Urgensi "Kekerasan" pada Momentum Hari Anak dan Lahirnya Pancasila

  • Bagikan

Oleh : Sri Damayanty, SKM., M. Kes
(Dosen Kesling STIK Avicenna & Ex Ketum Kohati Badko HMI Sultra)

 

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Anak-Anak Sedunia, juga diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Saya melihat ada hubungan antara kedua hari peringatan tersebut.

 

Mestinya seluruh anak di belahan bumi manapun merasa berbahagia pada hari ini. Kebahagiaan itu entah harus diwujudkan dengan cara apa.

 

Yang saya tahu, anak-anak sudah cukup berbahagia jika dapat bermanja dengan keluarga, bermain bebas dan tertawa lepas dengan teman-teman, berangkat dan pulang sekolah dengan aman, atau mungkin mendapat hadiah setelah berhasil meraih juara kelas. Hal-hal sederhana tersebut sudah cukup membuat anak-anak tersenyum lepas tanpa beban.

 

Sayangnya, tidak semua anak dapat merasakan itu. Sejak kehidupannya terusik bahkan terenggut oleh orang-orang tak berakal sehat.

 

Sebut saja Yuyun, bocah malang berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP. Setelah diperkosa beramai-ramai, Yuyun dibunuh dan mayatnya dibuang ke jurang. Pelakunya kebanyakan masih remaja dan berstatus pelajar. Kasus ini seirama dengan kasus yang menimpa Enno (19 tahun) yang dinodai dan dibunuh dengan menggunakan pacul.

 

Tak kalah kasihan dan menyedihkannya, anak-anak yang menjadi korban pemerkosaan lainnya meski tak berujung kematian. Bukan hanya trauma, hal tersebut akan mengganggu perkembangan mental dan psikis anak. Kehilangan kepercayaan diri dan malu sudah pasti menjadi sebab hilangnya kemampuan bersosialisasi di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Belum lagi gangguan kesehatan reproduksi yang mereka alami baik akut maupun kronis. Kerugian-kerugian tersebut tidak dapat tergantikan oleh uang dan materi. Wajar saja jika siapapun geram dan mengutuk keras pelaku-pelaku pemerkosaan tersebut.

 

“Penjara hanya 15 tahun? Sementara Yuyun dan korban sejenis lainnya melewatkan detik-detik akhir hidupnya dengan sakit yang teramat perih. Hebat sekali bocah-bocah bejat itu. Dikategorikan anak di bawah umur namun nafsunya lebih liar dari nafsu usia dewasa. Pantaskah dianggap bocah? Sepertinya definisi \”anak dibawah umur\” perlu direvisi. Terlebih sanksi yang tak adil dan tak berefek jera itu”.

 

Pemikiran inilah yang selalu timbul manakala memikirkan kasus tersebut. Sungguh tak adil bagi korban terlebih bagi keluarga dan kerabat korban.

 

Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia saat ini sudah masuk dalam kondisi ”darurat”. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, sejak tahun 2010-2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupatan dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu, merupakan kejahatan seksual terhadap anak. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, dan penelantaran anak (Wikipedia).

 

Data dan korban kejahatan seksual terhadap anak setiap tahun terjadi peningkatan. Pada 2010, tercatat 2.046 kasus, 42% diantaranya adalah kasus kejahatan seksual. Pada 2011 terjadi 2.426 kasus (58% kejahatan seksual), dan 2012 tercatat 2.637 kasus (62% kejahatan seksual). Pada 2013, terjadi peningkatan yang cukup besar yakni sebanyak 3.339 kasus, dengan kejahatan seksual sebesar 62%. Sedangkan pada 2014 (Januari-April), terjadi sebanyak 600 kasus atau 876 korban, diantaranya 137 kasus adalah pelaku anak (Wikipedia).

 

Kembali ke soal dua peringatan hari besar tadi. Lalu dimana letak hubungan keduanya? Para pelaku pemerkosa sangat jelas gagal paham akan Pancasila sebagai azas tata hukum negara kita. Jelas sekali mereka tak berketuhanan yang maha esa. Pemahaman religius yang rendah, boleh jadi disebabkan oleh rendahnya pengetahuan dan tingkat pendidikan serta kurangnya kesadaran moral dan etika yang ditumbuhkan dari keteladanan yang baik oleh orang tua maupun lingkungan sekitar.

 

Hampir semua riset menunjukkan hasil yang sama bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang sangat erat dengan pola sikap dan tindakan seseorang. Pengetahuan yang kurang akan menghasilkan sikap dan tindakan yang kurang baik. Demikian sebaliknya, pengetahuan yang baik akan menghasilkan pola sikap dan tindakan yang baik pula. Namun pada beberapa kasus, hal ini tidak terjadi. Disinilah peran moral dan etika harus kuat. Pada akhirnya, pengetahuan kurang ataupun baik harus didukung oleh moral dan etika yang dibawa sejak kecil yang ditularkan dari orang-orang terdekat.

 

Lalu pada sila ke lima Pancasila disebutkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Ini lah yang masih jarang di negara kita. Definisi keadilan yang sangat multi interpretasi dan ukurannya yang sangat beragam selalu saja menimbulkan perbedaan pendapat. Andai saja ukuran keadilan itu sama dan benar berkeadilan, maka tak akan ada diskusi panjang soal sanksi bagi para pelaku kejahatan.

 

Para hakim kebetulan saja bukan orang tua korban. Pak polisi kebetulan juga bukan tetangga korban. Wajar saja jika ukuran keadilan itu tak akan sama dirasakan dengan ukuran yang diharapkan oleh keluarga-keluarga korban.

 

Saya tak ingin berbicara soal hukuman apa yang pantas pagi para pelaku kejahatan. Para aktivis HAM dan lembaga-lembaga yang peduli terhadap Perlindungan anak sudah cukup bersuara dan beraksi untuk hal tersebut. Sangat apresiasi bagi mereka-mereka yang punya kepedulian.

 

Turut apresiasi pula terhadap upaya pemerintah dan seluruh lembaga dan ormas yang terlibat. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5/ 2014 tentang Gerakan Nasional Menentang Kekerasan Seksual Anak serta rencana untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perlindungan Anak dengan menambahkan hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual. Setidaknya ini adalah upaya nyata pemerintah dalam menindaklanjuti kasus-kasus tersebut.

 

Ibarat pohon, kampak hanya mampu memotong batang pohon untuk berhenti tumbuh menjulang ke atas. Namun akarnya akan tetap bertahan dengan kuatnya bahkan dapat menghasilkan tunas-tunas yang banyak. Demikian halnya dengan sanksi bagi para pelaku. Harapannya bahwa sanksi yang sudah dinilai berat oleh Tata Hukum kita, tidak sekedar memberi efek jera pada pelaku. Namun juga mampu mengikat kesadaran bagi semua untuk tidak melakukan hal-hal biadab tersebut.

 

Oleh karena itu, pencegahan kekerasan seksual di masyarakat harus dimulai dari keluarga melalui pendidikan moral dan etika. Membiasakan anak sadar akan moral dan etika akan mengantarkan anak pada kedewasaan yang matang. Terlebih di jaman High Technologi hari ini, dimana anak dapat mengakses informasi apapun di media, sehingga peran orang tua dan pendidik harus semakin diperkuat.

 

Seksualitas jangan lagi dianggap tabu untuk dibicarakan. Harus disampaikan secara terbuka agar anak-anak dan remaja dapat memperoleh informasi seksualitas yang benar dari sumber-sumber yang bertanggung jawab.

 

Demikian halnya di sekolah, kurikulum harus mengarahkan pendidikan seks yang komprehensif. Tidak hanya menitik beratkan pada aspek biologis mengenai bentuk dan fungsi organ reproduksi saja. Melainkan harus memberi pemahaman pada anak mengenai bagian tubuh mana yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh, bagian tubuh mana yang boleh dilihat dan tidak boleh dilihat serta dapat menghargai lawan jenis.

 

Free seks dan pemerkosaan sebagai bentuk dari kerusakan otak pada anak remaja akibat pornografi yang berujung pornoaksi. Ini adalah bencana Nasional yang harus dihentikan. Semua pihak harus terlibat. Orang tua, pendidik, aparat keamanan, hingga ke penegak hukum harus menjalankan perannya masing-masing dengan benar.

 

Dalam momentum peringaatan hari anak-anak se dunia yang bertepatan hari lahirnya Pancasila di Indonesia kiranya menjadi momentum dan urgen untuk menyikapi berbagai kekerasan yang terjadi sebagaimana diuraikan di atas. Kita tidak tinggal diam dan menutup telinga melainkan mengambil upaya paling minimal yang bisa kita lakukan. Agar anak atau adik-adik kita tidak menjadi korban atau pelaku bejat berikutnya, AMIN…

 

Selamatkan anak-anak kita. Selamat hari anak-anak Sedunia.

  • Bagikan