Wendindi, Pengidap Kanker yang Meninggal Karena Tak Mampu Bayar Obat

  • Bagikan
Kediaman Werae, sehari setelah meninggalnya Wendindi. Tampak masih ada tenda yang berdiri dan kursi plastik untuk para pelayat. (Foto: Mas jaya/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KONAWE – Nasib Wendindi, warga Kelurahan Laosu Kecamatan Bondoala Kabupaten Konawe penuh dengan cerita pulu. Wanita berusia 39 tahun itu, harus berjuang selama bertahun-tahun melawan ganasnya tomur kelenjar benih yang dideritanya. Tragisnya, ia tak tertolong lantaran keluarganya tak punya uang untuk biaya pengobatan.

Ketika SULTRAKINI.COM menyambangi rumah almarhum, suasana duka masih begitu kental, Minggu (19/06/2016). Wendindi telah meninggal sehari sebelumnya. Tenda besi masih berdiri di halaman rumah Werae, ibu Wendindi. Kursi-kursi plastik yang dipersiapkan untuk pelayat telah dirapikan. Tak ada lagi tetamu yang ramai. Hanya tampak beberapa tamu yang memarkir motornya di halaman.

Kepada media ini, Werae mengurai cerita tentang anaknya. Ia mengatakan, tumor kelenjar benih yang diderita Ndindi, sapaan akrab Wendindi, telah menyerangnya sejak dua tahun silam. Awalnya, penyakit kanker itu muncul bak biji-biji jagung yang menempel pada kulit bagian leher. Khawatir dengan kondisi itu, dibawa ke dukun untuk berobat. Alhasil, biji jagung yang memenuhi area leher Ndindi sempat mengecil.

Akan tetapi, keadaan itu tidak bertahan lama. Beberapa hari setelahnya, reaksi tumor kelenjar benih kembali memburuk. Biji jagung yang tadinya kempes, membesar kembali dan disertai dengan pembengkakan. Pembengkakan yang terjadi tak hanya dileher, melainkan juga di ketiak dan pangkal paha.

“Setiap kali biji jagungnya muncul, Ndindi akan kesakitan. Bahkan sampe membuatnya demam,” kata Werae dengan wajah yang miris.

Upaya medis terhadap Ndindi dilakukan keluarganya sejak Februari 2016. Ketika itu, Ndindi yang kerap meronta kesakitan di bawah ke Unit Puskesmas kelurahan setempat. Oleh pihak Puskesmas direkomendasikan untuk dirujuk ke rumah sakit (RS). Keluarganya pun kemudian meminta agar dirujuk ke RS terdekat dari Bondoala. Ndindi lalu diberikan rujukan ke RS Bhayangkara Kendari.

Ketika itu, Ndindi yang dari keluarga tidak mampu telah memegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) BPJS Kesehatan. Namun saat hendak di bawa ke RS, mereka tak menawarkan ambulance. Meski sempat bertanya tentang itu, pihak Puskesmas berdalih, sedang tidak ada sopirnya. Padahal, sebagai pemegang KIS Ndindi berhak atas fasilitas tersebut.

Ibu Ndindi kemudian memutuskan untuk menyewa mobil. Ia pun harus merogoh kocek, meski dalam keterbatasan dana. Lalu mereka pun bergegas ke RS Bahayangkara.

Sehari di Di RS Polri tersebut, Ndindi melakukan check up kesehatan. Namun karena terbatasan alat medis di RS, Ndindi disarankan untuk melakukan tes di klinik luar. Pihak keluarganya sempat protes dengan instruksi itu, sebab kalau tes di klinik mereka harus membayar lagi. Namun hal, tetap mereka lakukan demi kebaikan Ndindi.

Pada hari kedua Ndindi pun menjalani operasi pengangkatan tumor di bagian lehernya. Usai operasi, oleh dokter yang menangani Ndindi, pihak keluarga disampaikan untuk menunggu hasil laboratorium (lab) dari Makassar terkait hasil operasi pengangkatan sampel penyakit. Itu pun keluarga Ndindi lagi yang harus membayar uang pengiriman hasil uji labnya.

“Saat itu kami diminta membayar lima ratus lima puluh ribu. Saya sempat bertanya, mengapa harus membayar lagi. Padahal Ndindi adalah pasien rujukan yang pakai KIS. Akhirnya, hanya satu hari setelah operasi kami minta pulang saja, sambil menunggu uji labnya. Karena kalau di Kendari terus, itu makan biaya lagi,” urai wanita kelahiran 1951 itu dengan wajah kecewa.

Hampir sebulan setelah operasi, pihak RS menghubungi keluarga Ndindi untuk datang mengambil hasil uji lab. Ketika itu Werae bertanya kepada pihak RS, apakah Ndindi boleh tidak ikut ke Kendari. Namun oleh pihak RS mengatakan kalau Ndindi harus turut serta, sekaligus untuk melihat perkembangan penyakitnya.

“Jujur saja, waktu itu sedang tidak ada sekali uang. Tapi terpaksa harus sewa mobil lagi untuk ke Kendari. Padahal, sesampainya di sana, Ndindi hanya dilihat-lihat saja lehernya tidak diobati. Pas saya tanya obatnya, dokter bilang lagi kalau obatnya mesti didatangkan dari Makassar lagi. Dan saya harus membayar uang pengiriman lima ratus lima puluh ribu,” terang Werae.

Lantaran tak memiliki uang lagi, Werae memilih angkat tangan. Ndindi pun dibawa pulang tanpa mambawa obat. Sejak saat itu, penyakit yang diderita Ndindi, makin menjadi-jadi. Hasil operasi yang dikira bakal membawa sedikit perubahan, justru makin memperparah tumor Ndindi. Tak kuasa melihat anaknya digerogoti rasa sakit,
Werae memutuskan untuk kembali berobat ke dukun kampung.

Kondisi Ndindi makin kritis sejak dua bulan terakhir. Selama itu pula ia hanya bisa terkulai lemas di atas pembaringan. Parahnya, dalam keadaannya yang sekritis itu, ia hanya dijagai oleh Nggoda, seorang nenek renta dengan mata yang telah buta. Sebab, Werae sendiri, mesti keluar mencari nafkah untuk dua anaknya yang
pesakitan dan juga suaminya yang terkena stroke.

Beberapa hari sebelum meninggal, Ndindi mengalami pembengkakan di pahanya. Kata Werae, Ndindi kerap mengeluh kalau pahanya seperti mau terbelah. Selain paha, perut Ndindi juga bengkak. Werae mengibaratkan, besar perut Ndindi mirip wanita yang hamil tujuh bulan. Hingga kemudian, pada Sabtu (18/06/2016) Ndindi menghembuskan napas terakhirnya, sekira pukul 06.30 Wita.

Werai bercerita, hingga meninggalnya Ndindi belum ada perhatian khusus pemerintah untuk keluarganya. Padahal, kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Tak hanya miskin, anak pertama Werae, Lamaa, mengalami lumpuh layu pada kakinya. Penyakit itu telah diderita Lamaa hampir 30 tahun lamanya.

Sementara anak kedua, Erna, juga tengah menderita penyakit yang sama dengan Ndindi, tetapi belum juga memiliki kartu sehat. Sedangkan anak ketiganya, Erni, telah meninggal sejak usianya masih balita akibat penyakit yang mereka sendiri tidak tahu. Ndindi sendiri adalah anak keempat. Dan terakhir adalah Sartina, satu-satunya keturunan Werae yang tidak menderita sakit apapun.

Suami Werae sendiri, Burhanuddin, telah menderita mati sebelah (stroke) sejak belasan tahun silam. Akibatnya ia tak bisa legi beraktivitas banyak, apa lagi untuk mencari nafkah. Untuk bejalan pun kakinya harus ditarik langkah demi langkah. Hanya tangan kirinya yang bisa ia pakai untuk beraktivitas sekadarnya.

Lain lagi dengan penyakit yang diderita ibu Werae, Nggoda. Nenek berusia 70 tahun lebih itu telah mengalami kebutaan beberapa tahun terakhir. Sehingga tidak beraktivitas secara normal lagi.

Banyaknya cobaan bertubi-tubi, tak membuat Werae galap mata. Ia mengaku tetap bersyukur karena ada tetangga mereka yang perhatian. Selain itu, belum lama ini ada bantuan dari pihak Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) untuk keluarga mereka.

“Sebenarnya, yang kami butuhkan bagaimana pemerintah bisa melihat kondisi kami di sini. Karena selama ini belum pernah ada bantuan-bantuan,” tandasnya dengan wajah penuh pengharapan.

Editor: Gugus Suryaman

  • Bagikan