Perempuan dan Politik

  • Bagikan
Suprihaty Prawaty Nengtias Mahasiswa Pascasarjana UHO Kendari Program Doktor IP - Konsentrasi Pengembangan Masyarakat.Foto: Ist

Oleh: Suprihaty Prawaty Nengtias
Mahasiswa Pascasarjana UHO Kendari
Program Doktor IP – Konsentrasi Pengembangan Masyarakat

Partisipasi politik perempuan dalam wujud keterwakilan perempuan di lembaga legislatif tak pernah surut dari sorotan dan menimbulkan daya tarik pembicaraan, khusnya sejak dikeluarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang menyebut soal keterwakilan perempuan di legislatif sebesar 30 persen. Landasan yang digunakan untuk mendukung kelayakan tersebut melihat dari besarnya jumlah perempuan dari sekitar 255 juta penduduk keseluruhan. Karena itulah sangat layak apabila 30 persen dari kursi legislatif ditempati kaum perempuan.

Partisipasi perempuan dalam dunia politik adalah sesuatu yang wajar dan dijamin dalam UUD 1945 Pasal 27 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Faktor jumlah yang besar memang merupakan salah satu tolak ukur yang bisa dipakai untuk mendukung kelayakan perempuan hadir di legislatif. Namun perlu kita cermati adalah ukuran kelayakan perempuan itu sendiri. Selama ini yang kita pahami adalah ukuran caleg lebih pada potensi dukungan massa yang dimiliki. Sementara faktor intelektualitas, inner power dari personal yang direkrut tidak menjadi bahan pertimbangan.

Kita perlu memaknai kata politik, legislatif dan perempuan, sehingga kita tidak selalu menempatkannya dalam posisi saling berhadapan dan bertentangan. Lingkup kerja, fungsi, atau peran legislatif dan politik itu sendiri bukan suatu dunia yang dibatasi oleh faktor gender. Oleh karena itu, mestinya tidak ada diskriminasi gender bagi perempuan masuk dunia politik maupun jadi calon legislatif.

Perempuan jadi langka, karena terletak pada sistem perekrutan. Sistem perundang-undangan yang masih mencantumkan kekhususan tercermin pada kata-kata “setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen, kata “memperhatikan Keterwakilan Perempuan” menjadi begitu tajam maknanya sehingga dapat menimbulkan kesan diskriminasi di pihak kaum perempuan.

Kurangnya wakil perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif mengakibatkan kurangnya gender sensitif dari setiap keputusan yang dikeluarkan. Rendahnya peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif menyebabkan kurang terakomodasinya aspirasi dan kepetingan perempuan dalam pembangunan bangsa dan negara.

Kondisi ini antara lain disebabkan oleh pertama, masih adanya streotipe masyarakat Indonesia mengeni pembagian peran yang dikotomis antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki berperan di luar rumah sedangkan perempuan di dalam rumah. Kedua, kehidupan politik bernuansa tidak resik, penuh kekerasan, tak jujur, dan manipulasi memunculkan anggapan bahwa bidang ini lebih cocok untuk laki-laki dan tidak untuk perempuan. Ketiga, semua standar dan ukuran kehidupan masih menggunakan persepsi laki-laki atau nama populernya diliputi budaya patriarki. Keempat, kurangnya percaya diri perempuan untuk memasuki wilayah atau arena politik, apalagi harus bersaing dengan laki-laki. Lima, keharusan perempuan untuk berperanganda jika terjun di politik sedangkan laki-laki tidak. Keenam, lemahnya dukungan, baik secara internal maupun eksternal dalam mendukung peran perempuan di bidang politik, termasuk lemahnya dukungan media massa terhadap penyebarluasan potensi dan kontribusi yang dapat diberikan oleh perempuan di bidang politik.

Dengan kondisi seperti ini, kaum perempuan yang masih termarginalkan tidak perlu meraasa inferior dalam politik karena dapat mengekspresikan ide dan gagasan politik yang cerdas untuk dapat mewarnai pembangunan politik yang lebih partisipatif.  Termarginalnya perempuan dalam dunia politik bukan kehendak individu dan kelompok perempuan, melainkan sistem nilai budaya politik yang secara tidak sengaja kurang membuka ruang partisipasi bagi perempuan.

Secara kasat mata tidak terjadi diskriminasi politik terhadap perempuan tetapi nilai-nilai politik yang tercermin dalam persepsi politik patriarki masih menganggap bahwa dunia politik bukanlah ranahnya perempuan melainkan ranahnya laki-laki (latent discrimination). Maka tidak heran jika terjadi kesenjangan politik yang dimulai pada tingkat kebijakan dan hasil pelaksanaan kebijakan yang masih memposisikan perempuan belum mencapai pada tingkat keseimbanagan gender (gender balance).

Pada dasarnya setiap perempuan memiliki potensi unik dan berbeda dengan perempuan lainnya. Memang tidak semua perempuan memiliki modal individu yang sama dengan perempuan lainnya. Namun demikian, setiap perempuan harus menyadari dan menggali potensi yang dimilikinya untuk bangkit berkompetisi dalam dunia politik.

Langkah mendasar bagi perempuan untuk bangkit adalah:

Pertama, perempuan  harus memiliki kesadaran bahwa setiap perempuan lahir sebagai seorang individu otonom, sama halnya dengan laki-laki. Meskipun perbedaan biologis melekat pada perempuan seperti kemampuan melahirkan anak dan menyusui serta naluri keibuan yang kuat yang tidak dimiliki oleh sifat laki-laki. Hal ini tidak menjadikan perempuan menjadi mahkluk yang lemah dan memiliki sifat dan posisi lebih rendah dibanding laki-laki di dalam keluarga mupun masyarakat. Selain itu harus diingat bahwa karakter fminin (seperti lemah lembut, halus bertutur kata) tidakselalu hanaya melekat pada perempuan, tetapi dapat saja dimiliki oleh laki-laki. Demikian pula dengan karakter maskulin (seperti tegas, berani,lantang) tidak hanya selalu melekat pada laki-laki, tetapi dapat pula dimiliki oleh perempuan.

Perempuan dan laki-laki memang berbeda secara biologis, yang kemudian menimbulkan konsekuensi berbeda yang peran dan posisi dalam keluarga sebagai seorang ibu dan ayah. Tetapi peran dan posisi yang berbeda itu tidak berarti  perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan dan laki-laki harus mempunyai akses, partisipasi, dan kontrol yang sama dan keduanya memiliki peran dan posisi komplementer dalam keluarga.

Kedua, perempuan harus kritis gender. Meskipun perempuan diciptakan sebagai individu yang otonom, seorang perempuan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu. Disinilah mulai terjadi pembentukan perbedaan peran danposisi laki-laki untuk menjadi “sepatutnya perempuan” dan “sepatutnya laki-laki” sebagai sebuah konstruksi sosial yang berbeda-beda sesuai konteks dan budaya masyarakat tertentu. Inilah yang disebut dengan gender. Kini, pengertian gender tidak hanya merujuk pada sebuah konstruksi sosial perempuan dan laki-laki, tetapi dipahami juga sebagai hubungan gender (gender relations). Yang merujuk pada aksi dan interaksi antara orang-orang dalam sebuah setting sosial dimana kelas sosial, etnisitas danorientasi seksual mempengaruhi pembentukan standar norma kepatutan individu dalam sebuah komonitas.

Dalam lingkup budaya dan adat istiadat sebuah komunitas itulah hubungan gender menjadi aspek paling penting karena di dalamnya terdapat tata nilai, kepercayaan, perilaku, dan praktik yang mengatur norma-norma kepantasan mengenai perempuan dan laki-laki dalam setting sosial komunitas tertentu. Setiap komunitas memiliki budaya berupa seperangkat pemikiran, tata nilai dan praktek yang bersumber dari kearifan lokal yang dipegang teguh dan dipercaya untuk mengatur kehidupan keluarga termasuk mengenai peran, posisi dan kewenangan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyrakat.

Ketiga, perempuan mampu menjalankan peran agency. Seorang perempuan dapat dikatakan menjalankan peran agency, jika mampu tampil sebagai subyek untuk menyadari hambatan dari norma/pranatagenderdi sekelilingnya, untuk kemudian mampu menggunakan modal individu yang dimilikinya dengan mengolah/menegosiasikan/menyiasati konsep-konsep dan pranata gender tersebut untuk bangkit mengoptimalkan berbagai modal individu yang dimilikinya utnuk muncul di ruang publik dan secara perlahan-lahan memperluas peran dan posisinya di ruang publik.

Setelah perempuan mampu memberdayakan dirinya sendiri, langkah selanjutnya adalah perempuan harus mampu mengidentifikasi modal individu yang kuat untuk berkompetisi dalam dunia politik. Seorang perempuan harus mampu mengidentifikasikan apa saja modal individu yang dimilikinya. Modal individu merujuk pada berbagai kondisi dasar yang dimiliki seorang perempuan yang dapat menjadi sebuah keunggulan pribadi dan penting untuk dikembangkan sebagai keungguln komperatif dalam berpolitik.

Modal individu dari seorang perempuan dalam politik dapat berupa latar belakang keluarga yang berasal dari kalangan berpengaruh (misalnya tokoh agama, tokoh adat, tokohmasyarakat); b) jenjang pendidikan formal yang tinggi dan berprestasi; pendidikan informal (misalnya pesantren); profesi dalam bidangnya masing-masing yang menunjukkan prestasi (politisi sukses, pengusaha sukses,guru teladan, dll); jejaring dengan berbagai organisasi masyarakat yang beragam dan jejaring dan pengalaman dalam organisasi perempuan.

Dalam upaya perempuan untuk memunculkan dirinya dan memperoleh tempat dihati masyarakat, seorang perempuan harus mampu menjalin komunikasi interpersonaal yang baik dari berbagai kalangan dengan masuk melalui berbagai jaringan. Hal ini mutlak dilakukan karena untuk maju dalam kompetisi memerlukan kendaraan politik baik melalui partai politik maupun jalur perseorangan. Maka kemampuan komunikasi interpersonal yang baik dan berjejaring dengan berbagai kalangan ini menjadi salah satu kunci dalam upaya seorang perempuan untuk muncul dan diperhitungkan dalam konstelasi politik.

Setelah mampu bangkit dan berjejaring, seorang perempuan harus mampu memahami dan membangunpersonal branding. Personal branding ini penting dipersiapkan karena aspekpopularitas seorang politisi menjadi salah satu kunci yang menentukankemenangan seseorang dalam berkompetisi di dunia politik. Dalam demokrasilangsung popularitas seorang politisi sehingga dikenal luas, penampilan fisik,pembawaan yang mengundang simpati serta track record yang baik akan sangatmenentukan kemenngan seseorang disamping faktor lobi politik dan jaringan.

Dalam sebuahdemokrasi langsung seorang politisi harus dikenal luas oleh berbagai kalangan masyarakat kemudian disukai dan dipilih. Dalam sistem pemilihan secara langsung atau popular votes aspek tokoh atau figur sangat menonjol dan akan menentukan kemenangan seorang politisi.

Pada dasarnya personal branding adalah upaya seorang politisi  yaitu perempuan untuk menampilkan karakter pribadinya yang kuat, menunjukkan kekuatan diri (modal individu) yang unik dibarengi dengan track record yang sudah teruji dengan tampilan yang meyakinkan sehingga menjadi sebuah keunggulan komparatif dibaanding dengan kandidat lain. Personal branding bermaksud agar para pemilih memiliki pandangan positif, melekat erat mengenai citra diri seorang perempuan yang pada akhinya nanti seorang pemilih tidak saja mengenal, tetapi mengenang baik, menyukai dan kemudian menjatuhkan pilihan pada calon perempuan tersebut. Bessie Mitsukopoulou (2008) mengatakan bahwa sebuah personal branding seorang politisi pada dasarnya merupakan “not only elementsof a candidate’s personality, but alaso elements of a candidate’s appearancesuch as hairstyke andclothing, provide vivid illustrations of a candidate’simage”. Jadi jelas dalam personal branding harus memperhatikan aspekkepribadian, karakter pribadi (personality) dan yang tidak kalah penting adalahpenampilan atau kemasan.

Oleh karena itupersonal branding yang hendak dibangun pada diri seorang perempuan harus adasebuah brand positioning yang jelas, spesifik dan unik yang membe dakan dengan para kandidat laki-laki. Maka setidaknya terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan yaitu;

Pertama, kehadiran perempuan dalam politik harus mampu mendekonstruksikan politik menjadi hal yang humanis, dekat dan solutif terhadap persoalan sehari-hari (everyday politics). Hal pertama kali yang harus disadari oleh seorang perempuan dalam membangun personal branding adalah menyadari bahwa praktek politik secara umum selalu dianggap sebagai persoalan laki-laki, bukan ranahpara perempuan untuk ikut terlibat secara substansial, dengan peran dan posisi perempuan di pinggiran.

Kedua, perempuan harus menyadari bahwa “personal is political” adalah slogan gerakan perempuan, slogan ini pada intinya hendak menekankan bahwa pengalaman individu atau pribadi sangat terkait dengan struktur sosial dan politik yang lebih luas dalam masyarakat. Menurut Kate Millet slogan ini dapat dimaknai bahwa hubungan dalam ranah privat antara laki-laki dan perempuan sebenarnya sangat erat terkait dengan dimensi politik karena dalam ranah privat itu terjadi kontrol laki-laki terhadap perempuan yang kemudian merambah ke ranah yang lebih luas di arena politik. Dalam konteks inilah, seorang perempuan harus peka terhadap berbagai persoalan yang terjadi di sekelilingnya yang mungkin tersembunyi di dalam benteng sebuah keluarga.

Ketiga, seorang perempuan harus memiliki pengetahauan yang cukup mengenai berbagai pranata advokasi gender yang berkembang di dunia internasional, sejauh mana Indonesia telah meratifikaasi dan bagaiman menginisiasi solusi terkait persoalanperempuan dan anak-anak di daerahnya dengan rujukan pranata tersebut.

 Setelah memahami konsep personal brandingnya maka seorang perempuan harus membangun personal brandingnya. Pertama; dimulai dari pemahaman mengenai dirinya, passion dan apa saja yang telah dilakukan selama ini. Bagi perempuan yang belum pernah terjun kedunia politik praktis, maka perempuan yang bersangkutan harus terlebih dahulu mampu mengenal apa saja mengenai passionnya.

Kedua, setelah memahami passion dan memiliki track record yang teruji dengan berbagai kerjanyata, maka langkah selanjutnya adalah merumuskan visi dan misi brand dengan bahasa yang sederhana, jelas, padat, singkat dan mengena.

Ketiga, memastikan visibility sebuah brand yaitu harus dapat dilihat secara konsitenterus menerus sampai brand seseorang dikenal. Seorang perempuan harus beranitampil mempromosikan dirinya, memasarkan diri, dengan menggunakan semuakesempatan yang ada agar lebih populer.

Ada enam langkahpenting yang harus diperhatikan dalam mempromosikan personal branding yaitu; i)menemukan citra yang baik dalam diri seseorang; ii) menyadari citra baiktersebut supaya tersampaikan dalam diri seeorang; iii) Keunggulan perempuan;iv) seorang perempaun harus mencerminkan kualitas citra seperti yang dibayangkanpemilih; v) loyalitas pemilih; vi) mempertahankan citra diri dengan baik.

Salah satu bagian penting yang harus diperhatikan oleh perempuan dalam berpolitik adalah mempromosikan personal brandingnya dengan mampu bersahabat dengan media atau“media friendly” seperti i) media cetak (surat kabar dan majalah) dan ii) media elektronik (radio, TV, internet). Seorang politisi harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan semua awak media agar kiprahnya dijadikan rujukan dalam tulisan atau liputannya.

Setelah semua proses diatas telah dilakukan maka para perempuan yang mempunyai kapasitasuntuk terlibat dalam dunia politik dan ikut di pemilu 2019 dapat dengan mudah mengimplementasikan rencana sejak dari penyusunan konsep personal brandingdirinya, mengupayakan peningkatan popularitasnya, mempromosikan dirinya sehingga dapat tercapai target terpilih di pemilu tahun 2019.

Partisipasi dan keterwakilan kaum perempuan dalam proses politik dan jabatan publik akan menjamin perempuan dapat mengagendakan dan mewujudkan apa yang diinginkan. Perempuan adalah aktor utama untuk menghasilkan kebijakan yang responsif gender karena dijamin memiliki pemahaman, persepsi, sikap moral dan pengalaman yang berwawasan gender. 

  • Bagikan