Diduga Ada Mafia Resep Obat di RSUD Muna

  • Bagikan
Resep obat langsung dari oknum dokter. (Foto: Dok.pribadi/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: MUNA – Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Muna kembali dikeluhkan keluarga pasien. Sampai akhirnya memilih dirujuk ke rumah sakit lain. Keluhan ini diungkapkan Ramadhan selaku keluarga pasien RSUD Muna, atas pelayanan terhadap ibunya dengan keluhan sesak nafas sehingga harus dirawat inap.

Ramadhan mengelukan, resep obat yang disarankan dokter harus ditembus di luar apotek RSUD Muna dengan biaya dibebankan kepada pasien, padahal dirinya merupakan peserta BPJS. Sedangkan apabila obat harus diperoleh di luar, perlu ada pemberitahuan pihak pasien. 

“Berbeda dengan rumah sakit di luar sana, sebelum dikasi resep obat, pasien lebih dulu disampaikan. Semisal, obat yang dicari tidak ada di apotek rumah sakit. Ini perawatnya cuma bilang sebelum ditebus, tandatangani dulu pernyataan tanpa jelas bunyinya,” ungkap Ramadhan, Minggu (11/2/2018).

Mirisnya, kata dia, tandatangan itu justru di lembaran belakang dokumen status pasien yang sepengetahuan dia, hanya dilakukan saat pasien setujui tindakan dokter, seperti menandatangani pulang paksa. Kemudian resep obat yang langsung dari dokter tanpa melalui copy resep apotek rumah sakit.

Kata dia, segala biaya resep obat yang ditebus, ditanggung pasien dengan harga yang tentunya cukup menguras isi kantong. Padahal pasien peserta BPJS dan obat yang disarankan adalah jenis obat anti biotik.

“Rumah sakit atau leasing, biar mau tebus obat kayak mau tebus BPKB harus pakai tandatangan pernyataan. Anehnya tidak pakai copy resep atau dikasi kwitansi, parahnya tebus obat harus apotek yang telah diarahkan. Beda betul kalau pernah dirawat RS lain, kalau di sini yang ada sakit hati terlalu banyak yang harus dibayar,” ujarnya.

Obat yang harus ditebus, yakni Zeftrix Ceftriaxone Disodium atau jenis obat anti biotik dan Ranitidine atau jenis obat generik tersebut dibandrol seharga Rp 380 ribu.

“Percuma tiap bulannya kita bayar BPJS, kalau obat saja selalu beli. Saya juga sudah cek jenis obatnya melalui teman perawat bahwa jenis obat dengan kandungan sama, ada di rumah sakit dan jika beli di apotek lain harganya tidak sampai sebesar itu,” tambahnya.

Keluhan lain juga diungkapkan terkait ambulans tua yang digunakan untuk mengantar ibunya rontgen dimana ruangannya masih berada di RSUD lama. Sementara terdapat ambulans baru terparkir di teras rumah sakit.

“Nampak sekali tidak perdulinya kepada pasien, masa ibu saya yang sudah tua dikasi naik mobil tua, masih mending naik pick up (mobil bak terbuka). Bisa diduga mobil ambulans baru itu digunakan pribadi para dokter. Begitu juga kursi rodanya sudah rongsok, dudukan kakinya saja sudah pakai tali,” ucapnya.

Atas dasar itu, dia bersama pihak keluarga sepakat melakukan pulang paksa dan segera dirujuk ke RS Bahteramas Sultra guna mengharapkan pelayanan lebih optimal.

Menanggapi hal tersebut, Dokter Poli Penyakit Dalam RSUD Muna, dr. Wahid tak menapik arahan membeli obat di apotek luar rumah sakit. Dia mengaku, pembelian obat di apotek luar rumah sakit dilakukan atas dasar pasien bersangkutan telah banyak menggunakan obat sebelum dirasat di RSUD Muna dan tak pernah ke poli penyakit dalam. Di satu sisi, pasien sudah kritis ketika di rawat di RSUD Muna. Dia sempat menyinggung sehubungan jika pelayanan rumah sakit ingin baik, perlu adanya perbaikan sistem, semua pasien diwajibkan berobat ditempat yang bekerjasama dengan BPJS.

Sehingga kata dia, perawatannya bisa jelas, sebab distatus pasien ada namanya obat rekonsiliasi. Namun jika pasien masuk dalam kondisi kritis dengan tidak pernah ditahu menderita sakit apa, dokter punya kewenangan  untuk mengeksekusi atau pendapat ahli, bisa menyarankan menggunakan obat tertentu yang menurut pengalaman agar pasien lebih baik dan tidak ditanggung BPJS serta itu sebagai hak konsumen.

“Sebenarnya di rumah sakit, obat generiknya lengkap tapi kalau pasien sudah ada riwayat pengobatan diluar, dimana ada prinsip memberikan obat bagus agar pasien lebih baik. Obat di luar lebih bagus karena rata-rata obat paten,” ucap dr. Wahid pada SultraKini.Com, Senin (12/2/2018).

Sementara saat ditanyakan soal resep obat langsung dari dokter, dia sempat mengelak bahwa resep harus melalui apotek rumah sakit yang diantarkan perawat kepada pasien.

“Saya tidak tahu itu, sebenarnya yang kelola dan terima resep obat itu adalah perawat. Saya tidak tahu persis yang jelas memang ada kewajiban satu pintu (copy resep apotek rumah sakit),” katanya.

  • Bagikan