara lain bercirikan memandang institusi POLRI sebagai alat negara yang memegang otoritas penegakan hukum dalam menanggulangi kamtibmas.

Cara pandang tersebut mempengaruhi gaya pemolisian yang dilakukan POLRI dengan diwarnai pendekatan kekuasaan, birokratis, reaktif dan bahkan represif serta mengabaikan peran serta masyarakat. Gaya pemolisian tersebut terbukti kurang efektif mengingat kejahatan sebagai faktor potensial yang mengganggu terwujudnya kamtibmas merupakan masalah sosial yang komplek sehingga polisi bukan satu – satunya insitusi yang mampu menanggulanginya.

Masyarakat dengan mengandalkan norma – norma yang telah disepakati bersama dapat membentuk jaringan kontrol sosial informal yang kuat sehingga mampu mewujudkan kamtibmas tanpa kehadiran polisi berseragam. Walaupun demikian masyarakat juga bukan segalanya, yang menciptakan kejahatan sekaligus mencegahnya,maka keberadaan dan kemitraan polisi – masyarakat merupakan keniscayaan .

Membangun polisi sipil yang berbasis kemitraan polisi dengan masyarakat disamping didasarkan realitas tugas polisi yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat juga dikuatkan dengan kajian – kajian strategi penanganan kejahatan. Kalau kejahatan bersumber dan merupakan cerminan masalah suatu masyarakat maka kejahatan dapat didekonstruksi menjadi bagian – bagian dalam komunitas dengan wilayah geografi kecil.(Robert R. Friedmann, 1998, Community Policing, Comparative Perspectives And Prospects,) Kegiatan Polisi Dalam Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, Perbandingan Perspektif dan Prospeknya, Cipta Manunggal, Jakarta dalam Kunarto dan Ardian Syamsudin (Penyadur), 1998, Pembinaan Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat, Perbandingan Perspektif Dan Prospeknya Dalam Kegiatan Polisi, Cipta Manunggal,Jakarta, halaman 209, Sutanto at all, 2008,POLMAS Falsafah Baru Pemolisian Pensil – 324, Jakarta, halaman31, Latar Belakang SKEP /737/X/2005 Tgl 13 – 10 – 2005 Tentang Kebijakan Strategi Penerapan Model POLMAS Dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI sehingga mudah dikelola dan dikendalikan. Dengan mempersempit pendekatan,titik – titik yang biasanya menimbulkan masalah (trouble spots) dapat diidentifikasi dan kemajuan pemecahan masalah dapat diukur.

Dengan kerangka pemikiran demikian maka pembangunan polisi sipil difokuskan pada bagaimana membangun kemitraan dengan masyarakat. Peran serta masyarakat tidakhanya bermakna simbolik “demokrasi peran serta” tetapi lebih jauh lagi menjalin kemitraan polisi dengan masyarakat (yang mengendalikan dan yang dikendalikan) yang tidak hanya bermakna berbagi wewenang dengan cara yang berbeda, tetapi suatu cara bagaimana masyarakat ikut dalam perencanaan, evaluasi dan menentukan siapa yang menjadi penanggungjawab serta suatu pendekatan penanggulangan kejahatan dari pencetus (masyarakat) sumber kejahatan berasal. Dengan luasnya ruang lingkup yang harus direformasi, maka untuk mewujudkan polisi sipil perubahan yang harus dilakukan mulai dari filosofi, strategi operasional sampai perubahan struktural / organisasi yang memerlukan desentralisasi pengambilan kebijakan sampai ditingkat sektor. Kerangka pemikiran tersebut diwujudkan dalam strategi pemolisian community policing (selanjutnya disingkat CP) yang di Indonesia diadopsi sejak– Oktober– 2005 menjadi Pemolisian / Perpolisian Masyarakat yang disingkat dengan POLMAS.

Polmas sebagai padanan kata dari Community Policing menurut Surat Keputusan(Skep) Kapolri No. 737 tahun 2005 lebih merupakan pembakuan istilah daripada sebagai terjemahan. Kata “policing” diterjemahkan menjadi “pemolisian” atau “perpolisian”.Kedua istilah tersebut dijelaskan dalam Peraturan KAPOLRI No. 7 tahun 2008 tentangPedoman Dasar Strategi Dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI. Sedang kata “community” padanan kata dalam istilah Polmas diterjemahkan menjadi “masyarakat” yang seharusnya berasal dari kata “society”. Mengingat“masyarakat” secara sosiologis bersifat abstrak, maka kata “community” yang lebih tepat.

 Sutanto at all, POLMAS, Falsafah Baru Pemolisian, Pensil – 324, Jakarta, halaman 92 – 9324 Robert R. Friedmann, op cit, halaman 209 – 210

Kalau dicermati istilah “perpolisian” digunakan SKEP 737 tahun 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI (huruf tebal dan miring dari penulis). Sedang istilah Pemolisian digunakan Peraturan KAPOLRI No.7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian (huruf tebal dan miring dari penulis) Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI. Dalam tulisan ini kedua istilah tersebut digunakan dengan tidak membedakannya secara prinsipii1 Kata tersebut diartikan sebagai kondisi masyarakat yang masing – masing anggota (individu) masih melakukan kontak fisik dan tatap muka (face to face) satu dengan lainnya. Dengan maksud tersebut kata “community” yang lebih tepat digunakan.Dari uraian di atas Community Policing  penerjemahan secara harfiah dalambahasa Indonesia seharusnya “Pemolisian / Perpolisian Komunitas”. Terjemahan secaraharfiah tersebut dirasakan kaku, sehingga digunakan istilah Pemolisian / Perpolisian Masyarakat yang disingkat Polmas. Walaupun demikian apapun istilah yang digunakan sesungguhnya merujuk pada makna dan pengertian yang sama.

Dalam Bab Pendahuluan Lampiran Surat Keputusan KAPOLRI No. 737 tahun2005 antara lain diuraikan tentang bentuk kemitraan sejajar antara polisi danmasyarakat. Bentuk kemitraan tersebut diwujudkan dalam strategi POLMAS denganmemberdayakan masyarakat tidak hanya sebagai objek tetapi ditempatkan sebagai subjekdalam arti memberi peluang kepada masyarakat untuk menyelesaikan sendirimasalah – masalah sosial yang berupa gangguan kamtibmas termasuk pertikaian antarwarga baik perkara – perkara perdata maupun perkara pidana. Dalam hal ini pengertian

sengketa warga hanya dibatasi perkara – perkara pidana khususnya tindak pidana ringan/ tipiring.

Reformasi POLRI khususnya perubahan struktur organisasi, telah dilaksanakan dengan prinsip desentralisasi pengambilan kebijakan sampai di ujung pengambilan kebijakan. Dikaitkan dengan fungsi POLMAS dalam menyelesaikan sengketa (tindak 26Sutanto at all, op cit, halaman 4)

Penggunaan istilah tindak pidana ringan / tipiring digunakan sebagai batasan kajian yang hanya membatasi

pada tindak pidana ringan. Pembatasan ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah yang digunakan dimasyarakat (secara sosilologis) yang lebih akrab menggunakan istilah “sengketa” atau “konflik”. Kedua istilah tersebut tidak dibedakan secara tajam oleh. Vilhelm Auber. Keduanya diartikan : suatu keadaan dimana dua orang atau lebih terlibat pertentangan secara terang – terangan. Merrils menggunakan istilah sengketa yangdiartikan suatu perselisihan khusus yang terkait fakta, hukum atau kebijakan dimana dua pihak saling berhadapan antara yang mengklaim dan yang menolak. Secara teoritis dibedakan konflik kepentingan (conflictof interrest) dan klaim atas hak (claim of rights). Sedang Nader dan Todd membedakan keduanya dengan mendefinisikan konflik : keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidakpuas. Sedang sengketa : keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan dimuka umum atau dengan melibatkan para pihak. Sedang istilah sengketa lazim digunakan dalam hukum perdata untuk membedakan dengan tindak pidana. Abu Rokhmad, 2009, Negara vs Petani, Konflik dan Resolusi Konflik Tanah Hutan Negara, PerspektifSosio – Legal dan Hukum Islam, Walisongo Press, Semarang, halaman 10 – 12. Sedang secara normatif mengacu pada Pasal 205 KUHAP yang dimaksud dengan tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda tujuh ribu lima ratus

rupiah dan penghinaan ringan. Walaupun demikian dalam desertasi ini pengertiannya tidak dibatasi secara kaku,tetapi yang disepakati para pihak untuk diselesaikan melalui FKPM. Pengertian ini akan dielaborasi lebih lanjut dalam pembahasan.

Pidana ringan di tingkat sektor dibentuk Forum Kemitraan Polisi – Masyarakat(selanjutnya disingkat FKPM) yang keanggotaannya mencerminkan keterwakilan semua unsur dalam masyarakat yang terdiri dari petugas POLMAS dan pemerintah setempat(Kecamatan, Desa / Kelurahan, Rukun Warga / RW dan Rukun Tetangga / RT). FKPM merupakan forum penyelesaian sengketa (tindak pidana ringan) dengan cara musyawarah – mufakat. Penekanan penyelesaian tindak pidana ringan secara informal melalui media FKPM ini ditunjukkan dengan kewenangan POLSEK mengembalikan suatu tindak pidana ringan yang terlanjur diproses secara formal untuk diselesaikan secara musyawarah – mufakat melalui FKPM.

Bhabinkamtibmas adalah bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.KEP/8/II/2009 tentang perubahan buku petunjuk lapangan Kapolri No.Pol : BUJUKLAP/17/VII/1997 tentang sebutan Babinkamtibmas (Bintara Pembina Kamtibmas) menjadi Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Kamtibmas) dari tingkat kepangkatan Brigadir sampai dengan inspektur. Sedangkan menurut pasal 1 angka 4 Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat bahwa yang dimaksud dengan Bhabinkamtibmas adalah pengemban Polmas di desa/kelurahan.

Fungsi Bhabinkamtibmas (Pasal 26 Perkap no 3 Tahun 2015)

Bhabinkamtibmas memiliki fungsi sebagai berikut :

  1. Melaksanakan kunjungan/sambang kepada masyarakat untuk : mendengarkan keluhan warga masyarakat tentang permasalahan kamtibmas dan memberikan penjelasan serta penyelesaiannya, memelihara hubungan silaturahmi/persaudaraan.
  2. Membimbing dan menyuluh di bidang hukum dan kamtibmas untuk meningkatkan kesadaran hukum dan kamtibmas dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM)
  3. Menyebarluaskan informasi tentang kebijakan Polri berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas)
  4. Mendorong pelaksanaan siskamling dalam pengamanan lingkungan dan kegiatan masyarakat
  5. Memberikan pelayanan kepolisian kepada masyarakat yang memerlukan
  6. Menggerakkan kegiatan masyarakat yang bersifat positif
  7. Mengkoordinasikan upaya pembinaan Kamtibmas dengan perangkat desa/kelurahan dan pihak-pihak terkait lainnya
  8. Melaksanakan konsultasi, mediasi, negosiasi, fasilitasi, motivasi kepada masyarakat dalam Harkamtibmas dan pemecahan masalah kejahatan dan sosial.

Tugas Pokok Bhabinkamtibmas (Pasal 27 Perkap No 3 Tahun 2015)

         Tugas pokok Bhabinkamtibmas adalah melakukan pembinaan masyarakat, deteksi dini dan mediasi/negosiasi agar tercipta kondisi yang kondusif di desa/kelurahan, dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut Bhabinkamtibmas melakukan kegiatan sebagai berikut :

  1. Kunjungan dari rumah ke rumah pada seluruh wilayah penugasannya
  2. Melakukan dan membantu pemecahan masalah
  3. Melakukan pengaturan dan pengamanan kegiatan masyarakat
  4. Menerima informasi tentang terjadinya tindak pidana
  5. Memberikan perlindungan sementara kepada orang yang tersesat, korban kejahatan dan pelanggaran
  6. Ikut serta dalam memberikan bantuan kepada korban bencana alam dan wabah penyakit
  7. Memberikan bimbingan dan petunjuk kepada masyarakat atau komunitas berkaitan dengan permasalahan Kamtibmas dan Pelayanan Polri

Wewenang Bhabinkamtibmas (Pasal 28 Perkap No 3 Tahun 2015)

         Dalam melaksanakan kegiatan Polmas, Bhabinkamtibmas memiliki wewenang sebagai berikut :

  1. Menyelesaikan perselisihan warga masyarakat atau komunitas
  2. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak lanjut kesepakatan FKPM dalam memelihara keamanan lingkungan
  3. Mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) dan melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara (TPTKP)
  4. Mengawasi aliran kepercayaan dalam masyarakat yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

Kegiatan sehari-hari yang harus dilakukan oleh Bhabinkamtibmas adalah sambang atau melakukan kunjungan kerumah-rumah masyarakat. Prinsipnya kegiatan Bhabinkamtibmas hanya perlu 4 D (Datang, Duduk, Dengar, Dialog) dan 1 C (Catat). Kegiatan itu bisa dilakukan dimana saja, tidak harus dirumah, bisa juga dilakukan di warung, dilapangan, di toko dan lain-lain, tugas ini terlihat sederhana, namun sungguh mulia.

    “Selamat bertugas untuk Bhabinkamtibmas ku….. Bhayangkara   Sejati…….Semoga Sukses Selalu……..”

  • Bagikan