Empat Warga Korban Penggusuran Pembangunan Jembatan Teluk Kendari Minta Keadilan, “Kasian Kami…”

  • Bagikan
Korban pembebasan lahan pembangunan Jembatan Teluk Kendari (tengah) di dampingi kuasa hukumnya mempertanyakan proses ganti rugi lahan. (Foto: Hasrul Tamrin/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Empat orang warga pemilik rumah toko (ruko) korban penggusuran pembebasan lahan di Kelurahan Kandai, Kota Kendari meminta keadilan. Lahan mereka yang dijadikan kawasan pembangunan Jembatan Teluk Kendari ini mengaku belum mendapatkan haknya dan bangunan sudah dirobohkan.

Empat orang pemilik lahan dan ruko yang menjadi korban penggusuran untuk pembangunan Jembatan Teluk Kendari, yakni Sonny Jie, Edi Chandra, Silvia Tanggriawan, dan Katrina Maitano. Mereka mengaku belum mendapatkan haknya sepeserpun, padahal bangunan sudah dirobohkan.

Salah seorang kuasa hukum warga tersebut, Karel Rony Pakambanan, mengatakan kliennya itu menjadi korban penggusuran untuk pembangunan jembatan pada 16 September 2020. Namun belum mendapatkan hak mereka atas ruko yang dirobohkan berikut dengan tanahnya.

“Jadi mereka ini sampai sekarang belum mendapatkan hak mereka dalam pembebasan lahan oleh Satuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional Wilayah II Sulawesi Tenggara, ini ada apa,” kata Karel Rony Pakambanan, Rabu (21/10/2020).

Dijelaskannya, awalnya kliennya sempat ditawari pembebasan lahan berdasarkan perhitungan dan penilaian KJPP yang didatangkan dari Solo, namun pemilik ruko menolak tawaran Balai Jalan Wilayah II Sultra dengan alasan tidak sesuai dengan harapan sehingga pihaknya melayangkan surat gugatan.

Dalam perjalannya, proses gugatan yang dilayangkan tersebut pada 6 Desember, Balai Jalan yang mendapatkan pendampingan dari Jaksa Pengacara Negara melakukan permohonan penitipan ganti kerugian atau konsinyasi pada Pengadilan Negeri Kendari.

“Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Kendari yang dipimpin oleh hakim tunggal, Irmawati Abidin, mengeluarkan penetapannya atas klien saya jika masih keberatan atau tidak menerima jumlah konsinyasi pembayaran pembebasan lahan miliknya mereka bisa menempuh hukum kasasi, tapi oleh ketua Pengadilan Negeri Kendari menyarankan bukan kasasi tapi gugatan perdata,” jelasnya.

Waktu itu, kata Karel, dalam proses gugatan itu Majelis Hakim mengeluarkan putusan tertanggal 13 Agustus 2020 yang intinya mengabulkan sebagian tuntutan masyarakat terhadap nilai yang harus dibayarkan atas pembebasan lahan tersebut dan menyatakan nilai yang ditetapkan oleh KJPP dari Solo sebelumnya tidak benar atau dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum.

“Tapi anehnya kenapa tiba-tiba panitera Pengadilan Negeri Kendari atas nama ketua Pengadilan Negeri Kendari mengirimkan surat kepada klien pada 8 September untuk melaksanakan eksekusi lahan, ini ada apa,” ujarnya.

Meskipun pada waktu itu pihaknya berupaya mensurati pengadilan untuk menunda sementara proses eksekusi lahan dan berkomunikasi langsung, tapi tidak diapresiasi hingga eksekusi berlangsung pada 16 September 2020.

“Ini ada apa dengan hukum kita di negara ini, kami menduga ada upaya pengaburan hukum dalam penyeleseaian sengketa ini, soalnya pengadilan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 83 Tahun 2020 tentang pengabulan sebagian pembayan, tapi kenapa kok berubah, malah mengikuti penetapan awal, nyata-nyata itu dibatalkan pasca-adanya keputusan Nomor 83/Pdt.J/2019/PM.Pdi,” tegasnya.

Olehnya itu, atas nama kliennya meminta kepada Pemerintah Provinsi Sultra dan para penegak hukum di Sultra bisa memberikan rasa keadilan sehubungan dengan pembebasan lahan milik Sonijy dan kawan-kawannya, sebab belum juga terbayarkan atau belum menerima pembayaran ganti tugi lahan hingga kini.

Sementara itu, seorang korban pembebasan lahan, Edi Chandra, mengaku sangat kecewa dengan sikap pemerintah. Pasalnya, dirinyaa belum menerima ganti rugi atas lahan dan rukonya.

“Sampai saat ini sepersepun kami belum dikasikan ganti rugi, tapi ruko dan bahan-bahan perabot rumah dirobohkan,” ucapnya.

Parahnya, kata dia, proses eksekusi lahan sangat tidak berperikemanusiaan pada 16 September 2020.

“Waktu dieksekusi itu kami tidak diberikan kesempatan mau angkut barang dulu, dihancurkan dengan barang-barang kami, baju jualan-istri saya waktu itu ada sekitar 20an lebar hilang, kasian kami ini,” jelasnya.

Hingga kini, Edi mengaku ia bersama keluarganya terlunta-lunta dan harus numpang di rumah teman sebab tidak memiliki tempat tinggal lagi.

“Jadi kami minta dan mohon kepada pemerintah tolong kasian, jangan anggap sebelah mata kami ini,” tambahnya. (B)

Laporan: Hasrul Tamrin
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan