Dukung Pangan Kita, Wujudkan Indonesia Lebih Makmur

  • Bagikan
Intan Maulida Khoirun Nisa
Intan Maulida Khoirun Nisa

SULTRAKINI.COM: Seperti yang kita tahu, Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Negara yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah ini, sudah dikenal oleh dunia sejak lama. Nusantara pernah dijajah oleh bangsa Eropa karena rempah-rempahnya yang melimpah ruah. Selain dikaruniai tanah yang subur, Indonesia juga merupakan negara tropis yang memiliki curah hujan tinggi sehingga mudah untuk ditanami berbagai macam tanaman baik pangan maupun nonpangan.

Pertanian Indonesia

Badan Pusat Statistik mencatat, rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasai oleh Rumah Tangga Usaha Pertanian sebesar 7,79 m2 pada 2018 (SUTAS 2018). Sebesar 70% lahan yang dikuasai adalah lahan bukan sawah. Sebanyak 29% masyarakat Indonesia bekerja pada sektor pertanian dengan RTUP sebesar 27 juta rumah tangga. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia masih bergantung pada sektor pertanian untuk pemenuhan kebutuhan hidup dilihat dari banyaknya masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian.

Jika menilik dari sisi ekonomi, Sektor Pertanian menduduki peringkat kedua dalam kontribusi pada Produk Domestik Bruto dalam lima tahun ini. Sangat disayangkan, sejak tahun 2014 hingga 2018, kontribusi Sektor Pertanian pada PDB Indonesia mengalami penurunan walaupun angka PDB tahunannya terus meningkat hingga mencapai 1 triliun rupiah. Sehingga dapat dikatakan walaupun masih banyak penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, namun belum mampu menaikkan kontribusi sektor pertanian pada PDB Indonesia atau dengan kata lain, laju pertumbuhan perekonomian untuk sektor pertanian masih belum baik.

Namun dari sisi ketenagakerjaan, sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja yang baik untuk Indonesia. Sejak tahun 2015 hingga 2018, tak kurang dari 37 juta penduduk Indonesia bekerja pada sektor pertanian. Namun angkanya terus merosot hingga 1,5% (BPS, Sakernas 2018). Sensus Pertanian mencatat, pada tahun 2003 hingga 2013, Rumah Tangga Usaha Pertanian mengalami pemerosotan dari 31 juta ruta menjadi 26 juta ruta dan kembali mengalami peningkatan hingga 1 juta ruta pada 2018. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja Indonesia hingga 30 juta penduduk angkatan kerja. Hal ini akan terus meningkat apabila upaya dari pemerintah juga mendukung baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun pendidikan.

Ketahanan Pangan Indonesia di Mata Dunia

Ketahanan Pangan Dunia atau dikenal dengan Global Food Security Index yaitu laporan kondisi ketahanan pangan dunia yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU). GFSI mengukur ketahanan pangan dari 113 negara di dunia sejak 2012 hingga sekarang. Pada 2013, Indonesia menduduki peringkat 66 dari 107 negara dengan skor 45,6. Peringkat terus mengalami perubahan hingga tahun 2018, Indonesia naik peringkat menjadi 65 dari 113 negara dengan skor 55,2 dari 100.

Dikuti dari kbr.id, EIU kemudian menyusun indeks penilaian berdasarkan tiga faktor, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan bahan pangan (availability), serta kualitas dan keamanan bahan pangan (quality and safety).

Ukuran keterjangkauan harga pangan meliputi kemampuan masyarakat dalam membeli makanan, kesiapan menghadapi lonjakan harga, dan kebijakan negara yang terkait pemenuhan pangan nasional. Ukuran affordability Indonesia mendapat skor sebesar 55,2 dari 100. Nilai yang masih berada pada rata-rata dunia ini merupakan ‘wanti-wanti’ bagi pemerintah Indonesia. Pasalnya, apabila kemampuan masyarakat dalam membeli makanan masih relatif kecil maka masyarakat Indonesia kemungkinan belum siap untuk menghadapi lonjakan harga pangan. Terlebih, dengan kondisi iklim yang kian hari kian memburuk, berdampak pula pada pemenuhan pangan nasional. Dalam Sensus Pertanian 2013, BPS menyatakan bahwa pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk menjamin agar rumah tangga memiliki akses terhadap pangan yang tersedia. Upaya atau kebijakan umum yang diterapkan adalah stabilisasi harga pangan pokok agar mekanisme pasar dan distribusi yang ada dapat menyediakannya dengan harga yang terjangkau.

Ketersediaan bahan pangan atau ukuran availability, GFSI 2018 menilai Indonesia dengan skor 58,2 dari 100. Laporan dari EUI mengatakan bahwa tantangan Indonesia terhadap ketersediaan bahan pangan ialah minimnya perhatian pemerintah untuk riset pertanian. EUI menilai skor 1 dari 9 poin untuk Indonesia dalam upaya pengembangan pertanian. Faktanya, neraca perdagangan Indonesia masih menunjukkan kecepatan pertumbuhan impor produk pertanian yang lebih cepat daripada ekspor produk serupa. Ketergantungan pemenuhan penyediaan pangan pada impor merupakan indikasi negatif bagi pembangunan. Menurut Suryana, kelangsungan penyediaan pangan dari dalam negeri dapat ditempuh dengan meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri, menyediakan aneka ragam pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, serta mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok, dengan harga yang wajar dan terjangkau.

Kualitas dan Keamanan bahan pangan Indonesia dinilai oleh EUI dengan skor 44,5 dari 100. Skor yang paling rendah di antara kedua ukuran lainnya. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya kualitas protein yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, yakni masih di bawah rata-rata dunia. Dengan metodologi Protein Digestibility Corrected Amino Acid Score (PDCAAS) untuk mengukur kualitas protein dalam bahan pangan, Indonesia baru mencapai skor 39,3 dari 100. Susenas 2018 mencatat bahwa konsumsi protein Indonesia mencapai nilai 64,64 gram per kapita per hari. Sementara menurut healthline.com yang dikutip dari beritagar.id, protein yang direkomendasikan dikonsumsi oleh manusia ialah 1 hingga 1,5 gram per 1 kg berat badan per harinya. Oleh sebab itu, sangat disayangkan apabila protein dalam bahan pangan kita masih tergolong rendah sementara kebutuhan protein kita harus terus terpenuhi. Kekurangan protein akan berdampak pada kesehatan tulang kita karena lebih sering diserap oleh tubuh untuk menutupi kekurangan protein tubuh, dampak lebih buruknya adalah terkena osteoporosis.

Ketahanan Pangan Indonesia

Dengan keterbatasan yang ada, Indonesia mampu memenuhi kondisi pangan untuk penduduknya. Menurut UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan mendefinisikan, Ketahanan Pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Untuk menghitung ketahanan pangan, Kemeterian Pertanian menyusun penilaian yakni Indeks Ketahanan Pangan yang indikatornya didapat dari data yang ada pada Badan Pusat Statistik.

Indeks Ketahanan Pangan yang disusun oleh Kementerian Pertanian ini terdiri dari sembilan indikator yang merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan. Aspek/dimensi Ketersediaan Pangan diukur dengan indikator rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan bersih per kapita per hari. Selanjutnya, Persentase Penduduk di bawah garis kemiskinan, Persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65% terhadap total pengeluaran, dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik membentuk aspek keterjangkauan pangan. Terakhir, pada aspek pemanfaatan pangan meliputi indikator; Rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun, Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat kepadatan penduduk, Prevalence Balita Stunting, dan angka harapan hidup saat lahir.

Indeks Ketahanan Pangan Indonesia, diolah dari data Sensus Pertanian 2013, pada aspek ketersediaan pangan, Indonesia berhasil mencapai dimensi ketersediaan pangan sebesar 89,23 dengan provinsi tertinggi diraih oleh DI Yogyakarta dengan skor dimensinya mencapai 94,53. Bila dilihat dari struktur kependudukan tahun 2013, jumlah penduduk DI Yogyakarta sekitar 3,6 juta orang atau sebanyak 1,0 juta rumah tangga, sekitar 50 persen rumah tangga di DI Yogyakarta adalah RTUP yang sebagian besar adalah RTUP tanaman pangan. Dengan demikian ketersediaan pangan di DI Yogyakarta cukup memadai (Analisis Sosial Ekonomi Petani di Indonesia, 2013).

Selanjutnya aspek keterjangkauan pangan yang diukur dengan keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial dibentuk oleh tiga indikator. Secara keseluruhan, dimensi keterjangkauan pangan mencapai nilai 83,35 dengan indikator pangan yang diproduksi di kecamatan sebesar 32,8 persen, indikator tidak mengalami kesulitan menjangkau lokasi pembelian sebesar 37,6 persen dan indikator harga pembelian sebesar 29,6 persen.

Pemanfaatan pangan Indonesia memiliki dimensi yang lebih kecil yaitu sebesar 71,53 yang artinya kemudahan akses terhadap pangan masih belum memadai. Kemudahan sarana dan prasarana teknologi informasi serta layanan kesehatan akan meningkatkan akses individu terhadap pengetahuan mengenai pemanfaatan pangan yang dapat memenuhi asupan gizi penduduk Indonesia.

Berbeda dengan tahun 2018, Kementerian Pertanian merilis Indeks Ketahanan Pangan berdasarkan kabupaten dan kota dengan kabupaten tertinggi ialah Buleleng dengan skor 88,30 dan kota tertinggi ialah Denpasar sebesar 92,81.

SDG’s dalam Ketahanan Pangan

Meskipun memiliki perbedaan dalam penghitungan Indeks Ketahanan Pangan oleh Kementan dan EUI, namun memiliki kesamaan tujuan dalam mewujudkan pembangunan yang lebih baik. Sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia atau dikenal dengan SDG’s, kita sebagai masyarakat Indonesia harus lebih siap membantu pemerintah mewujudkan pembangunan Indonesia yang lebih baik. Jika kita mengamati lebih dalam, terdapat beberapa indikator SDG’s yang harus kita wujudkan pada pangan Indonesia. Wujudkan pangan yang baik untuk Indonesia tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, masyarakat yang hidup sehat dan sejahtera, dan konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab, serta yang paling penting adalah mampu menangani perubahan iklim untuk menciptakan pangan yang berkualitas.

Mari, bersama-sama wujudkan pangan yang berkualitas, salah satunya dengan mengonsumsi pangan dalam negeri seperti sayuran dan buah-buahan lokal. Tak hanya itu, kemeriahkan peringatan Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober oleh Kementerian Pertanian mengangkat tema bertajuk “Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045” atau “Our action are our future, healthy diets #zerohungerworld”. Sayangi alammu, ciptakan pangan yang berkualitas, dan konsumsi pangan itu untuk membantu petani supaya makmur.

Oleh: Intan Maulida Khoirun Nisa ([email protected])

  • Bagikan