Puasa Nafsani

  • Bagikan
Makmur Ibnu Hadjar.Foto: Ist

Oleh: Makmur Ibnu Hadjar

Dalam berbagai ceramah tentang ibadah puasa oleh para ulama kita, 29 – 30 hari puasa, dibagi menjadi tiga bahagian, dan masing-masing bahagian adalah 10 hari. Paruh pertama puasa yakni sepuluh hari adalah masa penyesuaian diri atas kebiasan-kebiasaan dalam sebelas bulan di luar bulan puasa, khususnya kebiasaan-kebiasaan jasmania dan fisik, seperti makan-minum, dan lain sebagainya. Seterusnya paruh tengah bulan puasa, yaitu sepuluh hari kedua, kualitas prosesi ibadah puasa meningkat, dari taraf jasmani ke taraf nafsani, atau penghayatan kejiwaan. Menurut Nurcholish Madjid, dari segi nafsani, puasa ini tidak sekedar dalam artian fisik, yakni menahan makan dan minum, yang merupakan bidang kajian fiqih, yang menjelaskan persoalan-persoalan lahiriah puasa, yaitu sah dan tidak sah puasa, dan atau batal dan tidak batalnya puasa. Pelaksanaan ibadah puasa, seiring dengan waktu pelaksanaannya harus dimaknai dalam konteks, bahwa bukan saja makan-minum yang harus kita tahan, akan tetapi lebih utama adalah menahan kecendrungan psikologis (kejiwaan), tepatnya masalah-masalah yang terkait dengan al-nafs.

Proses dinamika ibadah puasa dari keharusan menahan makan-minum dan hubungan biologis suami-istri, kepada keharusan untuk menyertakan ranah psikologis, untuk ikut dikendalikan, maka hakekatnya ibadah puasa adalah ibadah yang mengedukasi manusia, secara bertahap melalui proses internalisasi pengendalian kecendrungan – kecendrungan kebutuhan jasamani (makan, minum dan hubungan biologis), kearah proses internalisasi pengendalian kecendrungan kejiwaan (nafsani). Ranah al-nafsani ini cukup luas, seperti prasangka buruk, membuat dan mengembangkan fitnah, berkata dan berfikir kotor, dengki tampa alasan, dan lain sebagainya. Jika kita sudah sampai pada tahap ini, yakni mampu mengendalikan kecendrungan nafsani, maka puasa kita adalah peleburan puasa jasmani dan puasa nafsani, maka kualitas puasa kita menjadi meningkat derajatnya.

Berkaitan dengan laku puasa nafsani ini, salah satu hadist Rasulullah SAW, memberikan rambu-rambu sebagai berikut: “Dari Aburairah, Rasulullah SAW bersabda; barang siapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor (dan tidak bisa meninggalkan) perbuatan kotor, maka ALLAH tidak punya kepentingan apa-apa bahwa orang itu meninggalkan makan dan minum” (HR.Bukhari). Ranah ini jelas, bahwa orang yang berpuasa tetapi tidak bisa menahan gejolak hatinya untuk berkata kotor dan berbuat kotor, maka bagi ALLAH SWT, puasa tersebut tidak memiliki nilai pahala, kecuali hanya lapar dan dahaga yang ditanggung oleh orang yang melaksanakan puasa.

Perbuatan-perbuatan kotor yang bersumber dari dorongan hati, seperti; prasangka buruk (su’ul zhann), ghibah yaitu membicarakan keburukan orang lain, ketika orang tidak ada, tajassus, yaitu sikap mematai-matai atau mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain, kemudian mengembangkan menjadi gossip. Kesemua perbuatan itu akibatnya adalah menghancurkan martabat dan nilai-nilai kemanusian seseorang, tampa ruang bagi orang yang kita ghibah untuk membela diri, karena kejelekannya diperbincangkan ketika dia tidak hadir disitu. Itulah sebabnya perbuatan ghibah itu memposisikan orang itu bagaikan bangkai, atau sama kita memakan bangkainya.

Kesemuanya itu adalah penyakit hati, untuk itu maka momentum bulan puasa ini adalah kesempatan bagi kita semua untuk melakukan perenungan yang dalam, sambil menempatkan fungsi ibadah puasa itu, sebagai sarana ibadah yang diberikan ALLAH SWT, kepada ummat manusia untuk melakukan pembersihan atas semua penyakit hati yang membelenggunya, yang meredahkan martabat kemanusiannya, dan berakibat merusak tatanan persaudaran, tatanan hubungan sosial antar mahluk manusia. Di dalam ajaran Islam, membangun persaudaraan itu akan mendatangkan rakhmat ALLAH, sebaliknya merusak dan memutuskan persaudaraan akan mendatangkan murka ALLAH, bahkan diacam api neraka. Wallahuallam bissawab*.

  • Bagikan