Wabah Koruptor dalam Penjara Mewah

  • Bagikan
Devita Nanda Fitriani, S.Pd (Muslimah Media Kendari).Foto:ist

Korupsi seakan telah mendarah daging di negeri zamrud khatulistiwa. Meski telah diupayakan berbagai cara untuk memberantasnya, kasus korupsi senantiasa membuat  petugas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kalang kabut. Ironisnya, berada dalam bui tidak membuat para koruptor jera membuat ulah.

Seperti kasus penemuan fasilitas mewah di Lapas Sukabumi, Bandung, Jawa barat, yang ditempati para koruptor. Hal tersebut tentu saja membuat banyak kalangan kecewa berat. Misalnya peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption  Watch (ICW), Almas Sjafrina, yang menilai jika pemerintah harus segera membenahi sistem lembaga permasyarakatan (lapas), terutama lapas korupsi. “Bagaimana koruptor bisa jera dan tidak mengulangi perbuatannya kalau fasilitas yang mereka peroleh di lapas masih dalam tanda kutip istimewa dibandingkan napi lain?” kata Almas di Jakarta, Minggu (29/07/2018).

 

Kesalahan yang berulang

Menurut Almas, terbongkarnya kasus fasilitas mewah lapas para napi bukan kali ini terjadi. Tahun 2010, fasilitas mewah juga pernah ditemukan di sel terpidana narkoba Artalyta Suryani atau Ayin di Rutan Kelas II A Pondok Bambu Jakarta Timur. Perlakuan istimewa juga turut diperoleh Gayus Tambunan, terdakwa kasus mafia pajak. Gayus ketahuan sering keluar lapas Mako Brimob Depok dengan menyuap sejumlah petugas. Tak hanya ke luar kota, dia bahkan sempat bepergian ke luar negeri dengan menggunakan paspor palsu atas nama Sony Laksono (Kompas.com, 29/07/2018).

Almas mengatakan bahwa bukan hanya narapidana yang patut disalahkan. Karena untuk mendapat hak istimewa, tentu butuh sokongan dari pihak lain. Seperti kepala lapas ataupun sipir yang berwenang. “Saya rasa jangan hanya dilihat perilaku narapidana korupsinya saja tetapi juga peluang atau kesempatan mereka di dalam itu. Itu kan enggak mungkin tanpa izin,” tegas Almas. Karena itu, ICW meminta peerintah dalam hal ini Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) membenahi sistem di lapas. Pembenahan tak hanya soal pengawasan, tetapi juga terkait integritas para sipir.

Meski telah direalisasikan, saran mengganti oknum penjaga lapas terbukti tidak ampuh menghilangkan praktik suap demi fasilitas mewah. Pasalnya, saat melantik Tejo Harwanto menjadi Kalapas Sukamiskin, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly,  mengatakan ini sudah yang keenam kalinya beliau mengganti kalapas semenjak menjabat (news.okezone.com, 26/07/2018). Ironisnya, kasus seperti ini terus terulang. Perkara ini tentu meresahkan, kesan hukum yang bisa dipermainkan oleh pemilik fulus semakin terlihat.

Utopisnya Pemberantasan Korupsi Dalam Demokrasi

.Banyak orang yang tahu bahwa mencuri, merampok, ghashab (menipu) dan korupsi adalah tindakan yang salah. Lalu mengapa banyak anggota masyarakat yang melakukannya?

Mungkin kita bisa melihat dari berbagai aspek, seperti proses untuk memperoleh jabatan. Realitas menjabarkan jika proses untuk mencapai kedudukan dalam sistem demokrasi tergolong memiliki biaya mahal. Dilansir dari www.bbc.com (12/1/2018), dalam penelitian KPK tahun 2016 ditemukan jika calon walikota atau bupati rata-rata mengeluarkan uang Rp. 20 – 30 miliar. Sedangkan ‘mahar’ politik yang dikeluarkan calon gubernur lebih besar, yakni sekitar Rp. 100 miliar. Hal tersebut disinyalir semakin menyuburkan kasus korupsi oleh penjabat demi mengembalikan ‘modal’. Bukti terpampang jelas, betapa banyaknya pejabat menjadi maling berdasi ketika sedang menduduki suatu jabatan tertentu. Sarananya pun berbeda-beda. Entah tersandung kasus suap, penggelapan dana, ataupun menjadi mafia pajak.

Di sisi lain, sistem sanksi yang diberikan juga dinilai tergolong lemah serta tidak maksimal. Sudah menjadi rahasia umum jika sistem hukum saat ini timpang, alias tajam kebawah tumpul keatas. Hukum seakan bisa dipermainkan tatkala berhadapan dengan individu berduit. Fasilitas mewah dalam hotel prodeo bagi narapidana tertentu adalah realitas yang tak terbantahkan.

Perpaduan antara mahalnya biaya politik serta sistem hukum yang lemah menjadikan pemberantasan maling berdasi hanyalah utopis dalam sistem demokrasi.

 

Islam  Solusi Tuntas

Allah SWT. mengutus Nabi Muhammad saw. dengan membawa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Seluruh interaksi antarmanusia diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam sehingga bisa mewujudkan kebahagiaan bagi manusia dan harmoni seluruh alam.

Wujud kerahmatan Islam itu bisa tampak manakala syariahnya diterapkan secara sempurna (kaffah) oleh negara (Daulah). Umat, baik secara individu dan berjamaah akan terlindungi karena Islam akan menjaga agama, akal, jiwa serta harta kaum muslim. Islam menjaga 4 perihal tadi dengan memangkas aspek-aspek yang menimbulkan kriminal dan menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi pelaku pidana. Sehingga tidak ada kesempatan buat terpidana untuk berbuat curang, apalagi memperoleh fasilitas mewah seperti jaman now.

Bagi koruptor misalnya, mereka akan dikenai sanksi ta’zir dengan maksimal hukuman mati yang dilaksanakan oleh hakim. Dengan begitu, mereka akan berpikir ulang untuk mengulanginya sehingga tak ada seorangpun yang berani mengambil harta orang lain. Selain untuk mencegah (zawajir), sistem sanksi Islam juga berfungsi sebagai penebus (jawabir) dosa seorang muslim dari azab Allah di Hari kiamat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :

“Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya.” [HR Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit].

Sebagai hamba Allah yang dikaruniai kemampuan berpikir, tentu kita bisa melihat jika hanya sistem Islam lah yang bisa memberi solusi tuntas untuk menyelesaikan tindak kejahatan. Berbeda halnya dengan sistem Demokrasi yang bersumber dari manusia. Alih-alih memberantas, justru kejahatan semakin subur bak cendawan di musim hujan. Wallahu a’lam.

 

Oleh : Devita Nanda Fitriani, S.Pd (Muslimah Media Kendari)

  • Bagikan