Ramadhan Menakar Keislaman Kita

  • Bagikan
Makmur Ibnu Hadjar.Foto: Ist

Oleh: Makmur Ibnu Hadjar

Ramadhan adalah momentum yang tepat dan relevan, guna merenungi dan menakar ke-Islaman kita, guna mengevaluasi hubungan kita dengan ALLAH SWT. Ini adalah momentum yang tepat untuk menegetahui-dengan intropeksi bahwa pemahaman dan penghayatan kita tentang Islam hari ini semestinya tidak sama dengan hari esok. Atau bagaimana perkembangan bahwa pemahaman dan penghayatan kita tentang Islam hari ini, dibandingkan dengan hari kemarin. KeIslam yang kami maksud, adalah bukan sekedar praktek ibadah lahiriah atau atribut sebagai seorang muslim. Makna esensi Islam adalah mengacu kepada kapasitas kita untuk tunduk dan patuh pada sesuatu yang agung dan sakral, dari pada memperturutkan hasrat, hawa nafsu (nafs) dan ego. Pemahaman tentang Islam kita rujuk pada salah satu firman ALLAH SWT, dalam Al-Qur’an suci sebagai berikut; ….”Kemudian jika mereka mendebatmu (tentang Islam) maka katakanlah “Aku menyerahkan diri kepada ALLAH dan (demikian pula) orang yang mengikutiku”. (Q.S Ali Imran (3):20). Jadi Islam adalah sikap pasrah, tunduk dan patuh tampa reserve hanya kepada ALLAH.

Selama Ramadhan, kita masih terlibat dalam segala urusan duniawi, terlibat dengan berbagai tugas dan aktivitas, meskipun ada perubahan ritme kegiatan. Resonansi (getaran spiritual), ramadhan lebih nikmat bila diisi dengan ibadah, seperti memelihara kualitas puasa, shalat, zikir, membaca al-Qur’an. Pada malam hari, suasana masjid, dan surau penuh sesak, anak-anak menumpahkan kegembiraan, ikut melaksanakan sholat sunat delapan atau dua puluh rakat, shalat tarawih. Sebaiknya pada bulan yang suci ini, kita tidak terlalu mengikuti ritme tuntutan dunia.

Dalam waktu sebelas bulan, kita telah menghabiskan seluruh energy, dengan agenda-agenda harian yang telah kita susun. Ritme itu sangat monoton, lebih banyak diantara kita yang memberikan porsi urusan dunia sangat besar, dan porsi untuk mendekatkan diri kepada ALLAH, sangat kecil. Nurani ke-Ilahian kita menjadi kering, spritualisme kita sangat rapuh dan kepribadian kita sangat labil. Jastifikasi-jastifikasi materi, uang dan posisi sosial, selalu menjadi kecendrungan utama, dan lazimnya kita mengabaikan justifikasi moral untuk mendapatkannya, kita terjebak dengan dominasi dorongan hawa nafsu dan ego.

Sesungguhnya pemilikan harta, uang yang banyak, dan posisi sosial yang tinggi, tidaklah salah dan juga tidak bertentangan dengan ajaran agama yang kita anut, tetapi bagaimana proses mendapatkannya dan kemana pemanfaatannya, serta bagaimana kita menata keseimbangan dengan aspek spiritual dan ukhrawi, adalah point utama dari penilaian Tuhan. Tepatnya Tuhan memberi ganjaran atas “proses dan niat”. Untuk itu, dalam bulan suci Ramadhan ini, kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk memperbanyak beribadah dan berzikir kepada ALLAH. Kita menyuburkan spritualisme kita yang nyaris kering, kita menata dan menemukan resonansi (getaran) dan pancaran sinar ke-Ilahian di dalam dada kita. Kita lahirkan kesadaran bahwa ALLAH, sesungguhnya masih berpihak kepada kita, lantaran memberikan kita rakhmat serta karunia, lantaran masih mempertemukan kita dengan bulan suci Ramadhan. Banyak saudara-saudara disekitar kita, yang tidak mendapatkan rakhmat dan karunia ramadhan. Bulan suci ini, sungguh-sungguh dirakhmati ALLAH, bulan yang di dalamnya ada momentum yang nilainya setara beribadah seribu bulan.

Ramadhan ini bulan penuh pengampunan dan penuh magfirah, bulan yang terbuka ruang kepada kita semua, untuk mendapatkan posisi primordial kita, yaitu mahluk yang “fitrah” (mahluk yang suci), sebagaimana awal kejadian kita. Posisi itu insya ALLAH akan kita raih, manakala kita konsisten dan bersungguh-sunggu (istqamah), menjalankan ibadah puasa, memperbanyak ibadah, zikir, memperbanyak sedeqah kepada kaum dhuafa, fakir miskin dan yatim piatu, serta membangun sikap empati yang ihlas kepada sesama manusia, khususnya, sesaudara muslim. Wallahuallam bissawab*.

  • Bagikan