Gegap gempita menyambut hari ulang tahun RI (Republik Indonesia) telah membahana sejak beberapa minggu terakhir ini. Latihan baris berbaris, paskibraka, lomba lari balap karung, makan kerupuk, dan segudang aktivitas lainnya begitu mewarnai keseharian para generasi, terutamanya mereka yang menempuh pendidikan di bangku sekolah. Mulai dari SD, SMP hingga SMA.
Adapun tujuan dilibatkannya para generasi bangsa dalam memperingati hari bersejarah ini ialah, untuk menanamkan nilai-nilai pancasila, nasionalis dan cinta tanah air di jiwa raga para generasi.
Namun ironisnya, euforia kemerdekaan yang dilakukan setiap tahun ini, nyatanya tak mampu membuat generasi benar-benar cinta dengan negerinya, dan baik moralnya. Jiwa pancasilais tidak benar-benar terpatri. Justru malah kita mendapati fakta memilukan. Generasi bangsa malah kian bobrok moralnya dan tidak cinta pada negerinya, sebagaimana yang diusung selama ini.
Bukti real yang terjadi para generasi pemuda hari ini ialah, serentetan kasus mencengangkan yang mayoritas pelakunya ialah para generasi bangsa. Seperti yang dihimpun dari Eramuslim.com (1/2/2018), Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane mengungkapkan, tingkat sadisme dan seks bebas di kalangan remaja Indonesia kian memprihatinkan. Hal ini, lanjut dia, ditandai makin tingginya angka pembuangan bayi di jalanan di sepanjang Januari 2018.
Pun, pada tahun 2017 lalu terdapat 120 kasus narkoba yang dilakukan oleh remaja (acehnews.co, 15/9/17). Data secara Nasional berdasarkan laporan Jenderal Kapolri Tito Karnavian terdapat 291.748 kasus selama tahun 2017 (metronews,29/12/17)
Badan Narkotika Nasional (BNN) juga menyebutkan bahwa pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,1 juta orang, dan itu terbesar di Asia. Dari jumlah itu, 40% di antaranya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. “Ada yang penasaran lalu mencoba, ada yang sudah berapa kali terus ketagihan, dan ada yang sudah kecanduan lalu jadi bandar. Yang coba-coba pakai saja jumlahnya hampir 1,2 juta orang. (Republika, 30/10/2018)
Masih dengan pelaku yang sama, yaitu para generasi. Seorang remaja yang masih berumur 15 tahun menghabisi nyawa seorang anak yang masih berumur 6 tahun. Adapun motifnya ialah karena dendam. (Liputan6.com, 26/5 /2018). Seorang remaja (17) tahun juga membunuh neneknya sendiri dan membuangnya di semak belukar. (tribunnews, 24 juli 2018)
Miris sudah tentu melanda, ketika menyaksikan sebuah kenyataan pahit yang menimpa generasi zaman ini. Kasus-kasus yang diperankan oleh remaja ibarat bola salju yang terus bergelinding dan membesar, yang setiap tahunnya terjadi peningkatan. Yang tentu saja semua itu tidaklah sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh bangsa., serta tidak menunjukkan kecintaan terhadap tanah air.
Akar Masalah
Tidak ada asap jika tanpa api. Begitu pula dengan permasalahan yang melanda para generasi di negeri ini. Penanaman moral, jiwa pancasilais dan karakter unggul bak hanya sekedar iklan dilayar kaca saja. Dilibatkannya para generasi dalam menyemarakkan moment 17-an setiap tahun tak membuahkan hasil apa-apa. Malah kian tahun generasi makin tersungkur dan terjebak dalam arus liberalisme.
Ya, liberalisme adalah kebebasan berekspresi yang dituangkan sesuka hati, tanpa memandang bagaimana agama menghukuminya. Salah dan benar tak menjadi soal, selama itu disukai dan tidak merugikan orang lain. Itulah slogan kebebasan yang diagungkan di negeri mayoritas muslim ini. Pacaran, khalwat, hura-hura, kriminal, gaul bebas bahkan seks bebas begitu gamangnya dilakoni, tanpa berpikir bahwa semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Sehingga lahirlah generasi yang miskin iman, minim tanggung jawab dan rusak moralnya.
Sekularisme juga telah berhasil mengamputasi peran agama dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, hingga menihilkan para generasi untuk menjadi pribadi unggul nan bertaqwa di mata negeri maupun Robb-nya. Agama seolah hanya berfungsi ketika berada di atas sajadah saja, tidak lebih. Sehingga terciptalah generasi hedonis, yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Seperti bersenang-senang dan berpesta pora contohnya. Entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya.
Belum lagi pelajaran agama dalam pendidikan, yang sedikit demi sedikit dikikis dengan alasan teroris dan fanatik. Padahal tujuan utamanya agar Islam semakin tersingkirkan dari jiwa para generasi penerus bangsa. Hingga lahirlah generasi berprestasi akademik namun miskin taqwa dan minim moral. Terciptalah pribadi yang kering jiwanya, keras mentalnya, bahkan stagnan dari mencari solusi berbagai persoalan yang menimpanya.
Generasi Hebat dalam Islam
Sesunggunya, mengikuti seremonial 17-an tak akan mampu membuat para generasi menjadi pancasilais dan baik moralnya. Sebab, agenda tahunan ini selalu mewarnai negeri sejak tercetusnya kemerdekaan Indonesia dari para penjajah Belanda. Namun, faktanya tak membuahkan hasil apa-apa.
Islam memandang bahwa generasi adalah aset berharga bangsa. Di pundak merekalah nanti baik buruknya peradaban. Sehingga memastikan remaja memiliki kepribadian Islam adalah sesuatu yang harus diprioritaskan.
Adapun perbaikan atas mereka adalah tanggung jawab bersama. Orang tua dan masyarakat tak bisa hanya mencukupkan takaran terdidiknya mereka di lembaga formal. Pemerintah pun juga harus memberi ruang kepada elemen masyarakat untuk peduli pada nasib generasi. Masyarakat dapat berperan aktif memelihara generasi dengan jalan membina dan menghebatkan jati diri generasi.
Dan tentu saja, menyiapkan generasi hebat membutuhkan kesatuan pandangan akan definisi hebat yang dimaksud. Hebat tidak cukup hanya diukur dari prestasi akademik yang diraih, sebab prestasi akademik tanpa dukungan pemahaman Islam masih berpeluang menghasilkan generasi amoral dan generasi calon penghuni neraka.
Dalam Islam, formula penghebatan generasi yang lengkap dari sisi prestasi maupun adab itu dimiliki oleh pendidikan berbasis Islam, maka generasi hebat adalah generasi berkepribadian Islam. Kepribadian Islam yang dimaksud mencakup pola pikir dan pola sikapnya, yaitu berpemikiran Islam dan bersikap Islami sebagai penerapan atas pemikiran Islam yang dimilikinya.
Kemudian, rasa cinta terhadap tanah air harusnya diekspresikan dengan menerapkan Islam dalam seluruh kehidupan. Karena dengan Islam yang telah terterapkan, masalah-malasah yang ada di negeri ini akan menguap dengan sendirinya, termaksud juga terselesainya kasus yang menimpa generasi. Sebab Islam adalah agama sekaligus mabda yang mampu menyelesaikan seluruh problematika manusia.
Dengan menerapkan Islam secara kaffah, maka lahirlah individu, masyarakat, dan negara yang memiliki satu perasaan, satu aturan dan satu pemikiran. Bibit-bibit generasi bangsa itu akan tercipta, bagaikan bunga yang setiap hari di siram dengan air ketaqwaan, sehingga senantiasa mekar dan tidak layu. Wallahu A’lam Bissawab
Penulis : Fitriani S.Pd
Alamat : Tomia, Kabupaten Wakatobi
No. Hp : 082191370663