Dita Sakit Karena Merkuri atau Kutukan Jin?

  • Bagikan

Dampak penggunaan merkuri tidak terkendali di Bombana saat ini menggema di media international, melalui publis Pulitzer Center on Crisis Reporting yang berpusat di Washington DC. Korbannya adalah Dita (10), gadis Desa Raurau yang kondisinya sangat memprihatinkan. Namun warga setempat menganggap itu adalah penyakit kutukan jin. Wartawan SultraKini.com, M Djufri Rachim, menelusuri publisitas itu dikaitkan dengan data-data yang dimiliki serta menghubungi sejumlah nara sumber. Berikut laporannya.Dita, seorang gadis kecil yang tinggal di Desa Raurau, diduga kuat menjadi korban “keracunan” merkuri (Hg) di kawasan “tambang” emas Bombana, Sulawesi Tenggara.    Ketika Dita berusia 7 tahun, gejala aneh tiba-tiba menghinggapi tubuhnya. Dia kehilangan kendali lengan dan kakinya. Anggota tubuhnya berkerut dan menjadi kaku. Tangan dan jari-jarinya meringkuk menutup. Dia berhenti bicara.Ibu Dita, Kustin (43), menceritakan semasa kecil Dita adalah anak normal, berjalan, berbicara, tertawa dan bermain. Hingga berumur 3 tahun mulai bermasalah, kesulitan berjalan dan tubuhnya selalu kejang.Pulitzer Center on Crisis Reporting belum lama ini (22 Juli 2015) merilis artikel yang menceritakan penderitaan Dita tersebut. Organisasi media yang berbasis di Washington DC (Amerika) ini berdiri tahun 2006 untuk mensponsori pelaporan independen dari wartawan tentang isu-isu global.Larry C. Price, penulis artikel itu mengungkap kondisi Dita yang memburuk. Kaki tulang tipis gadis berusia 10 tahun itu mengejang. Kakinya runcing dan gemetar. Lengannya mencambuk mundur. Dia kesakitan pada saat bergerak.Larry mengaitkan penyakit Dita dengan aktivitas penggunaan merkuri dalam pengelolaan biji emas di sekitar tempat tinggal Dita. Namun pejabat kesehatan setempat menyebut “keracunan merkuri” itu sebagai “penyakit biasa.”
Image
Ahli Hidrologi The Australian National University sudah melaksanakan pengukuran merkuri di air dan sedimen, namun hasilnya belum dipublikasi. Fitrilailah Mokui dan Omar Aschari A Pidani, pasangan suami istri yang menyelesaikan program PhD ikut dalam penelitian itu.Fitrilailah tidak setuju jika penyakit Dita dihubungkan dengan aktivitas marak penggunaan merkuri di Bombana. Apalagai, tulisan Lerry yang berpartner dengan Yuyun Ismawati dari Bali Fokus menurutnya tidak pernah memeriksa jaringan Dita, melainkan hanya mengambil rambut Dita. “Tapi hasilnya tidak bisa saya percaya secara keilmuan,” katanya dalam pesan elektronik yang dikirimkan kepada SultraKini.com.“Saya sudah bertemu Dita dan keluarganya, wawancara dengan ibu Desa. Mereka menyatakan bahwa Dita itu sakit karena hukum karma dari bapaknya yang selalu menyiksa kakeknya dan terakhir memanggang hidup-hidup kakek Dita dalam pondok hingga meninggal. Menurut mereka jin yang menjaga kakeknya membuat Dita menjadi sakit,” Fitrilailah menjelaskan.Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Haluoleo yang melakukan penelitian untuk gelar PhD di bidang Medical Anthropology dan Cultural Epidemology ini berpendapat penggunaan merkuri tidak serta merta memberi dampak negatif kepada pengguna, tapi membutuhkan waktu lama. “Sudah banyak saya kenal penambang dan pembakar emas yang selalu kena merkuri tetapi kelihatannya sehat,” kata Fitrilailah.Bahkan menurutnya, kemiskinan dan gizi yang kurang merupakan faktor kuat yang memperparah sakit Dita.Hal lain diungkapkan Sukma, suster yang bertugas di Raurau bahwa Dita dan sebagian anak di desa tidak pernah mendapatkan imunisasi. Penyakit Dita adalah tanda-tanda polio yang hanya bisa dicegah dengan imunisasi.Senada dengan istrinya, Omar Aschari A Pidani, yang selama setahun terakhir bersama rekannya melakukan riset PhD di Raurau, antara lain berinteraksi dengan ibu Dita, Kustin, menemukan praduga berbeda.“Dita tidak pernah mendapat imunisasi polio. Banyak penyebab-penyebab lain yang lebih ke metafisika,” kutip Omar Pidani dalam sebuah komentar di media sosial, facebook.  Omar tidak mau berspekulasi sehingga mempersilakan menunggu hasil riset peneliti bidang geochemistry dari ANU yang sudah mengambil sampel di sana. “Kita masih menunggu apakah sedimen air, tanah, dan padi mengandung mercuri. Sampling masih diuji di accredited laboratorium di Bogor.” Sementara itu, Sri Damayanty, dosen kesehatan lingkungan dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicena Kendari menilai untuk memastikan Dita mengidap penyakit akibat merkuri diperlukan penelitian lebih jauh dan mendalam, dari berbabagai aspek.Misalnya aspek lingkungan perlu diteliti kandungan merkuri dalam air, sedimen, biota laut (ikan dan kerang) yang sering dikonsumsi. Jumlah penderita juga perlu ditelusuri seberapa banyak. Hal lain yang lebih penting adalah pemeriksaan langsung pada Dita, misalnya rambut dan organ vital seperti hati.“Pemeriksaan melalui rambut adalah salah satu cara yang tepat karena merupakan bio indikator untuk paparan jangka panjang dari logam berat,” kata Sri, magister Kesehatan Lingkungan Universitas Hasanuddin. Environmental Protection Agency (EPA) merilis metode pemeriksaan melalui rambut telah digunakan lebih dari 400 penelitian tentang merkuri yang ada di dunia.Signal bahaya merkuri di Bombana sebetulnya sudah terungkap sejak 2009 lalu, atau setahun setelah emas Bombana ditemukan pertama kali, September 2008. Sejumlah artikel dan berita media lokal dan nasional, diantaranya Harian Jawa Pos dan Kompas memberitakan. Bahkan sebuah situs media online nasional mengangkat judul sedikit keras “Maut Merkuri di Tambang Emas Bombana”. Tulisan ini hingga sekarang masih awet, bisa digoogling. Ancaman merkuri di Bombana saat itu terungkap melalui peneliti kualitas air dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Kendari, Emiyarti. Dia menunjukkan hasil penelitiannya bahwa kandungan air di titik-titik penambangan emas, baik yang dilakukan masyarakat secara liar maupun perusahaan, sudah mengandung merkuri. Jumlahnya pun tidak main-main. Hasil analisis Laboratorium Kimia FMIPA Unhalu menyebutkan kandungan merkuri di Bendungan Langkowala mencapai 0,89 mg per liter atau 490 kali lipat dari ambang batas yang ditolerir, yakni 0,002 mg per liter.Penelitian Oktober 2009 itu mengambil sampel air di 12 titik pada empat lokasi berbeda, yakni Bendungan Langkowala, Sentra Pemukiman Enam (SP-6) Wuwubangka, SP-8 bekas tambang rakyat, dan Kali Langkowala, semuanya mengandung logam berat, merkuri. Semuanya di atas ambang batas toleransi.Sumber pencemaran merkuri saat itu diduga dari penambangan emas yang dilakukan masyarakat pada November 2008 hingga Maret 2009. Periode itu diperkirakan sekitar 80.000 penambang, lalu kemudian masuklah belasan perusahaan yang diizinkan pemerintah setempat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi.Penelitian lain dilakukan antara Februari dan Maret 2015 oleh BaliFokus, sebuah LSM nirlaba yang meneliti pencemaran lingkungan dan Medicuss Foundation beranggotakan sejumlah dokter yang melakukan penelitian kesehatan dan pengujian lingkungan di sejumlah tempat di Bombana, termasuk Raurau, tempat Dita tinggal. Hasil bacaannya menunjukkan 41.000 nanogram per m3 atau lebih dari 40 kali tingkat aman merkuri yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia serta Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan. Sekadar untuk diketahui, 1 nanogram (ng) = 0,000 000 001 gram (g).Bali Fokus juga menemukan merkuri dalam beras, ikan, air dan tanah pada tingkat 600 sampai 3.000 kali lebih tinggi dari standar aman Organisasi Kesehatan Dunia.Dari tiga hotspot yang disurvei oleh Bali Fokus dan Medicucc Foundation seperti dilaporkan Larry C. Price dalam situs PulitzerCenter.org ditemukan sejumlah orang dewasa dan anak-anak yang dicurigai keracunan merkuri.Dita adalah salah satu anak-anak yang diperiksa. Gejala klasik untuk penyakit Minamata bawaan, sindrom nama untuk kota Jepang, dimana kelompok anak-anak dan orang dewasa yang ditemukan menderita cacat parah dan kerusakan saraf akibat keracunan merkuri secara kronis.Saat ini, kadar udara di pondok tempat tinggal Dita sudah normal. Bali Fokus mengujinya di bawah 25 nanogram per m3. Namun antara enam hingga tujuh tahun lalu, ayah dan ibu Dita secara aktif terlibat dalam pembakaran amalgam emas di halaman belakang rumah mereka. Amalgamasi yang dilakukan orang tua Dita itu merupakan proses penyelaputan partikel emas oleh raksa dan membentuk amalgam (Au-Hg). Untuk memisahkan emas dari raksa dilakukan dengan pembakaran amalgam guna menguapkan raksa sehingga diperoleh paduan logam emas-perak (bullion). Penambang tradisional melakukan proses ini secara terbuka sehingga menghasilkan uap yang mengandung raksa di udara.Direktur Bali Focus, Yuyun Ismawati, menjelaskan selama pembakaran amalgam tersebut, uap merkuri di sejumlah wilayah bisa mencapai antara 10.000 hingga 45.000 nanogram per meter kubik. Kegiatan pembakaran amalgam dilakukan banyak orang di Raurau dan Bombana pada saat itu. Keluarga Dita tinggal di rumah panggung, terbuat dari dinding papan dan lantai bambu sehingga uap hasil pembakaran merkuri akan leluasa masuk ke dalam rumah melalui celah-celah dinding dan lantai, lalu dihirup bebas oleh Dita selama beberapa tahun itu. Kini, pembakaran di belakang rumah Dita sudah tidak ada, namun Dita telah menderita. Ibu Dita, Kustin, juga menunjukan gejala keracunan merkuri. Pendengarannya terganggu, dan tanda berwarna hitam pada langit-langit mulutnya.  ( [email protected])

  • Bagikan