Calon Independen, Kenapa Harus Kalah

  • Bagikan
M Najib Husain (Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UHO)
M Najib Husain (Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UHO)

Oleh M Najib Husain (Ketua Prodi Ilmu Politik FISIP UHO)

Pemilihan Kepala daearah (Pilkada)  tahun  2015 menghadirkan 3 pasangan calon indenpenden pada  Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara yang melaksanakan hajatan Pilkada,  yaitu Kabupaten Buton Utara, Konawe Kepulauan dan Konawe Selatan.  Proses kandidasi calon independen sangat berbeda dengan partai politik yang bisa melakukan koalisi dengan partai lain atau penunjukan kader sebagai bakal calon. Calon independen (perseorangan)  harus melakukan prosedur dan proses yang panjang untuk maju dalam pertarungan Pilkada. Mulai dari pembentukan tim pemenangan,  pengumpulan dukungan KTP, penentuan pasangan,  pembentukan  tim survey,  dan penentuan strategi  komunikasi  politik  sampai pada  pasca Pilkada. Dengan proses yang panjang seperti berarti pasangan calon independen sebenarya sudah lebih duluan “berlari”,  baik dalam  menetapkan pasangan,  pembentukan  tim dilapangan  lebih awal dari pasangan kompetitor  lain yang didukung oleh partai politik  dan paling  terpenting  sudah punya suara awal dari para pemilih dalam bentuk dukungan KTP  yang merupakan syarat dukungan untuk mendaftar di KPU dan bukan  hitung-hitungan di atas kertas oleh lembaga survey,   yang mana suara awal ini  yang  nantinya akan berpartisipasi di hari H.  Sehingga seharusnya pasangan calon independen menang dalam pertarungan dan bukan sebaliknya kalah telak. Terbukti di daerah lain ada 13 pasangan calon  independen yang menang pilkada tahun 2015 dari 135 pasangan calon independen (3 dari sultra] di Indonesia.

Adapun ketiga pasangan calon independen di tiga kabupaten (Buton Utara,  Konawe Kepulauan, dan Konawe Selatan} di Provinsi Sulawesi Tenggara  memperoleh hasil yang berbeda dengan 13 pasangan di atas,  3  pasangan calon independen mengalami kekalahan dan berada pada posisi juru kunci di pilkada tahun 2015, dan  hal yang menarik  adalah  perbedaan perolehan suara yang didapat oleh pasangan  Independen berbeda dengan jumlah  syarat dukungan  KTP   yang diajukan saat mendaftar di KPU. Pertanyaan adalah ke mana suara awal yang diklaim sebagai dukungan murni dari suara rakyat ? apakah suara itu dipaksakan, semoga tidak.

Atau apakah  dukungan KTP  tersebut hanya untuk mengugurkan sebuah kewajiban  yaitu sebagai syarat saja,  sehingga terjadi inkonsistensi  antara jumlah dukungan dengan jumlah suara di hari H. Kekalahan telak  ketiga calon independen pada Pilkada 2015, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor personalitas kandidat (Candidate Personality}.  Calon independen lebih banyak dari kelompok generasi muda dengan semangat yang tinggi  dan melawan petahanan serta calon-calon senior yang kaya pengalaman dan dianggap memiliki nilai lebih baik dalam kepribadian maupun dalam kerja    serta sudah teruji dan terukur  oleh para pemilih.

Kedua Kekurangan Modal, modal yang dimaksud disini ada  tiga,  yaitu modal politik, modal ekonomi dan modal sosial. Modal politik ( political capital} berarti adanya dukungan politik, baik dari rakyat maupun dari kekuatan-kekuatan politik yang  dipandang sebagai representase dari rakyat.  Modal ini menjadi sentral bagi semua orang  yang bermaksud mengikuti kontestasi di dalam pilkada secara langsung, baik di dalam tahap pecalonan maupun di dalam tahap pemilihan. Calon independen modal politik dari dukungan rakyat tapi tidak memiliki modal dari partai politik, kekurangan itu tidak mampu ditutupi dengan  melakukan pendekatan kepada organisasi –organisasi kemasyarakatan, dan tokoh –tokoh masyarakat pada basis suara yang potensial.  Padahal jika hal ini dimaksimalkan maka calon independen tetap percaya diri dan tidak perlu merasa rendah diri karena tidak didukung oleh partai politik, hal itu sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh  Kajung Marijan ( 2006 ] bahwa  realitas empiris partai-partai politik di dalam pilkada lebih banyak berfungsi  hanya sebagai pintu masuk pencalonan. Fungsi partai politik sebagai alat untuk memobilisasi dukungan relatif kecil. Sehingga para calon yang hendak memenangkan pemilihan, harus sebanyak mungkin memanfaatkan jaringan organisasi politik maupun non politik.

Pada Modal sosial (social capital} calon independen harus kuat dan kekuatan besar karena mereka tampil dari dukungan rakyat yang memberikan dukungan karena tahu rekam jejak calon indepeden, tapi kenyataannya bangunan relasi dan kepercayaan (trust} yang dimiliki oleh pasangan calon independen dengan pemilih sangat lemah dan itu terbukti dengan suara yang kecil pada hari H. Pasangan calon independen  tidak mampu menyankinkan para pemilih bahwa mereka itu memiliki kompetensi untuk memimpin daerahnya. Modal sosial biasanya dikaitkan dengan relasi antar warga negara  dan antara warga negara dengan pemimpinnya (Putnam, 1993}. Manakala seorang calon dikatakan  memiliki modal sosial, berarti tidak hanya dikenal oleh masyarakat melainkan juga diberi kepercayaan.

Modal ekonomi (economic capital}, harus diakui modal ekonomi adalah komponen yang paling lemah buat calon independen 2015 di 3 kabupaten di Provinsi Sultra, sudah jelas   pilkada  membutuhkan biaya yang besar. Modal yang besar itu tidak hanya dipakai untuk membiayai pelakasnaan kampanye. Yang tidak kalah  pentingya adalah untuk  membangun relasi dengan para calon  dan pendukungnya, termasuk didalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan saat menjelang dan berlangsungnya masa kampanye.  Modal ekonomi memiliki makna  penting sebagai ‘penggerak’ dan ‘pelumas’ mesin politik yang dipakai. Di dalam masa kampanye  membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membiayai berbgai kebutuhan untuk spanduk, baliho, iklan dan menyewa kendaraan.

Terakhir kelamahan calon independen tahun 2015 di 3 kabupaten dengan akronim Rinduku di Konkep, Beragam di Konsel dan GaGa di Butur adalah kurang memanfaatkan media massa, khususnya  3 Surat kabar media konvensional (media cetak]  dan  1 media  online (sultrakinicom]  untuk melakukan sosialisasi diri dan mempublikasikan visi dan misi mereka. Hasil riset Laboratorium Ilmu Komunikasi tahun 2015 menunjukkan dari 22 pasangan yang bertarung di Pilkada 2015 di Sultra termasuk pasangan independen,  ternyata 3 pasangan Calon Independen kurang memanfaatkan media massa konvensional dan media online (sultrakinicom]. Dari data yang diperoleh tidak ada satupun calon independen yang masuk 10 besar dalam memanfaatkan  3 media massa konvensional dalam sosialisasi program kerja dan berita kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon independen, namun  pada media online ada satu pasangan calon independen yang masuk 10 besar yaitu pasangan yang berakronim GaGa di Butur.       

Dengan pengalaman ini, bisa menjadi pelajaran berharga buat calon Independen yang akan bertarung di Pemilihan Serentak 2020 di Sultra,  yang hanya terdapat  di Kabupaten Konawe Kepulauan yang sudah punya suara awal sebagai modal besar  yang jika merujuk dari persyaratan KPU harus mendapatkan 2.527 dukungan minimal yang  tersebar di 4 kecamatan. Hasil rekapitulasi KPU Konkep menunjukkan jumlah dukungan calon independen  Halim-Untung sebanyak 4,622 dukungan, berarti jauh melewati jumlah yang dipersyaratkan oleh KPU. Sehingga secara logika Matematika dari 3 pasangan yang ada di Konkep, pasangan ini yang paling siap bertarung karena sudah punya modal awal dan  seharusnya menang, untuk itu Kelemahan diatas yang dilakukan oleh calon independen lima tahun yang lalu yang hanya sebagai pelengkap penderita,   seharusnya tidak dilakukan lagi oleh Calon independen Halim – Untung yang bisa bebas bergerak dan tidak perlu memikirkan bagaimana membagi kue kemenangan jika terpilih nantinya karena mereka lahir dari suara Rakyat bukan suara Survey.  ***

  • Bagikan