Coretan Anggota DPR RI Willy Aditya untuk Kado Ulang Tahun Anaknya

  • Bagikan
Foto: Willy Aditya

Cita-citamu, Anakku…

“Pa, dua minggu lagi, Dara ulang tahun, ya,” begitu ucapmu suatu ketika dengan nada mengingatkan.

Ucapan tak terduga itu sontak menyadarkanku untuk melanjutkan tradisi menghadiahi tulisan sebagai kado ulang tahun anak-anakku, sebagaimana biasanya dulu. Sebab, bukan suatu hal yang mudah ternyata untuk konsisten melakukannya. Ia butuh motivasi tersendiri agar tradisi yang sudah ku mulai sejak awal kelahiran anak sulungku itu terus terjaga.

Ya, aku berusaha membuat upacara berbeda dalam merayakan momen-momen penting mereka. Kado yang lain mungkin tetap ku beri, namun harus ada tulisan yang turut menyertainya. Selain sebagai penanda dan pengingat atas momen yang terjadi, ia juga berfungsi sebagai bahan refleksi atas rasa dan usia yang sudah dilalui untuk dibaca ulang nanti.

Sebab, waktu dan momentumlah yang menjadi cermin bagi setiap perjalanan hidup manusia. Ia lahir sebagai korespondensi antara kita dengan alam sekaligus realitas di mana dan kapan kita hidup. Di dalamnya, beragam dimensi, baik dalam relasi paling intim dengan orang-orang yang kita cintai maupun dengan pihak lain, terwujud. Di sana ada kenangan yang membentuk sejarah yang pada suatu kali nanti kita akan membukanya kembali; mengenang lembaran-lembaran usia di patahan hari, minggu, bulan, dan tahun, hingga hari ini.

“Pa, cita-cita Dara apa, ya?” Pertanyaan itu spontan ke luar dari mulutmu pagi itu, mengiringi pertanyaan pertamamu tadi.

“Ya, yang Dara suka atau senangi,” reflek aku menjawab.

“Ya deh, nanti aja kita lanjutkan,” sambil sejurus kemudian kau langsung kembali duduk di depan komputer, melanjutkan sekolah daring-mu.

Daraku, cita-cita sering kali digayutkan pada profesi dan posisi seperti yang sering diajarkan para guru di depan kelas.

“Aku ingin jadi dokter; aku ingin jadi tentara; aku ingin jadi guru; aku ingin jadi politisi; aku ingin jadi presiden!” Begitu kebanyakan anak-anak mendendangkan cita-cita mereka.

Daraku, cita-cita itu mimpi. Mimpi yang hadir dalam benak manusia sebagai jelmaan dari pengalaman yang kita lihat dan lalui. Sama seperti setiap malam sebelum tidur, sering kali ada ucapan “have a nice dream”. Bedanya, cita-cita adalah mimpi yang hidup sepanjang perjalanan kehidupan kita. Ia ibarat bintang penuntun guna menuntun kita ke arah yang kita tuju.

Daraku, apa yang menjadi cita-citamu adalah mimpimu akan apa yang kau lihat dan kau lalui. Kita bisa bermimpi tentang satu hal yang sama karena ia belum bisa ada dalam genggaman kita. Bahkan mimpi itu juga bisa berubah-ubah seiring dengan perjalanan ruang dan waktu yang menempa kita.

Daraku, pada hari ulang tahunmu ini Papa ingin bercerita tentang mimpi; baik itu mimpi-mimpi besar, mimpi malam, atau mimpi buruk sekalipun. Karena hidup ini tak hanya gelak dan tawa, tapi juga ada lara dan duka. Ada hari yang indah, ada juga hari yang suram. Ada yang bisa kita raih dalam hidup ini namun ada juga yang hilang dan pergi dari daftar keinginan kita.

Daraku, di dalam mimpi kita bisa membayangkan apa saja. Di dalam mimpi kita bisa jadi apa saja. Di dalam mimpi kita juga kerap menghadirkan segala yang kita maui. Itu karena di dalam mimpi kita bisa melintasi apa saja, termasuk ruang dan waktu. Kita menjadi manusia bebas dan merdeka di dalam ruang bernama mimpi. Mimpi adalah puncak dari ego setiap manusia, Anakku!

Daraku, jika mimpi adalah sebuah alam maka saat kita mengalaminya itu ibarat satu kaki kita sudah berada di sana. Untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata kita butuh kaki lainnya. Seperti sebuah kursi, mimpi memiliki tiga atau empat kaki.

Kaki kedua itu bernama kenyataan sehari-hari yang kita jalani. Di alam kenyataan ini mimpi kita akan bertemu dengan mimpi-mimpi orang lain. Mimpi kita juga akan mengahadapi keterbatasan ruang yang seringnya, seiring berjalannya waktu, tak bisa menjadi kenyataan. Mimpi hanya tinggal mimpi.

Untuk itu Anakku, mimpi yang paling indah bukanlah soal kita mau menjadi apa atau jadi siapa. Mimpi yang paling indah adalah bagaimana merajut cita-cita bersama dan berjuang untuk meraihnya.

Itu karena hidup bukan sekadar mengisi daftar keinginan kita semata. Hidup adalah gugus dari kadar-kadar kebebasan dan kehendak manusia yang bertemu satu sama lain di aneka ruang perjumpaan. Jika beragam kehendak itu bertemu dan saling berjabat tangan maka kemaslahatanlah yang mewujud. Namun tidak sedikit dari kehendak itu saling berbeda, bertumburan, bahkan saling meniadakan antara satu dengan yang lainnya.

Daraku, di ulang tahunmu yang kesepuluh ini, Papa ingin mengajakmu bertamasya ke momen bersejarah dalam kehidupan para pendahulu yang memiliki mimpi-mimpi besar.

Momen pertama adalah mimpi Nabi Muhammad SAW disampaikan sebelum ia meninggalkan kita pada 14 abad yang lalu.

“Orang Arab tidak lebih unggul dibandingkan non-Arab. Dan non-Arab pun tidak lebih unggul dibandingkan orang Arab. Kulit putih tidak lebih unggul dari kulit hitam, dan kulit hitam tidak lebih unggul dari kulit putih, kecuali semua itu dilihat atas sikap dan perbuatan baiknya (taqwa).”

Daraku, kita semua berawal dari ibu dan ayah yang sama, Adam dan Hawa. Kita hidup dalam ruang yang sama yakni bumi ciptaan Tuhan. Maka mari kita rajut mimpi bersama untuk umat manusia dan dunia, seperti mimpi Nabi di padang Arafah itu. Mimpi tentang kehidupan yang tidak membedakan manusia berdasarkan trah raja atau hamba; mimpi yang tidak memilih dan memilah rupa dan warna mereka; mimpi yang tidak membelah keinginan setiap anak-anak untuk tumbuh dan berkembang mendapatkan kesempatan yang sama untuk bermain, bersekolah, dan berbahagia.

Daraku, Bung Karno pernah berucap, “Gantungkanlah mimpimu setinggi langit. Jika kau jatuh, kau akan jatuh di antara bintang-bintang.”

Bung Karno bermimpi untuk melihat bangsa-bangsa di negeri Zamrut Khatulistiwa yang terpecah-belah, diadu domba, ditindas oleh kolonialisme Belanda, bersatu menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan terbebas dari penjajahan manusia atas manusia yang lain; dan penjajahan bangsa atas bangsa lainnya.

Itulah Indonesia hari ini. Negara kita. Yang bermula dari mimpi bersama “Bung, Bung” yang berjuang tidak hanya melawan segala bentuk penjajahan, tetapi juga berjuang menaklukan mimpi (ego) mereka sendiri.

Daraku, bangun, Anakku!
Selamat ulang tahun. Apa cita-citamu, Sayangku? Apakah Kau memiliki mimpi bersama bagi tumbuhnya peradaban umat manusia di muka bumi ini?

Jakarta, Kebon Nanas Utara II, 03 Februari 2021

(Artikel ini diambil dari akun Facebook Willy Aditya dan telah mendapatkan izin dari penulis untuk dipublikasikan)

  • Bagikan