Disrupsi Informasi dan Diskonten Media (Sosial): “Virus” Ketidakpuasan pada Kepuasan

  • Bagikan

Oleh Sumadi Dilla (Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Halu Oleo)

JEJARING media sosial memberikan begitu banyak akses kepada kita untuk tahu, maupun tak ingin tahu, baik itu hal penting, hal tak penting, hal sepele, hal luar biasa, maupun hal yang menakjubkan tentang suatu kisah, peristiwa, perilaku, manusia di seluruh dunia termasuk orang-orang disekitar kita. Hampir setiap menit kita akan mendapatkan informasi, kabar atau berita yang disebar ke seluruh pengguna media sosial. Kita pun akhirnya  merasa tahu, kenal, paham, peduli, bahagia, bahkan puas dengan hal itu.

Dengan begitu, sangat mudah bagi kita mengenali dan mengetahui, agenda, minat, selera bahkan status seseorang setiap saat. Sadar atau tidak serta sengaja atau tidak, kita pun akan merespon semua informasi tersebut secara bebeda dengan cara kita masing-masing. Tidak jarang kita meneruskan informasi itu dengan cepat bahkan mengomentari informasi tersebut menjadi informasi baru yang memiliki kandungan makna yang berbeda dari informasi sebelumnya dalam jejaring social. Inilah sebuah fenomena baru yang disebut era disrupsi informasi yang sedang melanda manusia abad milineal. Kini manusia hidup, bersikap dan bertindak beradasarkan informasi yang mengisi media (social). Banyak ditemukan saat ini orang dengan mudahnya menyebar atau mengomentari sebuah informasi tanpa menimbang, dan menganalisis maksud, arti dan makna setiap informasi itu secara kritis dan etis.

Bahkan ironisnya, akibat dari ulah ketidakhati-hatian terhadap informasi yang beredar pada media social, banyak diantara kita merasa  sensitive, kecewa, menyesal, sedih, tersinggung, hingga marah dengan hal itu. Inilah sebuah fenomena abad ini (milineal) yang disebut M Gilbert (2015) seorang jurnalis pemenang Pulitzer sebagai ledakan informasi, hal mana terjadi peningkatan pesat dalam jumlah dan konten informasi atau data yang dipublikasikan, dibagikan dan diteruskan melalui media (social). Ledakan informasi ini menyebabkan munculnya efek kelimpahan informasi yang disebut overload information, yang sulit dikelola dan dipahami dengan bijak.

Akibatnya, hampir setiap hari, konten media social kita disuguhi, disajikan, dan dibagikan, dengan informasi yang suka atau tidak suka silih berganti menerpa kesadaran kita. Kita pun kadang merespon seketika dengan menyukai konten tersebut atau bahkan kita cenderung tidak menyukai konten itu alias mengabaikannya. Seiring dengan melubernya atau padatnya konten informasi yang kita terima, tak heran pengguna social media sulit membedakan sifat dan efek konten-konten informasi tersebut. Akun media social dan jejaring social dipenuhi konten-konten informasi yang kita butuhkan-tidak kita butuhkan, penting-tidak penting, bermanfaat-tidak bermanfaat, yang membuat kita peduli atau tidak peduli, serta puas-tidak puas terhadap konten-konten informasi tersebut.

Fakta menunjukkan, media berlomba-lomba memuat konten bagus dan mendidik bagi masyarakat. Sayangnya, perjuangan mereka tidak berhasil, konten menarik, keren, bermanfaat serta mengedukasi tersebut justru tidak laku/laris alias tidak mendapatkan simpati public. Anehnya justru fakta terbalik bermunculan, konten-konten tak penting, tidak bermanfaat serta isinya tidak mengedukasi public bahkan merusak, atau bertentangan dengan  norma social malah menjadi konten yang viral. Semenjak media social gencar banyak orang gemar membuat konten-konten aneh demi sebuah popularitas dan keviralan. Ironisnya, keadaan ini berhasil menghipnotis public bahwa popularitas dan keviralan menjadi mahnet baru aktifitas dalam bermedia social.

Namun, dibalik semua konten (isi) informasi yang kita dapat dan terima itu sesungguhnya menyimpan sejumlah persoalan bagi kita. Dibalik kemudahan, kepadatan dan kelimpahan konten informasi media social itu terdapat suatu keadaan atau sikap yang muncul yang berseberangan dengan sifat dan efek informasi tersebut, yang disebut anomaly informasi. Anomali informasi massif terjadi dimana-mana akibat konten media social yang berkembang pesat, cepat dan berubah-ubah dalam masyarakat. Pada level individu anomaly informasi menggeser kebiasaan dan aktivitas perilaku manusia dalam hal pemanfaatan informasi tersebut, dan pada level warga negara, anomaly informasi berdampak pada perubahan interaksi dan cara berkomunikasi individu. Sedangkan pada level masyarakat pun, anomaly informasi memiliki efek pada perubahan sosial masyarakat dan proses tersebut melahirkan fenomena baru sebagai fakta diskonten. Diskonten dimaksud berupa keadaan atau kondisi dimana public pengguna media social tertentu mencapai tingkat kejenuhan informasi yang diterima. Jenuh karena sifat dan efek informasi tersebut memiliki kerumitan, kompleksitas, obyektifitas dari sisi arti dan makna sehingga mengarah pada “Ketidakpuasan”. Pada konteks ini ‘ketidakpuasan” yang muncul berhadapan dengan kepuasaan yang ada atau kemapanan social yang telah terbentuk dalam masyarakat.

Banyak kasus dalam masyarakat kita yang memperlihatkan fenomena diskonten terjadi dimana-mana. Pada satu sisi sebahagian besar masyarakat merasa bahwa informasi yang diterima melalui media social telah memenuhi rasa ingin tau (right to know) sehingga mereka nyaman, bahagia dan puas. Serdangkan pada sisi lain, tak sedikit masyarakat menganggap informasi tersebut justru memberi efek ketidakpuasaan pada apa yang dianggap puas atau mapan. Rasa ketidakpuasan ini kemudian berkembang manjadi momok dan virus yang melanda masyarakat dunia yang menglobal. Tak jarang kita dengan gampang menemukan orang-perorang, kelompok, komunitas, bahkan masyarakat tertentu menyuarakan bentuk ketidakpuasan mereka pada apa yang dianggap mapan (puas) secara berbeda. Rasa tidak saling percaya, ketidakadilan,   kesewenag-wenangan, diskriminasi menjadi ide dari bentuk ketidakpausaan. Kekinian, kita dengan mudah saling menuduh, menyalahkan, menghakimi, memperkusi, bahkan menindas hanya karena bias informasi yang diterima.

Fenomena Kontrol Informasi Kaum Influencer

Pertanyaan besar yang patut diajukan adalah mengapa hal ini dapat terjadi sebagai sebuah fenomena baru dalam masyarakat saat ini? Tidak berlebihan kiranya jika kondisi ini dialamatkan kepada cara kerja terselubung kelompok yang disebut “buzzer” pada media social.

Dengan memanfaatkan kecanggihan, kecepatan, kemudahan, dan kelimpahan informasi, serta efek psikologis media social saat ini, tidak sulit bagi “buzzer” beroperasi secara silent (senyap) dibawah kendali kuasa menyebar semua jenis informasi untuk memprovokasi pemikiran para netizen.

Secara leluasa kelompok “pendengung” (buzzer) ini bergerak aktif mengisi ruang-ruang media social kita dengan konten-konten yang bersifat anti kemapanan social. Tidak jarang para “buzzer” ini melalui mesin teknologi canggihnya, menyebarkan narasi-narasi yang berseberangan dengan fakta, peristiwa, dan idealisme perjuangan masyarakat sipil. Akibatnya jagad media social pun menjadi riuh dan keruh. Lini masa media social menjadi arena propaganda dan provokasi semata yang tidak berpihak pada literasi digital bagi public.

Pro dan kontra pun bermunculan, saling silang pendapat, mendukung, menolak bahkan saling menyerang satu sama lain di ruang ruang media sosial para netizen. Ironisnya, fenomena ini berlanjut hingga ke ruang-ruang public dalam masyarakat sipil yang bermuara pada ketidakpuasan public secara masiv. Kelihaian para “buzzer” menseting, dan mendesain informasi secara sepihak akhirnya berhasil menggeser logika ideal  tuntunan public menjadi tontonan semata, bahkan logika tuntunan public tersebut menjadi “alat tuntutan” kepada pihak-pihak tertentu.

Kehebatan para “buzzer” mengemas kelimpahan informasi tersebut membuat kita hampir setiap hari disuguhi media berita dengan konten saling tuntut, dan saling lapor yang berakibat hukum. Walhasil, media social yang sejatinya wadah komunikasi daring public yang efektif, dengan konten informasi bermanfaat dan memuaskan, kini perlahan sedang berubah menjadi saluran instant mengeksploitasi, hasutan, kebencian, dendam hingga amarah. Konten-konten positif media sosial mulai tereduksi oleh konten-konten negative yang berpotensi perpecahan umat. Akhirnya konten-konten tersebut beralih menuju lahirnya diskonten (ketidakpuasan) public pada apa yang sesungguhnya terjadi.

Bahaya Disrupsi Informasi dan Diskonten Media

Era baru teknologi digital (daring) yang melanda dunia saat ini cukup memberi ruang bagi setiap individu beraktifitas dalam tempo yang cepat, dan beragam dengan banyak pilihan yang tersedia dalam waktu yang bersamaan. Kekinian semua aktifitas manusia sedang berkembang dan telah berubah sebagai konsekwensi lahirnya Revolusi Industry 4.0 yang mengusung bentuk digitalisasi disemua bidang kehidupan manusia. Secara konvensional era revolusi industri 4.0 sejatinya memudahkan memberi ruang kepada publik memilih dan memilah jenis, bentuk dan isi informasi dan konten media yang beragam, berguna sesuai kebutuhan.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya beralih pada pemadatan informasi, dan penggiringan informasi tertentu atau produktifitas informasi tanpa kepastian yang dilakukan secara berulang-ulang oleh sumber yang sama (aktor, institusi negara/non negara, dan media massa). Ironisnya, informasi-informasi itu diproduksi dan distribusi berulang-ulang oleh sumber yang sama dengan arti dan makna yang berbeda pula secara instan melalui media (social).

Dikatakan berulang serta arti yang berbeda karena informasi pertama dan informasi kedua tidak memiliki satu kesatuan makna yang utuh, dan saling menguatkan melainkan saling tumpang tindih dalam perspektif komunikasi.  Secara instan dimaksudkan informasi diproduksi dan didistribusi secara cepat, dan mudah berubah, tanpa jedah antara informasi pertama dan kedua, sehingga informasi yang beredar menumpuk dan memadat. Bahkan arti dan makna informasi-informasi tersebut saling berseberangan, berbeda, meniadakan, menganulir atau berlawanan yang sulit dipahami nalar publik.  Fenomena inilah yang disebut disrupsi informasi yang sedang melanda negara-negara di dunia termasuk di Indonesia.

Hingga batas ini disrupsi informasi kemudian menghiasi konten-konten informasi (berita) pada berbagai media massa dan sosial. Sangat disayangkan, melalui peran “buzzer dan kaum influencer” yang beroperasi pada media (social), informasi mengalami kapitalisasi pada isi dan kanalisasi jangkauan media pada public dijagad maya. Efek yang ditimbulkan pada public, jagad media sosial publik (nitizen) sulit memilih, meyeleksi, bahkan kesulitan menyematkan makna primer dari arti informasi yang diterima, hanya karena konten informasi media yang berhimpitan.

Gejala berhimpitnya informasi tersebut selain mengaburkan makna primernya juga berimplikasi pada perbedaan perilaku publik terhadap informasi tersebut. Ketika informasi pada media tersebut menimbulkan perbedan penafsiran dan perilaku individu atau public yang menjurus pada lahirnya ujaran, aksi, protes, hingga konflik di tingkat massa maka, sesungguhnya inilah yang disebut “diskonten media”. Konten-konten media (media social) tanpa pengetahuan publik berubah menjadi fenomena diskonten media yang diterima publik.

Fenomena inillah kemudian para ahli komunikasi, dan pemerhati media menyebutnya sebagai “virus baru” dalam era digitalisasi. Hal ini pulalah yang disebut dampak negative dari sebuah disrupsi informasi yang sedang terjadi saat ini. Disrupsi itu sendiri menurut Clayton Christensen dalam bukunya The Innovator Dilemma (1997), bahwa perubahan besar yang mengubah tatanan, termasuk informasi pada konten media saat ini. Menurut Merriam Webster (2000), disrupsi merupakan tindakan atau proses mengganggu sesuatu; atau gangguan dalam perjalanan normal atau kelanjutan dari beberapa kegiatan, proses dan lain-lain.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, disrupsi adalah hal yang tercabut dari akarnya. Ketiga defenisi tersebut menegaskan bahwa disrupsi erat kaitanya dengan perubahan fundamental, proses mengganggu, dan hal tercabut dari akarnya. Sehingga melalui pemahaman itu pula, disrupsi pada informasi dimaksud berakibat pada munculnya diskonten pada media. Halmana makna informasi yang diproduksi dan distribusi media saat ini keluar dari hakikatnya sebagai pesan yang mudah dimengerti publik. Sebaliknya jumlah, informasi yang diterima publik semakin berlimpah, beragam serta memiliki arti dan makna yg berhimpit yang menyulitkan nalar public untuk dimengerti. Akibatnya era disrupsi informasi dan diskonten media berubah menjadi “terror” informasi atau “virus” ketidakpuasan, akibat kecemasan yang dirasakan public pada kepuasan informasi yang diperoleh.

Lalu pada level tertentu virus ketidakpuasan pada kepuasaan ini memunculkan ketidakpercayaan public atau lunturnya kepercayaan public (public trust)  terhadap informasi yang diproduksi aktor/institusi negara/non negara termasuk informasi yang beredar di media massa (sosial). Sebuah ilustrasi aktual tentang “virus ketidakpuasaan” melanda konsumen media di Indonesia baru baru ini; yang mengikis tingkat kepercayaan publik terhadap informasi yang diproduksi aktor negara dan media massa (social) tentang Covid 19 (virus corona); bahwa Indonesia terbebas dari virus corona; Indonesia memiliki system imun terhadap corona; Namun kenyataannya selang beberapa minggu kemudian, informasi dan konten media yang terlanjur menyebar, dianulir dengan ditemukan 4 kasus pertama positif virus corona di Indonesia.

Demikian pula informasi iuran BPJS yang menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Informasi awal yang beredar bahwa pemerintah dan DPR RI bersepakat untuk tidak menaikan iuran kelas 3. Namun informasi terakihir pemerintah secara sepihak menetapkan kenaikan iuran BPJS tersebut. Anehnya keputusan kenaikan iuran BPJS versi pemerintah tersandera dengan hasil keputusan yudisial review Mahkamah Agung RI, yang menolak kenaikan versi pemerintah, Lagi-lagi pemerintah tidak dapat membuktikan diri sebagai sumber informasi primer yang memberi kepastian. Sontak public Indonesia kaget, sok dan panik akibat dua jenis informasi yang beredar yang notabene diproduksi oleh sumber yang sama.

Publik pun dibuat cemas dan tidak puas pada model informasi yang justru menciptakan “virus ketidakpuasaan”, kecemasan bahkan kegaduhan dalam masyarakat. Bahkan kekinian gejala kehadiran virus ketidakpuasan ini telah nampak dalam masyarakat kita meruntuhkan dan mengikis nilai kepercayaan public (public trust) yang bermuara mengganggu kestabilan politik, dan ekonomi negara. Jika virus diskonten sebagai “virus ketidakpuasan” terus diproduksi dan beroperasi pada berbagai media diwilayah public, maka tidak heran saat ini kita dapat/akan  menyaksikan gelombang protes massa, yang kadang berujung bentrok antar massa dan apparat negara. Contoh lain bahaya virus diskonten media sebagai virus ketidakpuasan juga terjadi di negara seperti Chile, Ekuador, Mexico, Libanon dan Hongkong, memicu gelombang protes public besar-besaran berubah jadi pengadilan rakyat terhadap institusi negara dan aktor negara yang menginginkan pergantian rezim pemerintah yang demokratis.

Mencermati bentuk dan sifat dari fenomena disrupsi informasi dan diskonten media yang menggelisahkan public dunia termasuk Indonesia saat ini, menurut perspektif komunikasi maka apa yang terjadi adalah antithesis dari “masyarakat informasi” yang dikemukakan John Naisbitt  dan Alfin Toffler (The Third Wave, 2000) dan Daniel Bell (The Coming Post Industrial Society, 1985).

Masyarakat informasi yang sejatinya paham informasi, justru sebaliknya terjadi kekacauan informasi, akibat ketidakpuasan pada informasi yang seharusnya memuaskan. Pun, pada kasus kekacauan informasi dan ketidakpuasan tersebut, E. Cooper dan  M. Johada menerangkan sering disebabkan adanya penyesatan komunikasi (meaning), pencacatan pesan (message invalid) dan pengubahan kerangka rujukan (changing frame of reference) dari sumber komunikasi primer sebagai gejala bentuk kegagalan berkomunikasi atau evasi komunikasi, (evasion of communication).

Solusi Yang Diperlukan

Melihat dan menyikapi fenomena era disrupsi informasi dan konten-konten media (social) yang berubah ke arah praktik diskonten media saat ini, dimana informasi dan media cenderung digunakan menjadi alat, dan saluran padat dari beragam peristiwa, fakta, dan ide orang perorang, atau kelompuk, maka dibutuhkan panduan bagi publik. Informasi yang silih berganti secara terus menerus dan perilaku media (social) yang makin berhasrat tinggi menyebarkan pesan-pesan (informasi) yang penting atau tidak penting bahkan tidak dibutuhkan public membuat bingung, terinspirasi, bahkan terpengaruh.

Lalu untuk menghadapi itu maka diperlukan cara atau tips yang dapat mencegah larut dan terbawa arus virus ketidakpuasan, kekacauan informasi dan kegagalan komunikasi, sevagai berikut : (1) Membiasakan diri malakukan Trend Watching (perilaku, komunikasi, teknologi, public society, human interest); (2) Risk Communication Management  (mengelolah resiko komunikasi sebelum dilakukan); (3) Detoksifikasi digital  (menghapus, mengabaikan, pesan/informasi yang tidak dipahami) ; (4) Memahami karakteristik komunikasi dipilih ; (5) Mengenal saluran dan khalayak komunikasi. Akhirnya pelajaran penting yang dapat diambil dari merebaknya gejala virus ketidakpuasan, kekecauan informasi, dan kegagalan komunikasi, kembali terpulang kepada kehatian-hatian kita sebagai produser, distributor sekaligus konsumen informasi untuk selalu mempertimbangkan sisi kemanfaatan dan kegunaan informasi dalam proses dan konteks komunikasi. (Kendari, 19 Maret 2020)

Refference :

Bell, Daniel ;The Coming Post Industrial Society, 1985

Christensen., Clayton, The Innovator Dilemma,1997

Gilbert., M ; Ledakan Informasi, 2015

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2015

Naisbitt,  John dan Toffler, Alfin ; The Third Wave, 2000

Webster., Merriam ; An American Dictionary of the English 2000

  • Bagikan