Warga Wolowa Baru dan Ritual Memberi Makan Buaya

  • Bagikan
Penemuan buaya betina di perairan Desa Bahari Makmur, Kecamatan Siotapina. Warga Dusun Waulangi, Desa Wolowa Baru, Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton kemudian mengembalikannya di sarangnya (Ganda). (Foto: La Ode Ali/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: BUTON – Setiap Tiga tahun sekali, masyarakat Dusun Waulangi, Desa Wolowa Baru, Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara mengadakan pesta kampung sekaligus ritual memberi makan kepada kumpulan buaya di Kali Tondo.

Kumpulan buaya itu datang tidak jauh dari pesisir pantai ketika acara puncak. Mereka lalu diberi makan, selayaknya makanan yang dikonsumsi manusia dengan cara dihanyutkan. Ritual ini beda dengan zaman dulu, diama buaya diberi makan di daratan saat fajar mulai menyingsing.

Diceritakan oleh Lakina Wolowa, Ir. La Ode Amin EL bahwa semua buaya yang mempunyai lima jari tangan dan empat jari kaki tersebut merupakan anak cucu dari seorang perempuan bernama Waulangi yang kini menjadi nama dusun di desa itu. Waulangi, dulunya menikah dengan buaya jantan di Kali Tondo bernama Lamandigala.

Dikisahkannya, kala itu sebelum kampung atau desa terbentuk, selalu ada acara menari. Suatu saat, ketika acara menari berlangsung, tiba-tiba muncul dari arah laut seorang pria (Lamandigala) bertangan pendek ikut menari pada acara tersebut.

“Tiba-tiba dia (Lamandigala) mengajak kawin lari nenek (Waulangi), tapi nenek bilang ‘Kita mau lari pakai apa’, dijawab Lamandigala, ‘Kita lari pakai perahu’, nenek tanya lagi, ‘Saya tidak bisa bernapas nanti’, tapi dia bilang ‘Kamu pakai sarung buaya, kamu pasti bisa bernapas di laut’, lalu nenek langsung dibawah lari ke Ganda (Gendang) di Kali Tondo (Sarang buaya saat ini),” ucap Amin kepada SultraKini.Com di Wolowa Baru, Rabu (7/3/2018).

Menurutnya, dia keturunan kedelapan dari Waulangi itu, setelah enam hari menghilang karena dibawah lari Lamandigala, tiba-tiba dia muncul dan memberitahukan kepada orang tuanya yang juga berkebun di sekitaran Ganda bahwa dirinya tidak usah lagi dicari, karena dia sudah hidup di Ganda bersama Lamandigala.

“Nenek (Orang tua Waulangi) sampai di rumah (kebun) itu, dia tumbu-tumbu padi di atas, tiba-tiba dia rasa dari lubang muncul nenek (Waulangi), dia ditanya ‘Kamu ini sudah enam hari hilang, kita mau bikinkan mi ini hari ke tujuhmu (Karena dianggap sudah meninggal), tapi si nenek bilang, ‘Tidak usah mi, karena saya sudah kawin dengan mereka (Lamandigala),” lanjut Amin dengan sedikit melogat.

Seiring waktu, lanjut pensiunan pria yang pernah bekerja di Airport Duty Manager Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan itu, seiring berjalannya waktu, ketika Waulangi hamil dan mengidam ingin memakan seekor kambing. Namun, ketika suaminya (Lamandigala) membawakan kambing di Ganda tapi tidak kesampaian karena sebelum sampai ditujuan, kambing tersebut mati. Begitu seterusnya hingga tiga kali karena tidak bisa bernafas di dalam laut. Akibatnya, Waulangi saat itu mengatakan, bahwa hingga turunannya yang ke tujuh tidak boleh memakan kambing.

“Dan yang perlu ditahu, Ganda itu berbentuk lubang tujuh lapis pagar atau tujuh tingkat dan dilapisan ke tujuh itu kering, mereka disitu berubah wujud menjadi manusia,” ujarnya.

Selain itu, katanya lagi, setiap Hari Kamis sore selalu terdengar bunyi gendang silat dibarengi gendang joget. Untuk menempuh Ganda, harus menggunakan perahu yang berjarak sekira 2 kilometer dari desa tersebut.

Amin menambahkan, Waulangi yang warga setempat menyebutnya dengan panggilan Wa Ompu (nenek) hingga kini masih hidup dan menetap di Ganda. Sedangkan Lamandigala atau La Ompu (kakek) telah meninggal dan dimakamkan di Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan.

 

Laporan: La Ode Ali

  • Bagikan