Suku Bajo Wasuamba Mencari Keadilan atas Sepotong Tanah dan Lautnya

  • Bagikan
Kawasan pemukiman suku Bajo di Desa Wasuamba Buton. (Foto: Ist).
Kawasan pemukiman suku Bajo di Desa Wasuamba Buton. (Foto: Ist).

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Sebanyak 157 kepala keluarga suku Bajo yang mendiami Teluk Hondolu Maranaung di Desa Wasuamba, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra), kini resah karena menurut tokoh-tokoh setempat bahwa pemerintah telah menetapkan daerah mereka sebagai kawasan konservasi hutan bakau.

Sebanyak delapan tokoh Bajo, sejak Senin (25 Februari 2019) berada di Kendari, ibukota Provinsi Sultra untuk mencari keadilan. Mereka datang memohon kepada Gubernur Ali Mazi dan DPRD Sultra agar membebaskan 63 Ha lahan pemukiman Bajo dari status kawasan hutan menjadi pemukiman.

Permohonan itu bukan tanpa alasan. Menurut tokoh agama setempat, Ser Ali (71), suku Bajo mendiami area itu sejak tahun 1930-an. Sebelum Indonesia merdeka. Sedangkan kawasan hutan ditetapkan nanti tahun 1994.

Artinya, setelah 64 tahun mereka hidup turun temurun di atas lahan yang terdiri dari lautan dan sedikit daratan, kemudian terusik oleh status kawasan hutan pada rumah mereka.

Awalnya, suku Bajo hidup terpencar di pesisir timur Pulau Buton namun oleh Sultan Buton 1930-1969, La Ode Falihi memerintahkan untuk hidup menyatu di satu tempat.

Ceritanya, saat itu ayah Ser Ali bernama La Worose, diperintahkan oleh Sultan La Ode Falihi (ayah La Ode Manarfah) untuk menyatukan orang-orang Bajo yang hidup terpencar di pesisir Pulau Buton bagian Timur.

Atas permintaan Sultan, kemudian mereka hidup menyatu di Teluk Hondolu Maranuang Lasalimu. Kini menjadi Desa Wasuamba.

Di tempat itu kemudian Suku Bajo diberi lahan oleh Sultan agar mereka ikut berkebun, selain menangkap ikan.

Tiga dari delapan tokoh masyarakat Bajo yang kini berada di Kendari. Tengah: Ser Ali (tokoh agama/imam masjid). Kanan: Dahar M.O.D Bolo (pelaku sejarah) korban DI/TII. (Foto: Habiruddin Daeng/SULTRAKINI.COM).
Tiga dari delapan tokoh masyarakat Bajo yang kini berada di Kendari. Tengah: Ser Ali (tokoh agama/imam masjid). Kanan: Dahar M.O.D Bolo (pelaku sejarah) korban DI/TII. (Foto: Habiruddin Daeng/SULTRAKINI.COM).

“Sultan (Buton) memberi lahan dari batas Batu Malinti sampai Saranga, yang panjangnya kira-kira tiga kilometer,” jelas Ser Ali kepada wartawan di Kendari, Senin sore.

Sejak itu suku Bajo di sana hidup normal sebagaimana masyarakat pada umumnya. Selain bercocok tanam, mereka kebanyakan merantau untuk menangkap ikan di sejumlah provinsi lain, seperti Nusa Tenggara Timur. Ada juga pelintas batas negara, Australia.

Jumlah mereka terus bertambah. Kini sudah mencapai 1500 jiwa, kebanyakan masih di rantau.

“Yang tinggal di Wasuamba sekarang hanya 800 jiwa lebih,” ujar Salmin, tokoh pemuda Bajo yang ikut dalam tim delapan di Kendari kepada SultraKini.com.

Di area yang ditempati suku Bajo tersebut, saat ini sudah berdiri taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan masjid. Bahkan kuburan turunan mereka ada di situ, tak terkecuali satu lubang kuburan bagi 16 mayat suku Bajo yang dibunuh oleh gerombolan DI/TII.

Menurut tokoh Bajo lainnya, Dahar M O.D. Bolo, pada tahun 1956, masyarakat Bajo di Wasuamba ikut angkat senjata melawan pasukan gerombolan DI/TII. Waktu itu, gerombolan DI/TII mau mengambil alih Wasuamba untuk dijadikan pelabuhan, salah satu pintu keluar masuk Buton.

Mereka juga meminta dukungan logistik dari suku Bajo. Tetapi setelah didengar oleh polisi Indonesia, suku Bajo kemudian dilarang memberi bantuan kepada orang-orang DI/TII.

“Ali Seda dari Brimob mendatangi orang-orang Bajo memberitahu bahwa DI/TII itu adalah musuh negara,” jelas Dahar.

Akhirnya, pasukan DI/TII pimpinan Andi Bahtiar pun marah sehingga terjadi kontak senjata dengan suku Bajo. Peperangan itu menewaskan empat orang DI/TII termasuk Andi Bahtiar, namun dari suku Bajo tewas 16 orang yang dikubur dalam satu lubang. Termasuk ayah Dahar ikut gugur.

Setelah perang melawan DI/TII, suku Bajo kemudian kembali hidup tenang di Wasuamba. Mereka beraktivitas, hidup rukun bersama desa-desa tetangga. Namun ketenangan itu terusik setelah wilayah mereka diberi patok sebagai kawasan hutan bakau. Mereka takut mendirikan rumah tinggal permanen, jangan sampai tergusur kelak.

Peta dan titik koordinat Desa Wasuamba. (Foto: Ist).
Peta dan titik koordinat Desa Wasuamba. (Foto: Ist).

Mereka kemudian memilih cara hidup berkumpul antara satu hingga empat kepala keluarga (KK) dalam satu buah rumah yang berdiri di atas area laut.

Melihat realita tersebut, mantan aktivis mahasiswa Universitas Haluoleo La Ode Hasmin Ilimi, terpanggil untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Bajo tersebut.

Hasmin mendampingi delapan tokoh Bajo itu untuk bertemu gubernur Ali Mazi dan juga akan ke DPRD Sultra, Rabu (26 Februari 2019).

Menurut Hasmin, masyarakat Bajo mempunyai kepatutan hukum yang tinggi sehingga mau menempuh cara damai dalam menyelesaikan permasalahan mereka. Namun, jika permintaan mereka tidak disahuti maka tidak tertutup kemungkinan akan menggugat pemerintah secara perdata.

“Ini jelas sebagai perampasan hak-hak masyarakat,” jelas Hasmin yang juga mantan Ketua Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi, Unhalu, di era 1990-an.

Penulis: Nurul Anggraini

Editor: M Djufri Rachim

  • Bagikan