Program Web Desa di Konawe Ternyata Dilarang Kejari

  • Bagikan
Kabid Hukum dan Otoda Projo Konawe, Abiding Slamet (Foto: Dok. SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KONAWE – Sejumlah masalah tampaknya bakal melilit program pembuatan website puluhan desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Hal itu diungkapkan langsung pihak Organisasi Masyarakat Pro Jokowi (Ormas-Projo) Konawe.

Kepala Bidang Hukum dan Otonomi Daerah Projo Konawe, Abiding Slamet menuturkan, selain anggaran pengadaan web yang tidak rasional, yakni Rp 31 juta per desa, pihaknya juga menggendus masalah lain.

Pertama, adanya dugaan permainan pejabat desa, kecamatan hingga kabupaten dalam program tersebut. Hal itu tampak dari adanya usulan serentak 72 desa di tujuh kecamatan di Sampara Raya. Padahal, tiap desa punya hak otonom untuk membuat programnya masing-masing.

“Kok program pembuatan webnya bisa serentak begitu. Memangnya, saat musyawarah desa mereka (72 desa yang dimaksud) kumpul semua, menyatukan persepsi untuk membuat program yang sama. Kan tidak mungkin. Makanya kami nilai di sini ada permainan,” ujarnya, Minggu (8/10/2017).

Kedua, programnya tidak lewat musyawarah desa. Menurut Abiding, dari laporan diperoleh pihaknya mendapatkan fakta bahwa program web desa tersebut tidak melalui hasil musyawarah desa.

“Kalau program itu pernah dimusyawarahkan, pertanyaannya apakah ada dalam RPJMdes (Rencana Program Jangka Menengah Desa) atau dalam perencanaan lainnya,” ucapnya.

Ketiga, Projo juga menyebut kalau program pembuatan web desa bukanlah hal prioritas. Menurutnya Abiding, masyarakat atau pemerintah desa belum sepenuhnya membutuhkan hal tersebut. Masyarakat akan lebih membutuhkan hal lain yang efeknya dapat langsung dirasakan.

Keempat, program tersebut juga dinilai telah mengorbankam program lainnya. Abiding menilai, jika sebuah program tidak ada dalam musyawarah desa dan tiba-tiba muncul karena adanya tendensi dari pihak lain, maka yang akan jadi korban adalah kegiatan desa lainnya.

“Kalau kondisinya seperti itu kemungkinan ada program lain yang dikorbankan, seperti pengurangan volume pada kegiatan lain. Misalnya, ada pengerjaan got yang awalnya 100 meter, dikurangi jadi 70 meter. Atau tidak ada pengurangan volume, tetapi kualitas pekerjaannya abal-abal,” jelasnya.

Kelima, di desa binaan Kejaksaan Negeri (Kejari) Konawe program web desa ternyata dilarang. Dikatakan Abidin bahwa ada dua kepala desa di Kecamatan Lambuya yang telah dikonfirmasi terkait hal tersebut. Kata mereka, Kejari mewanti-wanti tidak mengadakan program web desa. Terlebih dengan anggaran yang terlalu besar, seperti yang terjadi di Sampara Raya.

Keenam, Abiding juga menyoroti tempat pelaksanaan pelatihan program pembuatan web desa yang diadakan di salah satu hotel di Kendari. Semestinya program yang menggunakan dana desa (DD), minimal dikerjakan di kabupaten itu sendiri, dalam hal ini Konawe.

“Perintah presiden jelas. Dana desa itu harus berputar di dalam desa itu juga, atau di kecamatan itu, atau mininal di kabupaten tempat desa itu berada. Nah, ini pelatihannya di salah satu hotel di Kendari. Memangnya di Konawe sini tidak ada hotel?” tanyanya lagi.

Terakhir, Abiding juga menyebut bahwa ada laporan kalau program pembuatan web desa tersebut tiba-tiba muncul sehari sebelum pencairan dana desa dilakukan di BPKAD.

“Kalau laporannya demikian, berarti memang ada permainan yang hendak memaksakan agar program ini bisa masuk,” tandasnya.

Sebagaimana diketahui, program web desa tersebut diinisiasi oleh PT CMA (salah satu perusahaan media). Program ini sendiri disinyalir menghabiskan DD hingga lebih dari Rp 2,2 Milliar dengan rincian Rp 31 juta per desa dari total 72 desa yang ikut dalam program tersebut.

(Baca: Wow, Rp 2,2 M Anggaran DD Habis Untuk Pembuatan Web)

Laporan: Mas Jaya

  • Bagikan