Fenomena Kutu Loncat, Peran Parpol Digugat

  • Bagikan
Ahyani R. (Pemerhati Masalah Sosial, Butur).Foto:ist

Jelang pemilihan calon legislatif 2019, tidak sedikit politisi berbondong-bondong pindah partai politik. Hal ini terungkap saat pendaftaran caleg yang berakhir pada 17 Juni 2018 lalu. Beberapa nama politisi terkenal kembali maju mencalonkan diri tapi dengan kendaraan partai politik yang berbeda dengan sebelumnya. Sebut saja Titiek Soeharto, yang berasal dari Partai Golkar pindah ke Partai Berkarya, kader PAN Lucky Hakim, pindah ke Partai NasDem. Diantara kader partai yang paling banyak loncat ke partai lain adalah wakil rakyat dari Hanura. Setidaknya ada delapan orang yang memilih keluar dari partai besutan Wiranto itu. Mereka pindah ke Partai NasDem, PAN dan PDIP (Fajar.co.id,20/07/2018).

Alasan Pindah

Pindahnya kader partai ke partai politik lain bukanlah fenomena baru. Hal ini juga dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Menurut dia, kejadian seperti itu sudah terjadi sejak lama, yakni setelah Indonesia kembali mengalami kondisi multipartai pasca reformasi. Titi menuturkan, pasca Pemilu 1999, fenomena kader pindah partai sebagian besar akibat tarik-menarik kepentingan, terutama dalam mendulang suara (Kompas.com, 21/07/2018).

Alasan para kader partai yang pindah memang beragam. Mulai dari masalah idealisme sampai kesempatan menang yang lebih besar di partai seberang. Zainuddin Amali, anggota DPR RI dari Fraksi Golkar melihat, ada empat alasan yang melatar belakangi para politisi pindah partai. Yaitu ideologi partai, konflik internal partai, masa depan partai serta iming-iming fasilitas dari partai lain (AntaraNews.com, 19/07/2018). Hanura misalnya, konflik internal partai menjadi alasan pindahnya sejumlah kader ke partai politik lain.

Ramainya politisi pindah parpol—biasa disebut sejumlah kalangan dengan istilah kutu loncat—ini membuat Guru Besar Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Syamsuddin Haris prihatin (Wartakota.live.com,Sabtu,21/07/2018). Para politisi kutu loncat ini biasanya sekedar mengejar kepentingan mereka sendiri. “Rakyat akhirnya hanyalah nonfaktor dari proses politik. Suara rakyat dicari saat pemilu dan pilkada tapi setelah itu dicampakkan,” tulis Syamsuddin Haris di akun twitternya. Mudahnya para politisi “mengganti baju” partai menunjukkan tidak kapabelnya para politisi bahkan cenderung mementingkan diri sendiri tanpa mempertimbangkan amanah rakyat yang telah memilihnya.

Fenomena “Kutu Loncat”, Partai Gagal?

Menarik cuitan Syamsuddin Haris, dalam akun twitternya 19/07/2018, tentang penyebab pindahnya politisi. Pertama, tidak adanya parpol ideologis, yang menyebabkan para politisi tersebut tidak memiliki beban moral jika harus loncat ke parpol lainnya. Kedua, Tidak ada standard etik, tidak adanya standard etik yang ditetapkan parpol menyebabkan para politisi tidak merasa terikat. Ketiga, merajalelanya sikap pragmatis yang hanya sekedar melihat kemanfaatan yang bersifat praktis. Politik hanya berorientasi pada kekuasaan Keempat, adanya konflik personal masing-masing politisi. Namun dintara keempat ini, peran dari partai politiklah yang mesti menjadi sorotan. Sebab parpol ibarat “tempat penggemblengan” para politisi sebelum terjun ke masyarakat.

Disisi lain, fenomena “kutu loncat” ini justru semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap politisi dan partai politik. Mestinya ini menjadi evaluasi dan koreksi total bagi partai politik, khususnya pada peran dan fungsinya. Terlebih, bangsa ini mengalami krisis figur politisi akibat maraknya kasus korupsi yang menimpa sejumlah politisi. Sebab, bukankah partai politik merupakan sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakt luas? Jika para politisi yang notabene kader dari sebuah partai politik dengan mudahnya hijrah ke partai politik lain, maka kemampuan sebuah partai dalam mengedukasi politik patut dipertanyakan.

Partai mestinya menjadi wahana pembinaan kader dengan platform parpol. Membina dan menyiapkan kadernya menjadi sosok handal yang memiliki visi ideologis. Sebab merekalah yang memiliki amanah untuk mengedukasi umat dengan pemikiran-pemikiran yang diadopsi parpol. Sayangnya, partai politik yang ada saat ini cenderung pragmatis. Politik hanya dimaknai sekedar kekuasaan. Maka tidak mengherankan, rakyat baru “disentuh” menjelang pemilihan calon legislatif, untuk mendapat simpati dan suara rakyat. Setelahnya? Fungsi edukasi politik kepada rakyat oleh parpol terlupakan.

Inilah gambaran politisi dan partai politik dalam sistem demokrasi. Partai politik hanya menjadi batu loncatan untuk merebut kekuasaan. Wajar jika kemudian banyak permasalahan di negeri ini belum terselesaikan. Kurangnya edukasi politik di tengah masyarakat, memaknainya pun hanya sekedar kekuasaan. Masyarakat hanya digiatkan menjelang pemilu saja. Jadilah standard penilaian masyarakat memilih calon legislatif hanya dari figur saja bukan dari kejelasan visi dan misinya. Tidak mengherankan, banyak kemudian partai politik merangkul artis menjadi anggotanya demi mendulang suara bagi partai.

Peran Partai Politik dalam pandangan Islam

Dalam Islam, aktivitas partai politik adalah dakwah, amar makruf dan nahi munkar. Ini secara umum. Namun, lebih spesifik, dalam konteks sistem pemerintahan, fungsi dan peranan partai politik ini adalah untuk melakukan check and balance. Bisa juga disebut fungsi dan peran muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa) yang dimainkan oleh partai politik Islam dan sistem pemerintahan Islam. Sebagaimana firman Allah swt: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (QS.Ali Imran : 104).

Maka, partai politik ini adalah partai dakwah, yang tidak melakukan aktivitas lain, selain dakwah. Bahkan, bisa dikatakan, fungsi dan peranan ini sangat menentukan keberlangsungan penerapan aturan Islam. Karena, para penguasa dalam negara adalah manusia, bukan malaikat. Mereka tidak maksum, sebagaimana Nabi SAW. Karena itu, mereka berpotensi melakukan kesalahan, terlebih dengan kekuasaan yang memusat di tangannya. Ketika ketakwaan yang menjadi benteng mereka melemah, maka kontrol dari rakyat, termasuk partai politik ini sangat dibutuhkan untuk meluruskan kebengkokan mereka.

Partai berfungsi pula dalam memimpin umat, dan menjadi pengawas negara, karena partai ini juga bagian dari umat, atau representasi dari umat itu sendiri. Partai ini memimpin umat untuk menjalankan tugasnya, memprotes kebijakan negara, mengoreksi dan mengubahnya dengan lisan dan, jika diperlukan, dengan tindakan. Hal ini sejalan dengan fungsi partai yang telah diketahui secara umum, yakni fungsi edukasi (pendidikan), artikulasi (penyuaraan), agregasi (perjuangan kepentingan kelompok dan representasi (perwakilan).

Inilah gambaran partai politik yang memahami peran dan fungsinya, memiliki ideologi serta visi dan misi yang jelas. Jika partai ini eksis, maka meski tidak menjadi bagian integral dalam struktur pemerintahan namun perannya sebagai pengontrol yang kredibel sangat menetukan perjalanan negara. Anggotanya pun akan memahami peran dan tanggung jawabnya di tengah umat. Idealisme partai adalah juga idealismenya, tak akan dengan mudahnya berganti baju partai, kecuali ada kemunkaran dalam partai yang tidak bisa didubahnya.Mereka akan menjadi politisi ulung yang memastikan negara bersama-sama umat tetap berada pada rel Islam yang selurus-lurusnya. Demikianlah, Islam menetapkan.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

 

Oleh : Ahyani R.

(Pemerhati Masalah Sosial, Butur)

  • Bagikan