Rapat Revisi UU KPK Dinilai Cacat Etika

  • Bagikan
Ilustrasi
Ilustrasi

SULTRAKINI.COM: Revisi Undang-Undang KPK masih hangat diperbincangkan masyarakat. Revisi UU ini dinilai bisa berpengaruh besar terhadap kinerja KPK mendatang. Kaca mata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai terdapat benang merah dalam pengesahan revisi UU KPK dengan penanganan kasus yang selama ini ditangani lembaga antirasuah itu.

Menurut Kurnia, yang menjadi benang merah antara revisi UU KPK dengan kasus-kasus ditangani KPK, yakni oknum dalam kasus korupsi menjaring sejumlah figur anggota DPR RI atau tokoh partai politik. Seperti data ICW menyebutkan, 23 orang anggota dewan periode 2014-2019 menjadi tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK. Misalnya, kasus KTP-el yang menjadikan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka.

Begitu juga sejumlah pimpinan partai politik.

“Kalau kita lihat lebih jauh siapa pengusung revisi UU KPK dan siapa yang setuju, maka tergabunglah dalam partai politik, 23 orang ini dan juga ketua umum partai yang 5 orang ini ditangani KPK,” ungkap Kurnia, Rabu (18/9/2019).

“Praktis 9 dari 10 parpol yang duduk di DPR hari ini hampir seluruh partai selalu mengirim wakil terbaiknya jadi tersangka di KPK,” sambungnya.

Revisi UU KPK sendiri telah ketok palu tanpa ada protes dari fraksi-fraksi partai politik yang ada di DPR. Agenda revisi ini juga dilakukan DPR dan pemerintah dengan sangat terburu-buru jelang akhir periode DPR 2014-2019.

ICW menganggap hal tersebut sangat serampangan, terlebih agenda revisi UU KPK tidak masuk ke dalam prolegnas di 2019.

“Jadi kausalitasnya itu terbentuk begitu, mungkin karena ada kekhawatiran mereka harus kebiri KPK bahkan membunuh KPK,” ucap Kurnia.

Pengamat Politik LIPI, Syamsuddin Haris juga angkat suara terkait revisi UU KPK.

Dijelaskan Syamsuddin, rapat paripurna DPR RI mengagendakan pengesahan revisi UU KPK pada 5 September lalu cacat etika. Sebab rapat paripurna hanya dihadiri 70 orang dari total 560 orang anggota DPR periode 2014-2019. Padahal, keabsahan rapat DPR harusnya minimal dihadiri 50 persen plus satu.

“Memang betul bahwa sebagian anggota dewan mengisi daftar absen. Ada 204 (yang mengisi). Tapi batang hidungnya enggak ada. Sangat disayangkan keputusan yang begitu penting diambil ketika rapat paripurna itu hanya dihadiri 13,7 persen anggota dewan dari 560,” terangnya, Selasa (10/9/2019) pada konferensi pers Civitas Lipi menolak revisi UU KPK.

Di satu sisi, Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam menganggap masih ada kesempatan untuk menggagalkan pengesahan revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu.

Pertama, kewenangan Presiden Joko Widodo untuk tidak menyetujui revisi UU KPK yang dibahas da disetujui DPR. Presiden masih memiliki 60 hari guna mempertimbangkan UU yang dishkan di paripurna tersebut.

“Ini momentum paling tepat kalau beliau ingin menunjukkan legacy yang kuat. Kalau tidak sejarah akan mencatat Pak Jokowi peletak dasar pelemahan KPK,” ucap Ahmad Khoirul, Rabu (18/9/2019).

Kedua, presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu. Langkah ini masih memungkinkan oleh presiden jika mempunyai semangat memprkuat KPK.

Namun, langkah ini berpeluang kecil lantaran surat rekomendasi kepada DPR tentang pembahasan revisi UU KPK dikeluarkan sendiri oleh Jokowi. Ditandai dengan presiden memberikan mandat kepada Menkumham dan Menpan RB serta berjalannya proses legilasi.

Ketiga, langkah yang memungkinkan menggagalkan hal tersebut, yakni mengajukan uji materi atau Judicial Review ke MK. Menurut Khoirul, banyak lembaga masyarakat yang siap mengajukan Judicial Review jika Jokowi menyetujui UU KPK.

Dikatakan Khoirul, sejumlah kelompok masyarakat telah menyiapkan draff JR, misalnya ICW dan kalangan akademisi. Salah satu poin diajukan adalah kejanggalan proses pengesahan revisi UU KPK.

Apabila pengajuan JR tidak diterima oleh hakim. Kata dia, semua lembaga negara di Indonesia bersepakat melemahkan KPK.

“Kemarin kan (pengesahan) sangat unik ditandatangani 200 something tapi yang hadir ketika dihitung sekitar 100. Itu yang kita ajukan,” jelasnya.

Poin revisi UU KPK dianggap tidak jauh berbeda dengan draf pada 2017. Perubahan tersebut penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), serta status kepegawaian KPK.

Dari berbagai sumber
Laporan: Riswan

  • Bagikan