Waspadai Mahar pada Pemilihan Rektor di PTN

  • Bagikan
Oleh: Anco S.Sos. I., M.Pd (Pemerhati Pendidikan)

SULTRAKINI.COM: Akhir-akhir ini publik digemparkan dengan statement dari mantan ketua PSSI, La Nyala Mataliti terkait dengan mahar politik dari partai Gerindra. La Nyala blak- blakan ngomong di media massa terkait dengan mahar politik berjumlah Rp 4 milliar yang diminta oleh Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Tapi itulah politik, uang mahar dan praktek money politik bukan hal yang tabu di bangsa ini.

Tentunya pembahasan mahar politik yang lagi santer dibahas di media massa tidak boleh terjadi di lembaga pendidikan, yakni pada proses pemilihan Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Pemilihan Rektor diberbagai PTN di Indonesia menuai protes dari berbagai kalangan, baik itu dari mahasiswa maupun dari para pegiat pendidikan lainnya, banyaknya bukti ketimpangan atau anomali dan tidak transparansinya mekanisme pemilihan Rektor PTN turut  menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan.

Belum hilang diingatan publik dugaan dengan kasus plagiat yang dilakukan oleh rektor terpilih Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Menurut sebagian dosen, rektor terpilih UHO terindikasi melakukan plagiat atau copy paste tulisan orang lain di jurnal internasional tanpa menyebutkan penulisnya dan seolah-olah tulisan itu hasil karyanya.

Yang lebih parah lagi saat ini mahasiswa UHO yang ijazahnya ditanda tangani oleh Plt Rektor UHO saat itu yakni Prof. Dr. Supriadi Rustad terancam tidak bisa menggunakan ijazahnya untuk melamar menjadi pegawai negeri sipil, kondisi ini sangat merugikan mahasiswa. Penulis berharap KEMENRISTEK-DIKTI harus merespon persoalan yang terjadi di kampus UHO agar mahasiswa tidak mejadi korban dari kebijakan yang kurang efektif.

Bahkan Majalah Tempo pernah memuat berita tentang dugaan suap pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri. Sejumlah pengajar UHO awal September lalu mengadukan kejanggalan dalam persiapan pemilihan rektor ke Ombudsman Republik Indonesia. Kasus kampus UHO  hanya bagian terkecil dari problem 122 PTN di seluruh Indonesia.

Aturan Pemilihan Rektor PTN yakni Menteri memiliki hak suara 35 persen dan Senat/Majelis Wali Amanah (MWA) PTN memiliki 65 persen suara dalam proses pemilihan rektor. Tahap yang harus dilalui dalam proses pemilihan rektor yakni penjaringan, penyaringan, pemilihan dan pelantikan.

Tapi menurut hemat saya terjadi anomali atau penyimpangan dalam proses pemberian suara oleh KEMENRISTEK-DIKTI terhadap calon rektor, tidak ada standar aturan yang jelas terkait syarat dukungan suara KEMENRISTEK-DIKTI terhadap calon rektor. Kondisi ini akan terkesan bahwa dukungan menteri terhadap calon rektor akan bersifat subjek dan berdasarkan kedekatan emosional, bukan berdasarkan prestasi ataupun kepantasan akademik, apalagi jika terjadi praktek jual beli (Mahar) jabatan Rektor, tentunya sangat disayangkan jika terjadi money politik dilembaga pendidikan.

Penulis melihat ada yang tidak transparan dalam pemilihan orang nomor satu di Universitas milik pemerintah. Saya berharap  Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, untuk memperhatikan masalah suap  dan tata kelola perguruan tinggi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (PERMENDIKNAS) Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor Perguruan Tinggi yang diselenggarakan, PERMENDIKNAS tersebut membagi dua suara dalam proses pemilihan rektor PTN yakni 65 persen suara ditentukan oleh civitas akademika dan 35 persen diberikan ke KEMENRISTEK-DIKTI.

Penulis menilai, pemilihan rektor sudah tidak demokratis lagi karena ada campur tangan pemerintah. Faktor suka dan tidak suka masih sangat berperan dalam pemilihan rektor. Penulis meminta pemerintah mengkaji ulang aturan tersebut sebab sampai saat ini masih ada kuota sebesar 35 persen untuk KEMENRISTEK-DIKTI dalam pemilihan rektor. Padahal, sebelumnya pemilihan rektor hanya diputuskan di senat mahasiswa kemudian ditetapkan Presiden. Keanehan lain, saat ini jabatan rektor pun bukan eselon I sehingga tidak sewajarnya pemerintah mengintervensi dalam proses pemilihan, kemudian pembagian kuota dalam pemilihan rektor tidak dapat diadopsi  lagi dalam era reformasi dewasa ini.

Jika masih ada suara pemerintah dalam prosesi pemilihan rektor, pemerintah masih tidak percaya dengan kebijakan kampus yang seharusnya otonom. Persentase tersebut juga masih memberikan porsi dominan kepada pemerintah sehingga terlalu kuat intervensi yang bisa dilakukan pemerintah. Meski PTN milik pemerintah, rektor bukanlah wakil menteri. Rektor tetap harus memiliki kebebasan akademis tinggi dan kekuatan politik untuk mengelola perguruan tinggi yang dipimpinnya, seharusnya KEMENRISTEK-DIKTI hanya berperan secara formal atau dalam arti hanya berfungsi mengangkat dan mengesahkan rektor yang dipilih senat.

Suara senat seharusnya memiliki integritas yang tinggi dalam pemilihan, bukan suara KEMENRISTEK-DIKTI. sistem ini dikaji ulang karena tidak boleh seorang rektor terbatasi independensi dan otonominya. Pengkajian ulang ini juga dimaksudkan untuk mencegah intrik dalam pemilihan rektor. “Apalagi, jika ada manuver politik yang terlibat di dalamnya.

Oleh: Anco S.Sos. I., M.Pd (Pemerhati Pendidikan)

  • Bagikan