Ritual Adat Mengundang Laknat

  • Bagikan
Fitriani S.Pd (Pemerhati Umat)

SULTRAKINI.COM: Telah tersiar kabar beberapa bulan yang lalu, bahwa kota Palu akan mengadakan perhelatan akbar. Sebanyak 1.500 undangan akan menghadiri Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN) 2018 yang akan dihelat Pemerintah Kota Palu pada 28 September hingga 3 Oktober di sepanjang pesisir Teluk Palu. (Antaranews Sulteng,1/7/2018) Event ini diprediksikan akan meriah sekaligus mampu menyedot perhatian para wisatawan mancanegara.

Adapun tujuan awalnya yaitu untuk membangkitkan kembali kearifan dan budaya lokal yang sudah lama terlupakan dalam bentuk seni dan pertunjukan yang mengangkat nilai-nilai budaya Sulawesi Tengah. Salah satu pertunjukan yang ditunggu adalah Ritual adat Balia yaitu Pompoura dari Suku Kaili. Ialah ritual adat yang diyakini mampu mengusir segala macam penyakit. (Meramuda.com, 28/09/2018).

Bukan Sekedar Ritual Biasa

Ritual adat Balia adalah ritual pengobatan bersifat nonmedis yang dikenal masyarakat Suku Kaili sejak ratusan tahun lalu. Sebelum ada rumah sakit, upacara ini diandalkan masyarakat untuk mendapatkan petunjuk dari nenek moyang, terkait bagaimana melunturkan penyakit-penyakit yang menyerang tubuh. Dalam pelaksanaannya, ritual dipimpin oleh seorang dukun atau tetua yang disebut Tina Nu Baliya. Prosesnya diawali dengan Nolana Vangi (pengolesan minyak wangi) ke bagian tubuh orang sakit. Lalu, pelaku ritual menyiapkan air satu mangkuk, seekor ayam dan seekor kambing sambil nogane (membaca doa). Peniupan lalove (suling) dan gimba (gendang), dimulai untuk mengundang roh leluhur terlibat dalam ritual. Kemudian, para penari bergerak mengelilingi palaka (tempat sesaji).

Tahapan selanjutnya, yakni prosesi ritual Moraro. Sambil menari, penari yang mayoritas wanita berusia 50 tahun ke atas, menombak kambing dan seekor ayam yang sebelumnya telah disiapkan. Tujuannya untuk mengambil darah yang nantinya akan dioleskan di tubuh orang yang sakit. Tahap terakhir, pelepasan sesaji dan ayam ke sungai, sekaligus memandikan orang yang sakit. Proses ini memiliki makna, jika dimandikan di sungai, maka penyakit akan hilang mengikuti aliran sungai yang bermuara ke samudera luas dan tidak akan kembali lagi.(metrotvnews.com, 27/09/2018).

Sayangnya, event akbar yang dicanang-canangkan sejak beberapa bulan yang lalu ini, kini telah berganti duka mendalam. Pemandangan festival yang tadinya telah mewah dan megah, kini telah berganti rupa muram durja, diiringi tangisan pilu yang membuat siapa saja yang menyaksikannya terisak. Perih tiada terkira. Bagaimana tidak, tepat 28/07/2018 pembukaan perhelatan festival akbar ini, bumi bergetar dengan getaran 7,4 skalalichter. Menggoyangkan apa saja yang ada diatasnya. Harta dan tahta bahkan tak mampu menjadi penolong. Semua nyaris rata dengan tanah. Na’asnya, tidak berselang lama, air yang dikenal asin itu seolah ikut berpartisipasi. Ia tak segan-segan berkunjung ke tempat yang sejatinya bukanlah domisilinya. Ya, tsunami melengkapi tragedi yang menimpa palu.

Hingga kini, Jumlah korban akibat gempa Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah terus meningkat memasuki sepekan peristiwa memilukan tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, hingga Kamis 4 Oktober 2018 pukul 17.00 WIB, jumlah korban meninggal akibat gempa dan tsunami Palu mencapai 1.558 meninggal. Selain itu 113 orang hilang, 2.549 orang luka-luka.

“152 warga korban tertimbun, 65.733 rumah rusak dan 70.821 warga mengungsi,” tulis BNPB di akun Twitter, dikutip Liputan6.com, Jumat (5/10/2018). Bahkan diprediksikan masih ada 1000 orang yang masih terkubur akibat gempa. (BBC.com, 06/07/2018).

Syirik Mengundang Murka

Jika kita tela’ah secara mendalam, apa yang menimpa Palu bukan hanya sekedar fenomena alam semata. Ritual yang akan dihelat di festival adalah salah satu penyebab datangnya murka Allah SWT. Sebab, ritual adat Balia yang akan dilakukan di Palu adalah termasuk ritual kesyirikan. Dimana dalam ritual tersebut meminta kesembuhan kepada selain Allah SWT. Padahal yang memberikan kesembuhan hanyalah Dia semata. Apalagi seremonialnya dilengkapi dengan sesajen dan persembahan kepada selain Allah SWT.
Inilah dampak dari penerapan sistem sekulerisme yang bernafaskan HAM. Sistem bobrok ini telah membuat kaum muslim tergadaikan akidahnya atas nama toleran. Adat seolah lebih tinggi kedudukannya daripada apa yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Bahkan negara menyetujui dan mendukung ritual adat yang sejatinya telah mengundang laknat seperti ini. Kebebasan berekspresi yang kebablasan dan tanpa lagi memperdulikan benar-salah. Halal-haram. Tak lagi peduli apakah Allah ridho atau murka. Semua tak diatur oleh Islam, karena posisinya hanya ketika berada diatas sajadah saja, bukan di seluruh sendi-sendi kehidupan.

Kemudian lemahnya kepekaan dan kepedulian masyarakat seolah kian melengkapi. Masyarakat memiliki peran yang cukup urgent dalam menjalankan fungsi sebagai kotrol terhadap segala aktivitas yang terjadi di wilayah tersebut. Masyarakat seharusnya tidak membiarkan perbuatan syirik merebak di masyarakat. Bila ketahuan ada tindakan tersebut harus segera melapor kepada penguasa setempat agar segera ditindaklanjuti.

Akan tetapi, karena racun sekulerisme yang sudah merebak, bukan hanya pada tataran individu saja, akhirnya menyebabkan hilangnya fungsi kontrol masyarakat. Bukannya mencegah, justru malah ikut-ikutan menjadi pendukung perbuatan syirik.

Belum lagi hilangnya perisai utama dari negara. Negara sebagai pemilik kekuatan terbesar seharusnya melakukan perlindungan dan penjagaan terhadap kemurnian aqidah umat. Namun, dalam dekapan sistem sekulerisme, yang terjadi justru sebaliknya. Negara malah membiarkan praktik perdukunan dan paranormal berkembang. Padahal inilah yang menjadi jalan untuk menciptakan kondisi kesyirikan di masyarakat.
Sehingga jika dibiarkan secara terus menerus, laknat Allah akan semakin dekat. Sebab, semua musibah yang terjadi di alam ini, berupa gempa ataupun tsunami dan musibah lainnya yang menimbulkan bahaya bagi para hamba serta menimbulkan berbagai macam penderitaan, itu semua disebabkan oleh perbuatan syirik dan maksiat yang diperbuat.

“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuura: 30).

Syirik merupakan kemaksiatan yang paling besar, kezhaliman yang paling tinggi dan dosa yang paling besar, yang tidak akan diampuni Allah Swt, jika pelaku syirik mati di atas syirik dan tidak bertaubat. Mereka yang berbuat syirik adalah orang paling sesat, paling zhalim di muka bumi ini.

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
(QS. Luqman : 13).

“Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
(QS. An-Nisaa’: 48).

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mem-persekutukan (sesuatu) dengan Dia (syirik), dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”
(QS. An-Nisaa’: 116).

Sehingga, sebelum laknat itu benar-benar menimpa kita semua. Melenyapkan dan menghancurkan kita. Maka marilah kita campakkan sistem sekularisme liberalisme hari ini dan kita ganti dengan sistem Islam. Sebab, sekedar perbaikan ibadah dan akhlak spritual saja tidak akan mampu menutup celah kemaksiatan dan kesyirikan di negeri ini. Apalagi di topang oleh sistem busuk yang memisahkan agama dari kehidupan. Sebaliknya, dengan penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, maka akidah kaum muslim tidak akan tergadai. Segala pintu yang mengantarkan pada kemusyrikan akan ditutup. Pemantapan akidah Islam akan diutamakan. Agar kaum muslim yakin dengan agama yang dianutnya. Percaya bahwa Allahlah satu-satunya tempat mengharapkan pertolongan. Hingga akhirnya tak ada lagi ritual adat yang mengundang laknat. Melainkan terciptanya kehidupan yang dinaungi oleh rahmat-Nya. Wallahu A’lam Bissawab.

Oleh: Fitriani S.Pd (Pemerhati Umat)

  • Bagikan