Demokrasi Disandera Calon Legislatif

  • Bagikan

Berbicara anggota legislatif atau elit politik yang tamak, seakan tak habis-habisnya. Kurang lebih 20 tahun era pasca reformasi berjalan dari sejak tumbangnya rejim penguasa Orde Baru (Orba), namun belum ada perubahan-perubahan yang signifikan di bangsa ini. Bahkan beberapa tahun terakhir bangsa ini semakin terpuruk dengan banyaknya para oknum elit politik melakukan praktek korupsi. Secara sepintas, diantara kita pasti rindu kembali ke masa rejim orde baru dan menganggap reformasi yang di raih dengan etos perjuangan ini, dimata kita seperti tidak bermakna apa-apa.

Reformasi datang dengan sekejap, seperti mimpi-mimpi indah, namun disisi lain adalah merupakan kutukan bagi bangsa ini. Kegagalan reformasi yang dieluk-elukan ini, bukanlah kesalahan para aktivis 98, tapi rakyat menyaksikan sendiri ketimpangan pembangunan yang di nahkodai oleh penguasa baru dengan segala kepalsuannya dan penuh dengan tipu daya muslihat. Sehingga rakyat tidak percaya lagi dengan janji-janji dari para elit politik.

Demokrasi yang kita anut semakin tercederai oleh tingkah laku pemimpin yang masih bermental penjajah. Hal ini diakibatkan oleh semakin mahal dan elitisnya harga yang harus dibayar oleh para politisi. Meminjam perkataan peraih nobel Armatya Sen, bahwa “demokrasi yang hanya menjamin kebebasan (freedom) dan persamaan (equality) yang akan memacu masyarakat berpretasi, berkompetisi ekonomi secara adil dan tidak tamak dan juga menjamin terlaksananya konstitusi.” Sayangnya, demokrasi kita makin tak berdaya menghadapi para anggota legislatif (DPRD) yang sarat dengan ketamakan.

Hal ini membuktikan bahwa partai politik masih gagal dalam melakukan proses perekrutan kader-kader partai. Sehingga yang dianggap layak adalah bukan lagi yang berkualitas dan memiliki kapasitas serta mampu memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi malah mereka yang memiliki finansial dan modal yang banyak. Akibat yang ditimbulkannya, bermunculah para politisi yang mengeksploitasi uang rakyatnya.

Seiring perjalanan otonomi daerah, diwarnai banyaknya pemekaran daerah, khususnya Kabupaten Wakatobi yang merupakan salah satu daerah otonomi baru hasil pemekaran dari Kabupaten Buton. Selain menempatkan daerah sebagai kekuatan politik baru atau ladang perebutan kekuasaan, tetapi pada saat yang sama juga memunculkan raja-raja kecil yang mengambil keuntungan dari terjadinya pemekaran tersebut. Kehadiran otomomi daerah dengan harapan dapat memberikan dampak positif dengan memberika akses yang seluas-luasnya untuk rakyat agar mendapatkan pelayanan dan kesejahteraan. Akan tetapi, justru sebaliknya adalah sebuah momok yang malah semakin memperluas ladang korupsi dan kesengsaraan rakyat. Menjelang pemilihan serentak pada tahun 2019 inj, banyak para kandidat calon legislatif bermanuver bak seperti semut mencari sarang, mencarai simpatisan rakyat.

Tak lama lagi rakyat akan menghadapi perhelatan pemilihan anggota legislatif/DPRD dan merupakan pilar demokrasi didaerah. Sebagai wakil rakyat atau perpanjangan mulut rakyat, seharusnya benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat. Akan tetapi malah sebaliknya, para anggota legislatif terpilih hanya sibuk mengurus kepentingan partainya daripada mengurus kepentingan rakyatnya. Sehingga rakyat/pemilih, tidak lagi dianggap penting setelah mereka (anggota legislatif) terpilih duduk di kursi parlemen daerah. Rakyat dianggap penting hanya pada saat proses kampanye atau ketika masuk dibilik suara lalu mencoblos nomor atau nama para caleg.

Menjelang perebutan kursi panas parlemen, bayak para kandidat caleg bermanuver dengan segala kedustaannya. Bahkan untuk mencari simpatisan atau dukungan, segala cara pun di halalkan, termasuk mengintimidasi dan memanfaatkan kondisi rakyat yang buta politik. Apalagi sebagian besar masih tergolong miskin sehingga cepat terpengaruh dengan uang. Dengan masifnya para caleg memainkan peran politik uang.

Demokrasi ditangan calon legislatif. Asumsi ini tidaklah sepenuhnya salah. Karena faktanya anggota legislatif terpilih sering mengecewakan pemilihnya dalam rakyat. Ketika terpilih, mereka tidak mau berkonsultasi dengan masyarakat di dapilnya masing-masing. Bahkan agenda reses yang idealnya dilaksanakan, jarang bahkan tidak sama sekali. Kalau dianalogikan, seperti mendorong motor yang mogok. Para pendorong motor di tinggalkan begitu saja ketika mesin motor tersebut hidup dan motornya melaju jauh melupakan para pendorongnya.  Begitulah gambaran  fenomena relasi antara anggota legislatif dengan rakyat.

Saran untuk anggota legislatif terpilih nanti, parlemen bukanlah ladang untuk memperkaya diri, keluarga ataupun kelompok. Tetapi sebagi representasi wakil rakyat di DPRD. Dengan adanya berbagai fakta, bahwa selama ini anggota DPRD hanya mengurus kepentinngan sendiri, menuai krisis. Diantaranya adalah krisis kekurangpercayaan rakyat terhadap wakilnya di DPRD dan ini merupakan tamparan keras dan rakyat. Jadi, sebagi calon anggota legislatif semestinya benar-benar melaksanakan mandat dari rakyat. Sebagai rakyat atau konstituen, pilihlah wakil rayat yang amanah dan konsisten terhadap tanggung jawabnya. Hidup Rakyat..!!!

Oleh: Juhlim (Kader HMI-MPO Cabang Kendari)

  • Bagikan