Potensi Politisasi Pandemi Covid Jelang Pilkada

  • Bagikan
Laode Harjudin
Laode Harjudin

Oleh: Laode Harjudin

“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”  (Lord Acton, 1834-1902)

Di tengah merebaknya wabah virus corona (Covid-19) yang belum jelas kapan akhirnya, negeri ini akan menggelar hajatan demokrasi dalam tajuk Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Tentu saja situasi ini menambah pelik masalah bangsa ini karena selama ini belum pernah menggelar prosesi politik dalam situasi wabah pandemik global. Dalam kondisi seperti ini, muncul kekhawatiran terkait dengan integritas pelaksanaan pilkada. Kekhawatiran seperti ini tidaklah berlebihan karena sudah menjadi aksioma umum bahwa politik adalah kemampuan memanfaatkan momentum, baik situasi normal maupun krisis. Para politisi tidak pernah kehabisan cara dalam situasi apapun termasuk wabah pandemik  untuk mencapai tujuan politiknya.

Salah satu pihak yang memiliki peluang besar untuk mengambil keuntungan politik dari situasi krisis seperti wabah pandemik ini adalah kepala daerah yang masih berkuasa (incumbent). Dengan segala kekuasaan dan sumber daya (resources) yang dimilikinya, penguasa di daerah dapat memanfaatkan situasi ini untuk melapangkan jalan mempertahankan kekuasaannya. Persepsi tentang posisi politik penguasa yang sangat powerfull melahirkan kecemasan akan munculnya ekses kekuasaan yang tidak terkontrol sehingga bepotensi mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang bisa merugikan rakyat. Kecemasan seperti ini memiliki landasan filosofis sebagaimana telah disampaikan oleh Lord Acton, sejarawan dan pemikir politik Inggris, pada abad ke-18 dengan sebuah adagium yang cukup terkenal, yang dkutip di atas,  kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak.

Bahkan, jauh sebelum Acton, pada abad ke-15 seorang filsuf Italia, Niccolo Machiavelli telah  menggambarkan wajah culas kekuasaan dalam risalahnya Il Principe (Sang Penguasa). Machiavelli menjelaskan bahwa kekuasaan selalu berwajah ganda, kadang licik seperti Rubah, namun tidak jarang bengis seperti  Singa, Sayangnya, banyak orang gagal paham dengan pemikiran sang filsuf shingga sering menjadi pembenaran bagi perilaku politik tidak bermoral. Salah kaprah ini telah mendegradasi makna politik pada konotasi buruk. Namun sesunguhnya jika menelusuri  pemikiran dari penghulu para filsuf, Plato dalam karyanya Politeia (Republik) meegaskan bahwa politik itu kehidupan yang lebih baik (for good life). Kini, gambaran ideal Plato telah bergeser jauh, seakan-akan politik  menjadi monster yang menakutkan.karena sarat akan intrik, siasat, bahkan muslihat.

Wajah politik yang diganbarkan di atas menemukan wujudnya yang paling vulgar pada saat gelaran event politik seperti Pilkada. Sejatinya, Pilkada merupakan instrumen demokrasi untuk mewujudkan kedaulatan (people sovereingty) justru tereduksi sekedar ajang pertarungan memperoleh kekuasaan (struggle for power) belaka. Para calon yang bertarung mengerahkan segala daya dan kemampuan untuk memenamgkan pertarungan. Namun, dalam situasi wabah pandemi saat ini pertarungan pilkada akan sedikit berbeda karena adanya beberapa pembatasan sosial. Hanya calon petahana yang mungkin lebih leluasa bergerak dengan dalih menjalankan tugas pemerintahan. Justru di sinilah potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Sulit dipungkiri jika calon petahana tidak memanfaatkan situasi wabah pandemik untuk kepentingan politik. Sejumlah bukti mulai  terendus dengan modus pemanfaatan bantuan sosial (bansos) bagi warga terdampak wabah covid. Salah satu yang ramai disoroti terkait adanya foto beberapa politisi pada kemasan-kemasan bansos. Jika pada pilkada-pilkada sebelumnya gambar politisi hanya ditemui di kaos atau stiker, maka pada masa wabah covid ini foto politisi namgkring di karung-karung beras menggusur merek-merek karung yang sudah mapan seperti rojo lele dkk. Mungkin juga jenis berasnya sudah berubah dari “beras kepala” menjadi “beras kepala daerah”. Juga tidak bisa diabaikan akan muncul modus-modus lain yang menyamar dalam berbagai bentuk kebijakan pencegahan atau penanganan wabah covid-19. Bila kondisi seperetei ini dibiarkan maka jangan berharap untuk mewujudkan kehidupan demokrasi dan politik yang lebih beradab.

Realitas politik jelang pilkada di masa pandemik ini menjadi tantangan penyelenggara pemilu dalam menjaga integritas pilkada. Semestinya KPU dan jajarannya tidak lagi terjebak dalam rutinitas prosedural yang sekedar menggugurkan tahapan-tahapan pilkada  tanpa substansi yang jelas. Pengawaasan pilkada pun tidak cukup menggunakan metode konvensional yang hanya mencatat dan melaporkan jumlah pelanggaran. Bawaslu semestinya berinovasi untuk mengendus bentuk pelanggaran yang menyamar di balik kebijakan penguasa. Penyelenggara pemilu hendaknya sadar eksistensinya berada di tengah pusaran pertarungan politik yang penuh manuver dan intrik. Karena itu penyelenggara pemilu dituntut memiliki, bukkan sekedar pemahaman prosedur yang bersifat teknis, tetapi juga memiliki pemahaman substansi politik dan demokrasi.

Jika penyelenggara pemilu masih berkutat dengan paradigma prosedural hanya akan menjadi santapan empuk manuver politisi yang tak pernah lelah mencari celah dari aturan main plkada. Ironisnya, tidak sedikit penyelenggara pemilu yang ikut larut dalam irama permainan para politisi sehingga sulit dibedakan mana pemain dan mana penyelenggara.  Kondisi inilah yang menjadi pembenaran bagi konotasi politik yang kurang mengenakan. Untuk tidak terus-menerus terjeramabab dalam konotasi politik sesat, simaklah penuturan,   Richard Wright, seorang jurnalis politik senior Amaerika:“Politics was not my game; the human heart was my game, but it was only in the realm of politics that I could see the depths of the human heart” (politik bukab mainan saya, hati manusia adalah mainan saya, tapi hanya dalam dunia politik saya melihat kedalaman hati manusia).

Ternyata politik tidak seseram yang dibayangkan selama ini. Wallahualam.

(Laode Harjudin adalah Dosen Ilmu Politik FISIP UHO, Komisioner KPU Prov. Sultra, 2003-2008, Ketua Panwaslu Prov. Sultra, 2009, PAW Komisioner KPU Prov. Sultra, 2014)

  • Bagikan