Rohingya, Duka yang Tak Kunjung Reda

  • Bagikan
Qiya Amaliah Syahidah.Foto:ist

Bertahun-tahun kondisi etnis minoritas Muslim Rohingya tidak membaik di Myanmar. Hingga tahun ini, puluhan ribu Rohingya masih mengungsi di Bangladesh. Sebab, desa-desa mereka dibakar tentara Myanmar. Anggota keluarga mereka dibunuh dan wanita mereka diperkosa.

Ini bukan kali pertama perlakuan serupa dialami oleh Rohingya. Di antara yang terparah adalah tahun 2012, 2015, dan 2017, puluhan hingga ratusan Rohingya tewas dalam konflik yang melibatkan warga mayoritas Buddha di Rakhine dan bahkan tentara Myanmar.

Menurut juru bicara lembaga aktivis Rohingya di Eropa,  European Rohingya Counchil (ERC)  Anita Schug,  antara 2.000 dan 3.000 muslim Rohingya terbunuh di negara bagian Rakhine hanya dalam waktu tiga hari, dari Jumat hingga Minggu lalu (Kumparan.com, 04/09/2017).

Senada, lembaga HAM Human Right Watch dalam laporannya soal tragedi tahun 2012, yang membuat 125 ribu Rohingya terusir ke Bangladesh belum kembali hingga sekarang, menyebut kekerasan terhadap etnis minoritas Muslim itu adalah “pembersihan etnis” atau genosida.

Tanda-tanda genosida jelas terlihat, walaupun pemerintah Myanmar membantahnya. Menurut situs berita PBB, UN Dispatch, Myanmar telah memenuhi delapan tahapan genosida yang ditetapkan Genocide Watch.

Di antara delapan langkah genosida tersebut meliputi, pertama klasifikasi dan kedua simbolisasi. Menurut Genocide Watch, klasifikasi dan simbolisasi adalah langkah awal genosida yaitu membedakan antara “kita dan mereka”, mempromosikan perbedaan, bukannya persamaan.

Ketiga, dehumanisasi. Dehumanisasi adalah meniadakan sifat kemanusiaan terhadap sebuah golongan. Mereka dianggap hama, penyakit, yang harus dipinggirkan.

Keempat, terorganisir. Genosida selalu dilakukan secara terorganisir, biasanya digawangi oleh pemerintah. Dalam beberapa kasus, pemerintah menggunakan militan untuk membersihkan etnis agar lepas dari tanggung jawab.

Kelima, polarisasi. Polarisasi adalah pemisahan yang ekstrem antara sebuah kelompok dengan kelompok lainnya. Propaganda pemisahan ini didengungkan dengan nyaring, berupa pelarangan menikah dengan mereka atau bahkan berinteraksi.

Keenam, persiapan. Dalam langkah persiapan, calon korban genosida diidentifikasi dan dipisahkan berdasarkan etnis atau agama mereka. Daftar orang-orang yang akan mati dibuat. Menurut Genocide Watch, dalam langkah ini, mereka dikumpulkan di tempat kumuh, kamp konsentrasi, atau di wilayah miskin sumber daya agar mati kelaparan.

Ketujuh, pemusnahan. Di tahap pemusnahan, genosida dilakukan. Genocide Watch menggunakan kata “pemusnahan” karena bagi pelaku genosida mereka tidak sedang membantai atau membunuh, tapi memusnahkan hama karena korban dianggap bukan manusia.

Kedelapan, penyangkalan. Genocide Watch mengatakan, “pelaku genosida menggali kuburan massal, membakar mayat-mayat, coba menutupi bukti dan mengintimidasi saksi mata. Mereka membantah telah melakukan kejahatan, malah menyalahkan para korban.” (Kumparan.com, 4/09/2018).

Sejatinya, dibalik tragedy Rohingya ini, terbukti adanya upaya genosida etnis yang kental dengan motif politis dan agama. Sayangnya, semua itu ditutup rapat-rapat dengan dalih takut menjadi provokasi. Kemudian, diserulah dengan lantang oleh media bahwa ini konflik kemanusiaan.

Tokoh-tokoh politik pun serentak mengatakan bahwa tragedi Rohingya bukan tragedi agama. Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid. Ia mengatakan, “Sebaiknya masyarakat tidak terjebak dalam melihat isu kekerasan terhadap warga Rohingya sebagai konflik antara Islam dan Buddha.” Hal tersebut, menurut Yenny, justru akan menimbulkan polemik di dalam negeri (Kompas.com, 06/09/2017).

Genosida ini praktis terus terulang. Pemimpin  di negeri- negeri  Muslim dan dunia menutup mata, tidak dapat berbuat apa-apa.  Hanya mengecam dan mengutuk tanpa ada tindakan nyata untuk menghentikan dan menghukum pelakunya.

Wajar, jangankan penguasa Muslim, PBB lewat Lembaga Mahkamah Pidana International (ICC) pun tidak berdaya. Direktur Amnesty International,  Usman Hamid mengatakan, “Kecil kemungkinan untuk membawa ke ICC, sebab Myanmar bukan anggota ICC.” (Cnnindonesia.com, 15/09/2017).

Maka, berharap keadilan pada ICC untuk menghukum pelaku genosida terhadap kaum Muslim Rohingya terwujud, ibarat mimpi di siang bolong.

Permasalahan utama,  terus terulangnya genosida pada kaum Muslim karena ketiadaan Daulah Islam.  Hal ini membuat hukum-hukum Allah tidak bisa ditegakkan secara kaffah (menyeluruh). Padahal tugas dan kewajiban daulah Islam adalah menerapkan syariat Islam.

Tugas memerangi orang-orang yang menentang Islam dan melindungi perbatasan kaum Muslim, agar tidak ada celah bagi musuh untuk merusak kehormatan dan menumpahkan darah kaum Muslim. Adalah salah satu dari sepuluh tugas yang harus dilakukan oleh seorang khalifah (Al-Mawardi, Al-ahkan As-sultoniyah, hlm. 23).

Rasulullah telah  mengingatkan akan pentingnya menjaga jiwa manusia.  Dalam hadis  Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Sesungguhnya kehancuran dunia ini tidak ada artinya bagi Allah dibandingkan dengan mati seorang muslim.” (HR.Tirmidzi )

Sebagaimana Khalifah Al-mu’tashim yang menjawab panggilan seorang wanita yang dilecehkan kehormatannya oleh orang-orang Romawi. Beliau  mengirim pasukan  untuk menaklukan kota Ammuriah (Turki) demi menghukum pelakunya. Maka orang-orang kafir tidak berani melecehkan dan menumpaka  darah kaum Muslim karena ketegasan para khalifah dalam menjaga dan melindungi warga negaranya. Termasuk mengakhiri segala bentuk kezaliman dan genosida terhadap kaum muslim. Bukan hanya Rohingya, melainkan juga Palestina, Suriah, Irak dan lain-lain. Wallahu a’lam bisshawab.

  • Bagikan