Vaksin Covid-19 Bukan Jimat Sakti

  • Bagikan
Ilustrasi. (Foto: Fajrul Isbah)

Artis Raffi Ahmad yang dipilih Presiden Joko Widodo sebagai perwakilan anak muda penerima vaksin pertama, langsung mengecewakan muda-mudi Indonesia setelah ketahuan karaoke rame-rame persis di hari yang sama setelah divaksinasi. Kelakuan Raffi, makin memantik perbincangan di media sosial. Ini menjadi penting, karena ternyata masih banyak orang enggak paham vaksin bukanlah semacam batu kryptonite yang bisa membuat Superman tiba-tiba kuat dan bisa pembasmi pandemi.

Berkaca dari insiden ini, mungkin perlu untuk bikin panduan sederhana ‘Vaksin Covid 101’: apa itu vaksin Covid-19, gimana cara kerjanya, apa fungsinya, dan paling penting, apakah kita boleh nongkrong dan karaoke sehabis disuntik vaksin?

Selama 10 menit ke depan (kira-kira segitu waktu yang kalian habiskan untuk membaca artikel ini), mari mencicipi sedikit pengetahuan dunia kesehatan, itung-itung biar bisa pamer pas diajak ngobrol (calon) mertua dan keluarga besar terkait isu mutakhir ini di grup WhatsApp.

Apa itu vaksin?

Vaksin adalah cairan berisi zat yang bisa membuat manusia penerimanya kebal terhadap satu penyakit tertentu. Konsepnya lumayan seru. Cairan vaksin berisi virus yang sudah dilemahkan lewat proses rekayasa genetika keren para ilmuwan. Gara-gara lebih lemah dari virus berkekuatan asli, saat vaksin berisi virus ini dimasukkan ke tubuh, sel imun manusia lebih berpeluang menang saat melakukan perlawanan. Kemenangan sel imun melawan virus lemah dalam vaksin akan menghasilkan apa yang dinamakan antibodi.

Nah, dengan sudah terbentuknya antibodi, kalau ada virus berkekuatan penuh tiba-tiba masuk badan tanpa diundang di masa depan, tubuh bervaksin berpotensi lebih siap menghadapinya agar tidak menimbulkan efek fatal.

Tubuh saya dimasukin virus secara sengaja? Jangan-jangan artikel grup WA saya benar, vaksin ini mengandung chip Bill Gates!?

Kami putuskan untuk enggak merespons tudingan agenda setting Bill Gates. Tapi, kalau soal memasukkan virus secara sengaja, itu emang benar. Enggak usah lebay gitu, ini praktik yang lazim di dunia kesehatan. Kan udah dibilang di atas, penyakit yang dimasukkan ke tubuh ini udah lemah sehingga aman “dikonsumsi” tubuh.

Ada beberapa metode terpercaya yang mampu membuat virus ini “lemah” dan aman dimasukin ke tubuh. Misalnya, ilmuwan mencabut bagian genetik tertentu sehingga virus cuma berbentuk cangkang tanpa isi. Metode ini yang dipakai Sinovac dan sudah masuk ke tubuh Raffi Ahmad. Contoh lain, ilmuwan justru memasukkan bagian genetiknya, disebut messenger-RNA (m-RNA), tanpa cangkang. Cara ini dipakai perusahaan vaksin Pfizer dan Moderna. Intinya, ada beberapa rekayasa genetika yang bisa dilakukan dan terbukti aman.

Asyik, berarti berkat vaksin, Covid-19 akan segera enyah dari dunia ini?

Maaf, ya anda harus kecewa. Kehadiran vaksin enggak serta-merta bikin kita langsung tenang nonton bioskop lagi.

Pertama, ada konsep bagus bikinan virolog Australia Ian M. Mackay bernama “The Swiss Cheese Model of Pandemic Defense” untuk melihat peran vaksin dalam pandemi. Doi mengibaratkan perlindungan melawan wabah sebagai lapisan keju. Tiap lapis berfungsi melindungi, namun pasti ada bolongnya. Nah, vaksin itu ada di urutan terakhir alias prioritas paling bungsu. Sebelum efektif menggunakan vaksin, ada langkah perlindungan penting lain yang udah biasa kita kenal dengan singkatan 3T (tracing, testing, treatment) dan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak). Ini harus diterapkan. Vaksin enggak akan kuat melindungimu kalau kamu sendiri enggak mau pakai masker.

Kedua, mengingat vaksin adalah langkah awal dari cita-cita mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity, secara teori dibutuhkan minimal 70 persen orang divaksinasi untuk sampai ke sana. Dalam kasus Indonesia, ini berarti 181 juta jiwa. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri bilang angka segitu baru bisa kita capai paling cepet Maret 2022. Ini versi optimistis penuh harapan lho ya, mengingat banyak tantangan vaksinasi menanti giliran muncul di publik.

Epidemiolog dan juru wabah Pandu Riono malah memperkirakan kekebalan populasi tidak akan tercapai tiga sampai empat tahun lagi. “Untuk mencapai tahapan itu [kekebalan populasi], kita tidak mungkin mendapatkan vaksin yang cukup dalam satu waktu. Kedua, kita juga akan mengalami kesulitan menjangkau populasi-populasi yang remote [terpencil], yang jauh dari pelayanan kesehatan. Ketiga adalah masalah kemungkinan adanya penduduk yang menolak untuk divaksinasi,” kata Pandu kepada BBC Indonesia.

Oke, meski masih berkeliaran di dunia sampai bertahun-tahun ke depan, tapi setidaknya Covid-19 akan enyah dari hidup saya dong kalau saya sudah divaksinasi? Bisa nongkrong dong sama temen-temen geng vaksin lain?

Konsultan biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menjelaskan, uji klinis vaksin Covid-19 baru terbukti mencegah gejala, tapi belum terbukti mencegah penularan. Iya, meski kamu kebal dan sehat sentosa saat dihinggapi virus, kamu masih pantas disebut OTG (orang tanpa gejala). Geng vaksinmu masih bisa bikin klaster penyebaran baru tanpa sadar kalau nekat nongkrong. Nah, sekarang bayangin kamu sebagai OTG nularin lansia, anak-anak, atau orang dengan komorbid yang emang enggak bisa divaksinasi. Tetep serem, guis.

Ditambah lagi, saat ini vaksin merek CoronaVac buatan Sinovac sekadar dapat izin “penggunaan darurat” di Indonesia. Kenapa namanya darurat? Karena sebenarnya penelitian belum paripurna, namun keburu dibutuhkan untuk melindungi tenaga kesehatan kita. Salah satu yang belum diketahui dari vaksin ini adalah durasi proteksinya. Sampai sekarang kita masih belum punya kajian ilmiah apakah sekali suntik vaksin ini bisa melindungi kita selama-lamanya atau malah cuma setahun-dua tahun.

Hadeh, gimana sih ini para peneliti! Kok penelitiannya enggak dipakai sekalian buat membuktikan fungsi pencegah penularan dari vaksin ini?

Ampun deh, masih gak ngerti? Untuk mendesain uji klinis yang bisa ngetes fungsi penularan, dibutuhkan biaya dan waktu yang lebih panjang, kira-kira setahun lah. Nih kutipan Pak Ahmad Rusdan Utomo Ahli Biologi Molekuler lulusan Harvard Medical School AS, biar kami enggak dibilang sok tahu.

“Kalau saya mau mendesain vaksin yang mencegah penularan. Pertama, semua relawan setiap dua minggu sekali harus saya swab PCR. Lalu, saya hitung terjadinya kasus positif tanpa melihat bergejala atau tidak. Bisa bayangkan swab PCR dua minggu sekali selama satu tahun. Ini penting kalau mau membuktikan.

“Kedua, dari kasus positif relawan, harus dicari lagi kontak eratnya, dan masing-masing itu di-PCR lagi. Sistem penelitian [vaksin] enggak semuanya ditanggung yayasan dan pemerintah, ada juga pemegang saham. Dan, enggak ada pemegang saham yang maunya rugi. Akhirnya perusahaan [vaksin] berhitung, kira-kira investasi berapa yang bisa dapat hasil relatif oke? Karena keterbatasan ini, maka sampai sekarang belum ada bukti [vaksin mencegah penularan]. Mudah-mudahan sih bisa, tapi sampai sekarang belum ada bukti itu,” kata Ahmad

Nah, gimana, mau bantu bayarin penelitiannya biar cepat?

Ya udah, ya udah, iya maaf. Ganti deh. Kapan saya bisa divaksinasi dan gimana prosesnya?

Sebentar, karena keterbatasan kuota, maka harus dibagi-bagi jatahnya. Kalau kamu termasuk tenaga kesehatan, kamu akan divaksinasi di gelombang pertama mulai hari ini sampai April. Kalau kamu petugas pelayanan publik macam polisi, guru, atau penjaga karcis bioskop, kamu akan divaksinasi setelah seluruh nakes. Di urutan selanjutnya, ada masyarakat umum berusia 18-59 tahun yang tinggal di zona merah pandemi. Baru setelah itu masyarakat umum yang enggak termasuk semua kategori tadi.

Rencananya, pemerintah akan mengirimkan SMS kepada mereka yang udah dapat giliran. Oh ya, beberapa daerah di Indonesia juga diberitakan udah mendata warganya yang akan menerima vaksin.

Nah, kalau kamu udah dapat giliran, silakan datang di posko vaksinasi. Nanti, kamu akan disuntik vaksin dua kali dengan rentang waktu dua minggu antara suntikan pertama dan kedua. Pasti kamu bertanya-tanya kan mengapa dua kali? Kalau kata Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain LIPI Wien Kusharyoto sih biar tubuh kita ingat dan lebih familier sama virusnya. “Suntikan pertama untuk memicu respons kekebalan awal terhadap vaksin yang diberikan. Suntikan kedua dapat meningkatkan kekuatan respons imun yang sebelumnya sudah terbentuk,” kata Wien kepada CNN Indonesia.

Saya hamil, apakah boleh menerima vaksin?

Sampai saat ini belum ada penelitian efek vaksin Covid-19 pada ibu hamil. Alasannya simpel, peneliti enggak berani coba-coba ke bumil. Menyuntikkan vaksin pada perempuan mengandung dianggap terlalu berisiko untuk kesehatan ibu dan janin. Jadi, disarankan banget ibu hamil untuk tidak menyentuh vaksin dulu. Hal sama berlaku juga untuk anak-anak. Ada gosip, vaksin dengan keampuhan segala umur baru akan hadir pada akhir 2021, tapi kita sebaiknya enggak berharap pada kabar burung.

Biar mi ada efek sampingnya, asal saya kebal kalau sudah vaksin

Enggak usah aneh-aneh, apalagi berharap menjadi Superman setelah divaksin. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) udah mengumumkan hasil uji klinis dan menyebut efek samping yang ditimbulkan berupa penyakit ringan-sedang. Nyeri, iritasi, kemerahan, pembengkakan, kelelahan, dan demam adalah beberapa di antaranya. Kepala BPOM Penny K. Lukito menyakinkan masyarakat bahwa efek samping CoronaVac tidak berbahaya dan bisa dipulihkan.

Kenapa masih banyak pejabat suka bikin acara kumpul-kumpul di masa pandemi covid?

Hush….itu pertanyaan kami juga, tolong bantu tanyakan saja ke Bapak-Bapak yang terhormat itu. Karena sepertinya pesan menjaga jarak mereka tabrak sendiri. Belum pernah terjaring operasi Yustisi Covid ya? Di dalam mobil pribadi saja pasti kita diminta menggunakan masker. Gak percaya? Coba saja tanpa masker sambil turunkan kaca mobil saat dihadang operasi yustisi.

Baiklah, infonya sudah cukup jelas. Abis ini nongkrong yuk?

Enak mu

Penulis: A. Amir

  • Bagikan