SULTRAKINI.COM: Kebudayaan Buton adalah salah satu kebudayaan yang dari dahulu hingga sekarang tetaplah eksis diwariskan secara turun temurun oleh leluhur Buton. Berbagai macam adat istiadat di dalam suku ini, dari mulai keunikan bahasa, religi, hukum, upacara adat dan tradisi-tradisi lainnya tetap terjaga hingga kini.
Sebagai sebuah negeri, keberadaan Buton tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni.
Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga, dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.
Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, dan Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M.
Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok, yakni Sipanjonga dan Sijawangkati serta Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu, sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa.
Dilantiknya Wa Kaa Kaa sebagai Ratu, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan pada pertengahan abad ke-16 M. Selama masa pra-Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan.
Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis
Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di nusantara, kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang.
Sejarah Kesultanan Buton tidak bisa dipisahkan dengan kabupaten yang kaya akan aspal ini. Sebagai salah satu kabupaten di jazirah Sulawesi Tenggara, Kabupaten Buton sejak terbentuknya tidak terlepas dari histori kejayaan kerajaan/kesultanan Buton yang diakui eksistensinya sebagai salah satu kerajaaan/kesultanan yang demokratis dan kaya akan aneka ragam budaya.
Pada tahun 1950-an bersama seluruh kesultanan di Indonesia bagian timur menyatakan bergabung dengan NKRI. Kemudian pada awal tahun 1960-an Provinsi Sulawesi Tenggara berpisah dari induknya Sulawesi Selatan. Sebagai daerah eks kerajaan/kesultanan, berbagai tradisi dan budaya tumbuh yang terus terpelihara dalam pola perilaku kehidupan bermasyarakat di semua wilayah Kabupaten Buton.
Beragam tradisi dan budaya tersebut diselenggarakan oleh individu, kelompok, dan masyarakat secara berkesinambungan. Pada tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Buton menginisiasi untuk menyelenggarakan tradisi dan budaya tersebut dalam bentuk event yang disebut Festival Budaya Tua Buton dan mulai diselenggarakan pada 2013 berturut-turut setiap tahun sampai saat ini.
Budaya Buton dan Masa Depan
Kebudayaan Buton
Kebudayaan Buton menggambarkan kehidupan manusia di Buton yang telah memiliki budaya tersendiri dan terpelihara secara berkesinambungan yang telah menjadi pedoman hidup masyarakat. Untuk menghindari hilangnya identitas kebudayaan Buton terhadap generasi muda, pemerintah Kabupaten Buton menyelenggarakan kegiatan kebudayaan secara massal.
Pada penyelenggaraan Festival Budaya Tua Buton 2019 yang merupakan festival ke–7 selalu dikaitkan dengan angka 19. Hal itu dimaksudkan sebagai memori bahwa pelaksanaan event tersebut berlangsung pada tahun 2019.
Festival Budaya Tua Buton 2019
Festival Budaya Tua Buton yang diselenggaralkan sejak 2013 memperlihatkan budaya turun-temurun Buton dalam bentuk konsep seni. Tidak hanya menampilkan keragaman budaya Buton, nilai morilnya dari event tersebut, yakni budaya Buton dari sejarah Buton yang demokratis terlepas dari kondisi multi etnis yang ada di sana ikut tercermin dalam setiap agendanya.
Bertemakan “Budaya Buton dan Masa Depan”, salah satu tujuan utama Festival Budaya Tua Buton adalah memperlihatkan dan mengapresiasikan pesona Indonesia. Selain itu mengeksplor budaya tua yang diturunkan kepada generasi Buton. Berikut rangkaian Festival Budaya Tua Buton pada 2019.
Buton Expo 2019
Salah satu rangkaian festival budaya ini adalah Buton Expo 2019. Event ini menampilkan pameran informatif seputar Buton. Dalam ajang ini, masyarakat disuguhkan informasi dan promosi, serta evaluasi pelaksanaan pembangunan yang sudah dicapai oleh pemerintahan Buton setiap tahunnya. Dengan Buton Expo, para pengunjung bisa mengetahui dan melihat potensi yang dimiliki Buton.
Seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), kecamatan, lembaga non pemerintah seperti perbankan dan dunia usaha lainnya turut serta memamerkan produk-produk inovatif kepada pengunjung.
Lomba dalam Festival Budaya Tua Buton
Lomba Seni Bela Diri
Bela diri bagi orang Buton menjadi sebuah seni pencak khas lokal genius daerah ini. Seni bela diri ini merupakan akulturasi budaya masyarakat Melayu Nusantara yang berbaur dengan ritual kebutonan.
Bela diri bagi orang Buton merupakan pengejawantahan yang mengandung nilai filosofis kedirian dan humanisme orang Buton. Balaba atau Manca, begitu orang Buton menyebutnya, adalah pelengkap diri orang Buton yang selalu bersemanyam dalam jiwa orang-orang Buton.
Dalam rangkaian Festival Budaya Tua Buton 2019, dilombakan Seni Bela diri. Tentu saja hal ini untuk melestarikan Bela diri tersebut. Jenis yang dipertandingkan adalah kaidah atau Soro.
Lomba Dayung Perahu Tradisional
Lomba Dayung Perahu Tradisional atau koli-koli merupakan suatu tradisi pada zaman dahulu yang kembali diangkat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buton guna melestarikan tradisi lokal.
Lomba ini mengingatkan jika masa lampau nenek moyang masyarakat Buton pernah jaya di lautan.
Sebelumnya pada lomba serupa pada 2018, para peserta didominasi para nelayan yang beraktivitas di sekitar Teluk Pasarwajo. Tahun 2019 ini melibatkan wisatawan mancanegara.
Pemilihan La Oti dan Wa Oti
Ada yang berbeda dalam penyelenggaraan Festival Pesona Budaya Tua Buton 2019. Pada tahun-tahun sebelumnya hanya menampilkan ritual Pekandea-kandea, Posuo, Tandaki, dan Pedhole-dhole dan acara puncak Tari Kolosa dengan ribuan penari. Kali ini turut dimeriahkan dengan Pemilihan La Oti dan Wa Oti.
Perhelatan Festival Budaya Tua Buton menjadi agenda nasional yang dilakukan setiap tahunnya untuk mendorong kemajuan pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Buton. Tahun ini digelar ajang pemilihan La Oti dan Wa Oti. Pemilihan itu untuk menghasilkan Duta Buton yang mempunyai wawasan luas baik kepariwisataan, kebudayaan maupun wawasan secara umum yang turut mendongkrak angka kunjungan wisatawan ke Buton.
Hasil pemilihan La Oti dan Wa Oti nantinya akan mewakili Buton di ajang pemilihan tingkat provinsi atau pusat. “La Oti dan Wa Oti itu akan menjadi ikon Pariwisata Buton.
Lomba Permainan Tradisonal
Lomba Permainan Tradisional baru diselenggarakan tahun ini. Event tersebut dimaksudkan untuk menghidupkan kembali kebiasaan orang-orang Buton masa lampau. Lomba permainan tradisional mempertandingkan layang-layang, engrang (Jangkungan), bakiak/terompah kelapa.
Lomba Lagu Daerah dan Tari Tradisional
Lomba ini melibatkan para penari dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Buton. Tari dan lagu yang ditampilkan adalah tarian dan lagu yang dipastikan hampir punah. Pemenang tari dan lagu pada event ini dijadikan sebagai bagian dari tarian massal pada Festival budaya Buton tahun berikutnya.
Lomba Foto
Kompetisi berlangsung tanpa dipungut dibiaya apapun terhadap peserta. Objek foto adalah rangkaian kegiatan Festival Budaya Tua Buton 2019. Seluruh konten yang dikirim menjadi hak milik Pemkab Buton sebagai dokumentasi maupun kepentingan komersial dengan berbagai cara dan di berbagai media yang berhubungan dengan lomba dan promosi lainnya.
Lomba Penulisan Berita (Feature)
Lomba ini terbuka untuk wartawan dari media cetak termasuk surat kabar, majalah, jurnal dan tabloid yang beredar di Indonesia serta media elektronik termasuk kantor berita (newswire) maupun portal berita (news portal); tetapi tidak termasuk media sosial, blog, atau media komunitas/kawasan yang dibuktikan dengan fotokopi/salinan kartu pers (apabila peserta tidak memiliki kartu pers, dapat digantikan dengan surat pernyataan resmi dari kantor media yang bersangkutan).
Karya tulis yang dilombakan berbentuk feature merupakan karya orisinil yang keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, bukan saduran, bukan terjemahan dan tidak tergolong advertorial komersial.
Ritual dalam Festival budaya Tua Buton
Pesona Pedhole-dhole
Festival Dole-dole adalah tradisi tua yang diwariskan secara turun temurun, yang merupakan imunisasi secara alamiah bagi masyarakat Buton. Prosesi Pedole-dole dilaksanakan untuk anak yang berumur di bawah 5 tahun.
Pedole-dole ini biasanya dilengkapi dengan pemberian nama bagi anak. Tradisi Pedole-doledole ini berawal dari masa anak seorang Raja Buton bernama Betoambari sakit-sakitan. Atas petunjuk melalui meditasinya diperoleh jawaban bahwa harus dilaksanakan Pedole-dole terhadap anak tersebut. Setelah dilaksanakan prosesi Pedole-dole, Betoambari sembuh dan tumbuh sehat seperti anak lainnya sehingga raja menginstruksikan agar semua masyarakat di wilayah Buton melaksanakan tradisi itu terhadap anak-anaknya.
Dalam rangka menumbuhkembangkan tradisi Pedole-dole, Pemerintah Kabupaten Buton sejak 2013 mencanangkan penyelenggaran Pedole-dole secara massal sebagai rangkaian pelaksanaan Festival Budaya Tua. Pada tahun 2019, penyelenggaraan Festival Dole-dole berjumlah 219 anak.
Pesona Tandaki (sunatan tradisi Buton)
Di dalam kehidupan sosial masyarakat Buton dikenal berbagai macam ritual yang berhubungan langsung dengan budaya dan kemasyarakatan. Salah satu prosesi ritual yang dilaksanakan masyarakat Buton adalah Tandaki, yaitu tradisi prosesi yang berkaitan sunatan bagi anak laki-laki.
Ritual Tandaki diperuntukan bagi anak laki-laki yang memasuki masa aqil balik yang melambangkan bahwa anak laki-laki tersebut berkewajiban untuk melaksanakan segala kebaikan dan menghindari yang terlarang.
Ritual Tandaki biasanya diselenggarakan oleh keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi, sehingga dalam pelaksanaannya turut diundang keluarga, sanak saudara, kerabat dekat maupun kerabat jauh sedangkan yang kurang mampu dapat dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana yang disebut ‘Manakoi’ dalam pengertian bahwa pelaksanaan tandaki hanya dihadiri oleh segenap anggota keluaraga terdekat.
Kelengkapan pakaiaan Tandaki (Sunatan tradisi Buton) terdiri dari Tandaki(mahkota) yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan berbagai hiasan dan aneka rupa sehingga tampak sebagai lambang kebesaran pemakainya, keagungan, dan kedamaian yang dijunjung tinggi secara ikhlas. Ikat pinggang diukir dengan kalimat tauhid dan sebilah keris sebagai lambang keberanian. Pada tahun 2019 ini Festival Tandaki diikuti 219 anak.
Pesona Posuo
Festival Posuo (Pingitan) adalah tradisi pingitan bagi gadis remaja masyarakat Buton sebelum memasuki usia dewasa, dimana pada masa lampau sejak terbentuknya struktur Pemerintah Kerajaan/Kesultanan di Buton dilaksanakan selama 40 hari, setelah ini menjadi 7 hari, dan saat ini dapat dilakasanakan hanya 4 hari lamanya, yang secara psikis bertujuan untuk membentuk mental dan yang dilarang, sebagai seorang gadis dewasa berdasarkan ketentuan adat istiadat dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Selain pembetukan psikis juga pembentukan fisik, yaitu diajarkan untuk merawat diri, dan berperilaku hidup sehat sehingga tetap tumbuh sebagai seorang gadis yang sehat dan cantik secara alami.
Posuo (Pingitan) bagi masyarakat Buton wajib hukumnya dalam ketentuan adat istiadat, sebelum melangsungkan pernikahan karena apabila seorang gadis akan menikah, sudah dapat dipastikan dipingit lebih awal baru dilangsungkan pernikahan.
Hal ini sebabkan karena Posuo (Pingitan) merupakan forum training kewanitaan untuk mendengarkan nasehat para Bisa (penasehat perempuan) dalam memasuki kehidupan berumah tangga nantinya. Sekaligus diajarkan merawat diri, sehingga setelah memasuki pernikahan akan mampu menjadi istri yang dapat menaklukan hati suami, sehingga diharapkan akan terbentuk kehidupan keluarga yang sakinah.
Pesona Pekande-kandea
Festival Pekande-kandea adalah tradisi masyarakat Buton yang pada zaman dahulu dilaksanakan untuk menyambut para pejuang kembali dari medan pertempuran.
Dalam bahasa Buton sering disebut Bongkaana Tao (merupakan acara pembukaan tahun sebagai doa kesyukuran terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen/rezki yang diperoleh selama satu tahun). Juga dapat dilaksanakan setelah melaksanakan hajatan (pesta syukuran) sesuai dengan ketentuan adat istiadat, misalnya melaksanakan Kawia (pernikahan), Posipo (peringatan 7 bulan kehamilan), Tandaki (bagi anak laki-laki yang memasuki akil baliq), Posusu (bagi anak perempuanyang memasuki usia remaja), dan Posuo (remaja putri yang beranjak dewasa). Bahkan pada acara-acara peringatan meninggalnya seseorang pun kadang diakhiri dengan Pekande-kandea walaupun dalam skala kecil.
Pekande-kandea yang berarti makan bersama dengan duduk-duduk bersila berhadap-hadapan antara penjaga talang dengan pengunjung/tamu, yang diantarai dengan talang atau dulang (tempat makanan yang berkaki) yang diisi dengan berbagai macam makanan tradisional, seperti Lapa-lapa, nasi bambu, nasi ketan, nasi merah (padi ladang), ikan (bakar dan berkuah), masakan ayam (baik yang dibakar, goreng maupun berkuah), Cucur, Epu-epu, Onde-onde, Baruasa, Bolu, dan lain-lain.
Tata cara pelaksanaan adalah talang dijaga oleh gadis yang berpakaian adat, menyuap tamu yang hadir dan sebagai balasan tamu akan barter (disawer) untuk memberi sesuatu kepada gadis tersebut. Pada tahun ini Festival Pekande-kandea menampilkan 2.019 talang/dulang.
Pesona Tenun Kain Buton
Bagi orang Buton, kain tenun mampu menjadi praktik sosial bagi masyarakat Buton karena dua hal. Pertama, tenun Buton merupakan pengejawatahan dari penghayatan orang-orang Buton dalam memahami lingkungan alamnya. Ini dapat dilihat dari corak motif yang terdapat pada tenun Buton. Hal tersebut dapat diamati melalui penggunaan bahasa kearifan lokal dan corak kain tenun. Alat tenun tradisional (parewana tanua) terdiri dari Pasaana Parewa, Tapua, Yaena Tapua Dopi, Tanekura, Kakunci, Jangka, Balidha, Kaju dan Kasoli.
Corak kain Buton menggunakan nama flora dan fauna yang ada dalam kehidupan masyarakat Buton dengan mengandung maksud sebagai pesan moral untuk peletarian dan menjaga keseimbangan alam.
Kedua-tenun Buton sebagai identitas diri dan sosial. Melihat motif pakaian yang dikenakan olah wanita Buton misalnya, kita bisa mengetahui apakah dia menikah atau belum. Pakaian yang dikenakan kita juga dapat mengetahui apakah seorang perempuan dari golongan awan atau bangsawan dengan melihat tenun yang dipakai orang Buton, kita dapat mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat Buton.
Tenun Buton merupakan simbol kedirian orang Buton, maka sewajarnya jika orang Buton menjaga agar simbol jati diri sosialnya tetap lestari. Untuk itulah Pemerintah Kabupaten Buton pada Festival Budaya Tua Buton tahun 2019 menampilkan Festival Tenun Tradisional Buton dengan menghadirkan 119 penenun asli dari berbagai pelosok Buton.
Tari Kolosal
Tari Ponare
Tari ponare menggambarkan aktivitas mempertahankan daerah dari gempuran musuh. Menggunakan peralatan perang berupa tombak dan perisai dari kayu yang berbentuk limas, tari ini diselangi atraksi pencak silat antara dua orang. Gerakan tari ini adalah tarian perang. Nilai moril yang tercermin dari Tari Ponare adalah sebagai gambaran bahwa masyarakat Buton siap membela negara dan menghargai pahlawannya. Tarian ini juga mengandung makna para pemuda Buton merupakan pemuda yang gagah berani, tanggung jawab, pekerja keras, dan berani membela kebenaran.
Tari Badenda
Tari Badenda melambangkan gerak kegembiraan bagi masyarakat Buton. Tariannya bergerak lincah sambil mengikuti nyanyian dan suara gendang. Tarian ini perlambang rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki dari sang pencipta.
Badenda dipengaruhi Tari Melayu yang dibawah oleh pelaut-pelaut Buton asal Binongko, kemudian diharmonisasi dengan alam dan kehidupan masyarakat Buton. Tari Badenda mencerminkan kegembiraan masyarakat nelayan Buton asal Binongko dalam menghadapi terjangan ombak demi menghidupi keluarga.
Tradisi ini menjadi sarana berkumpul keluarga dan juga menciptakaan kebersamaan yang akrab dalam hidup bermasyarakat.
Tari Badenda biasanya diadakan oleh anak muda untuk menciptakan nuansa kekeluargaan pada momen-momen tertentu seperti Idul Fitri, Hari raya kurban, termasuk memeriahkan acara pernikahan, wisuda, maupun kumpul-kumpul keluarga. Lagu-lagu yang biasanya dibawakan adalah lagu-lagu yang lincah dan semangat.
Tari Alionda
Pada masa lampau sekitar 1691, Kulisusu masih merupakan daerah permukiman yang kedudukannya hidup secara terpisah-pisah tanpa seorang raja yang ada hanya kepala suku. Kondisi semacam ini memungkinkan pertahanan dan keamanan masyarakat Kulisusu pada waktu itu boleh dikata tidak ada, sebab sifat kegotongroyongan masyarakatnya pun tidak tampak bahkan karena lebih senang tinggal sendiri dan mengelola tanamanya. Keadaan demikian merupakan pola hidup tradisional masyarakat pedesaan dimana saja khususnya Kulisusu.
Kedatangan bangsa Belanda di Maluku tersebar di pelosok–pelosok Maluku yang juga sampai di daerah Tobelo yang merupakan awal terjadinya kekacauan di Kulisusu dan terbentuknya seni Tari Alionda.
Dengan terbentuknya organisasi sosial masyarakat Kulisusu membawa mereka untuk saling berkomunikasi yang menciptakan suasana harmonis sehingga tercipta kesenian Alionda. Namun pada masa itu kesenian Alionda belum bernama Alionda permainan ini belum punya nama khusus tapi masih merupakan permaianan atau pekaraa raha. Seringkali bila selesai panen mereka selalu berkumpul dan berpegangan tangan yang di ayun-ayunkan sambil bernyanyi atau mekabanse. Lama kelamaan hal ini menjadi suatu kebiasaan.
Alionda awalnya menghilangkan rasa capek, lelah, dan lapar. Mereka kemudian mulai menghibur diri dengan bernyanyi dengan lagu menceritakan tentang keadaan mereka yang sangat menyedihkan sambil terus berpegang tangan untuk membantu satu sama lain, mereka terus bernyanyi sepanjang jalan. Di dalam lagu mereka tersebut mulai di sebut– sebut nama Alionda.
Kata Alionda merupakan bahasa Kulisusu yang digunakan oleh nenek moyang masyarakat Kulisusu pada masa lampau yang mengartikan kebersamaan dan kegotongroyongan.
Dalam masa pemerintahan Raja La Ode-ode mulailah berdatangan para mubaliqh Islam yang antara lain dikenal dua tokoh yang langsung datang dari Arab, yakni Syek Saldi Rabba atau Syarif Muhammad Al Idris yang mendasarkan ajarannya dengan syariat Islam sebagai landasan pertama dan jalur ilmu tersebut terikat sebagai jalur kedua.
Saluran islamisasi yang digunakan pada saat mengembangkan Islam adalah rabba (biola) sebagai jalur kesenian kemudian masyarakat Kulisusu menemukan gendang–gendang, gong, dan lain-lain. Kemudian alat-alat ini digunakan pada acara-acara Alionda. Kesenian ini mulai mendapat perkembangan yang tadinya permainan Alionda tanpa diiring alat- kesenian. Setelah ditemukannya gendang, gong dan yang lainnya mulai diiring alat-alat tersebut.
Pemkab Buton yang dinakhodai Samsu Umar Abdul Samiun dan La Bakry yang lebih dikenal pasangan duet Umar Bakry mulai menginisiasi event ini pada 2013. Pengahargaan Muri juga diperoleh Pemkab Buton melalui event tersebut.
Untuk melibatkan semua stackhoolder, digelar juga Buton Expo sebagai rangkaian Festival Budaya Tua Buton untuk menggerakan dunia usaha dan perbankan yang ada di kawasan jazirah Kepulauah Buton. (Adv)
Laporan: La Ode Ali
Editor: Sarini Ido