BPS: Covid-19 Picu Bertambahnya Angka Kemiskinan Baru di Sultra

  • Bagikan
Kepala BPS Sultra, Agnes Widiastuti (Foto: BPS Sultra)
Kepala BPS Sultra, Agnes Widiastuti (Foto: BPS Sultra)

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara sejak bulan September 2017 hingga Maret 2020 tren jumlah penduduk miskin di Sultra alami penurunan, namun pada bulan Maret – September 2020 angka kemiskinan alami peningkatan sebesar 15,5 ribu orang.

Kepala BPS Sultra, Agnes Widiastuti, mengatakan ada beberapa faktor yang mendorong angka kemiskinan di Sultra meningkat, salah satunya yaitu adanya pandemi Covid-19 berdampak pada perubahan perilaku, aktivitas ekonomi, dan pendapatan penduduk.

“Dampak pandemi Covid-19 ini yaitu sebabkan adanya tambahan orang miskin baru, dengan berbagai faktor yang dialami oleh penduduk saat pandemi. Padahal sejak lima tahun terakhir tren penduduk miskin Sultra itu menurun,” ungkap Agnes, Senin (15/2/2021).

Adapun faktor-faktor lain yang mendorong angka kemiskinan di Sultra di sebutkan oleh Kepala BPS Sultra, ada enam poin antara lain;

1. Meningkatnya tingkat pengangguran terbuka (TPT), tercatat pada Agustus 2020 TPT sebesar 4,58 persen atau naik 3,52 persen dibanding bulan Februari 2020 sebesar 2,96 persen.

2. Menurunnya nilai tukar petani (NTP) yaitu dibawah 100 pada Maret 2020 NTP sebesar 97,28 dan kondisi September 2020 tercatat 97,05.

3. Inflasi September 2020 lebih tinggi dari Maret 2020. Pada bulan Maret 2020 inflasi 0,06 persen sedangkan September 2020 inflasi 0,26 persen

4. Pertumbuhan ekonomi menurun. Pada Triwulan III-2019 (yoy) pertumbuhan ekonomi sebesar 6,43 persen sedangkan Triwulan III-2020 (yoy) kondisi ekonomi -1,89 persen.

5. Penurunan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Pada Triwulan III-2019 (yoy) sebesar 6,17 persen sementara Triwulan III-2020 (yoy) alami -1,30 persen.

“Setidaknya ada enam faktor tersebut yang mendorong meningkatkannya angka kemiskinan di Sultra, namun perlu juga diperhatikan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin, dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan,” terang Agnes.

Pada periode September 2019 – September 2020 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan nilai yang fluktuatif. 

Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 2,231 pada keadaaan September 2019 menjadi 2,035 pada keadaaan Maret 2020, kemudian naik kembali pada September 2020 menjadi 2,232. Demikian pula nilai Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,594 menjadi 0,530 kemudian naik menjadi 0,671 pada periode September 2019 – September 2020

Semetara itu, September 2020 nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan lebih tinggi dari pada perkotaan. Tercatat nilai P1 untuk perkotaan hanya 1,660 sementara di daerah perdesaan mencapai 2,545. 

Kemudian, Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,613 dan di daerah perdesaan mencapai 0,703. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah dari pada daerah perkotaan.

Untuk diketahui, penjelasan teknis dan sumber data yang diperolah BPS dalam mengukur angka kemiskinan di Sultra yakni;

1. BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.

2. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan

3. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lainnya).

4. Garis kemiskinan bukan makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

5. Indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Indekx – P1), merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.

6. Indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index – P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semkain tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

7. Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan September 2020 adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Konsumsi bulan September 2020. (B)

Laporan: Wa Rifin
Editor: Hasrul Tamrin

  • Bagikan