Fikiran Petani Ada di Mata

  • Bagikan

Oleh: Moch. Yayath Pangerang (Direktur Eksekutif Nusa Celebes Center)

Judul Buku :  Siapa Mau Jadi Petani?

Penulis :  H. Achmad Safei Hanise, SH. MH.

(Hendra Sipayung, co-wiriter)(Adinto F. Susanto, editor)

Penerbit:  PT.Grasindo (Gramedia Grup), Jakarta, Indonesia

Cetakan I :  Mei – 2016

ISBN :  978-602-375-301-7

SIAPA pun yang mengetahui, bahwa ada seorang pimpinan daerah – berlatar belakang ilmu hukum level magister – menulis buku tentang petani, akan tersentak, atau setidaknya tercenung berfikir. Pada faktanya seorang Haji Ahmad Safei, SH, MH – Bupati Kolaka, telah menulis buku berjudul: “Siapa Mau Jadi Petani?” Penerbitnya pun tidak tanggung-tanggung, itu diterbitkan oleh PT. Grasindo – kelompok penerbit Gramedia yang terkenal dengan jaringan buku-buku popular bermutu tinggi.

Ada kesan yang kuat, bahwa Ahmad Safei ingin curhat atas kegundahan hatinya yang rasanya sudah cukup lama menggulana. Kalimat tanya yang menjadi tajuk bukunya ini, seakan ingin menantang pembacanya untuk lebih jauh mendalami peran petani yang disebutnya begitu penting artinya bagi kehidupan sebagian besar umat manusia di muka bumi ini.

Dengan gaya bahasanya yang menghibur, Safei mengingatkan betapa kehadiran kaum petani seringkali raib dari kesadaran banyak orang, karena toh dengan mudah mereka dapat membeli kebutuhan pokok mereka di pasar-pasar secara bebas. Tetapi pernahkah orang membayangkan, seandainya para petani punya kebiasaan mogok bekerja? Ya, jika itu terjadi, maka semua orang akan panik, karena harga-harga melambung tinggi, dan bahan makanan hilang dari pasaran.

Lagi-lagi Safei dengan kalimat lucu, mengungkap persepsi publik dalam memandang profesi yang selama ini memandang sebelah mata profesi petani. Padahal, seorang petani pantas diposisikan sebagai selebritis atau superhero yang pantas dikagumi. Tetapi, pernahkah terlihat ada “kegilaan memuja” sebagaimana yang ditunjukkan warga terhadap artis, untuk – misalkan — beramai-ramai berfoto selfie bersama seorang Ridwan – petani Kolaka yang jelas-jelas karena jasanya telah berkontribusi penting dalam mengisi piring makan mereka sehari-hari?

******

Pada bagian lain dari bukunya, Ahmad Safei memberikan gambaran ringkas dan popular tentang sejarah kaum petani yang cukup komprehensif, baik dalam ruang lingkup di seluruh muka bumi dari masa ke masa, maupun tentang sejarah kaum petani di Indonesia. 

Bupati Kolaka yang punya pengalaman panjang sebagi birokrat ini, rupanya tidak kurang wawasan teknokratisnya tentang sejumlah kerumitan yang dialami seorang petani dalam totalitas produktivitas yang dilakoninya. Menurut Safei, seorang petani memiliki hati yang begitu romantis, karena punya kebiasaan untuk selalu merayu tanaman yang dipeliharanya.

Manifestasi cinta petani terhadap pekerjaan dan apapun yang ditanamnya, dilakukan dengan sepenuh jiwa dan raganya. Bagaimana orang-orang ini fokus mengamati kesekitarannya dalan merekayasa meniru lingkungan asli tempat komoditas yang dirawatnya bisa tumbuh dengan baik. Menurut Safei, pada dasarnya,  mereka pun sangat trampil mengendalikan keseimbangan ekosistem, agar tidak terjadi malapetaka karena eksploitasi yang berlebihan, dimana itu secara terus menerus mengalami dinamikanya sendiri.

Ahmad Safei, dalam bukunya ini, mengungkap adanya tantangan pengendalian mutu hasil pertanian yang sungguh memerlukan “intervensi” pemerintah dan para pemerhati untuk membantu para petani. Rasanya, inilah yang sedang berkecamuk di dalam fikirannya sebagai pemimpin daerah yang sedang melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

Apresiasi pun telah dituliskan oleh Menteri Pertanian – Dr. Ir. H. Andi Amran Sulaiman, MP. terhadap insiatif Ahmad Safei untuk menerbitkan buku ini sebagai sebuah langkah besar dan menawarkan sesuatu yang mendalam. Menurut Amran, terobosan Safei ini, akan memandu pembacanya untuk mengurangi banyak kesalahpahaman terhadap petani selama ini. Menurutnya, banyak pengkaji tidak sepenuhnya mengenal dan mampu menjelaskan objek kajiannya sesuai dengan realitasnya. 

Amran pun menyebut fenomena itu, dengan mengutip istilah “sosiologi ketidaktahuan” (sociologi of ignorance) yang dikemukakan ilmuan W. F. Wertheim, dimana seorang pengkaji dengan sengaja melupakan atau “tidak mau tahu” tentang masyarakat miskin dan marjinal. Menurut Amran, isi buku ini merupakan antitesis dari sosiologi ketidaktahuan itu, dimana itu menjadi menarik karena itu diprakarsai oleh seorang Bupati.

Sepanjang masa, memang banyak upaya pengkajian tentang kemiskinan dan keterpinggiran petani yang bisa dibaca orang. Salah satu yang menarik perhatian, adalah debat antara Samuel Popkin dan James Scott tentang Petani di Asia Tenggara. Popkin dengan bukunya The Rational Peasant mengambil kasus kehidupan petani di Vietnam, sedangkan James Scott dalam bukunya The Moral Economy of The Peasant, banyak membicarakan kasus di Birma. 

The Rational Peasant banyak disebut orang sebagai anti-dote terhadap karya Scott yang mengambil pendekatan ekonomi moral untuk memahami persoalan-persoalan para petani. Scott menyatakan bahwa petani menganut gaya hidup gotong royong, tolong menolong dan melihat persoalan sebagai persoalan yang koletif. Sikap ini disebabkan karena struktur kehidupan petani yang terjepit, dan harus menyelamatkan diri. 

Sejak tahun 1989,  Scott (Prisma, Edisi 9) telah mengenali, bahwa para petani juga menganut asas pemerataan, dengan pengertian membagikan secara sama rata apa yang terdapat di desa, karena mereka percaya pada hak moral para petani untuk dapat hidup secara cukup. Karena itu dikenallah sistem-bagi hasil, selamatan yang dilakukan oleh para petani kaya sebagai tanda membagi rezeki dengan komunitas desa. Intensifikasi pertanian, komersialisasi hasil-hasil agraria dianggap sebagai ancaman oleh para petani.

Popkin membantah pendapat ini dengan mengemukakan bahwa yang berperan terhadap perubahan-perubahan di desa bukanlah kolektivitas penghuni desa, melainkan pribadi para petani itu sendiri. Dia berpendapat bahwa Scott terlalu meromantisir aspek kehidupan gotong royong dan hubungan antara patron-klien. Ia menunjukkan adanya fenomena free-riders (penunggang kuda gelap) di desa yaitu orang-orang yang tidak mau bekerja sama tetapi selalu menikmati hasil-hasil kerja kolektif itu, dan sistem bagi hasil, menurut Popkin, lebih disebabkan karena keengganan pemilik tanah untuk membiarkan petani menjual hasilnya sendiri ke pasar.

Popkin, kemudian mengemukakan persetujuannya terhadap Revolusi Hijau. Dalam pandangannya, Revolusi Hijau lebih banyak membawa dampak positif bagi Asia dari pada dampak negatif. Ia sama sekali menolak pendapat bahwa Revolusi Hijau menyebabkan petani meninggalkan desa dan menuju kota dan mengakibatkan banyaknya pengangguran di kota serta tumbuhnya kelompok  miskin di kota. 

Pendapat semacam ini menurut Popkin, amat dipengaruhi oleh pemikir Eropa yang sudah lama mati seperti Marx dan Tawney. Lebih jauh lagi ia menyatakan bahwa petani adaah orang-orang yang rasional, mereka seperti halya kebanyakan ingin menjadi kaya. Dan kesempatan ini bisa didapatkan seandainya petani pemilik akses yang lebih leluasa terhadap pasar. Karena itu ia mengajukan suatu pemikiran untuk menghapuskan pengelolaaan pemerintah terhadap fasilitas-fasilitas yang menyangkut hidup orang banyak, seperti transportasi, pasar sehingga petani dapat menjual hasil pertaniannya sendiri ke pasar tanpa perantara.

Pendapat bahwa komersialisasi pertanian akan menyebabkan hanya sebagian saja orang menjadi kaya sementara, ditolak oleh Popkin. Komersialisasi pertanian akan memperbaiki harkat hidup orang banyak. Dahulu para pemilik tanah melarang menjual hasilnya ke pasar karena mereka takut petani akan menguasai pasar,dan hilanglah hubungan petani dan kepemilikan tanah.

Popkin percaya bahwa bila fasilitas-fasilitas yang selama ini dikelola oleh pemerintah karena menyangkut hidup orang banyak, dibuat lebih terbuka, maka banyak orang akan mendapatkan manfaatnya. Ia sama sekali tidak menyetujui pendapat bahwa dengan dibiarkannya fasilitas tersebut dikomersialisasikan akan ada   sebagian orang yang akan terus mendapatkan fasilitas dan menjadi kaya  sedangkan sebagian lagi akan terus menerus miskin. 

Popkin menyatakan bahwa dalam hal ini persoalannya bukanlah jurang antara miskin dan kaya tetapi bagaimana memperbaiki kondisi golongan miskin. Persoalan jurang akan terus menerus ada dalam sistem pemerintahan manapun. Karena itu jauh lebih penting membangun fasilitas-fasilitas yang dapat memperbaiki hajat hidup orang banyak seperti membangun sekolah, membangun rumah sakit membangun jembatan dan lain-lain, dari pada memikirkan bagaimana memperkecil jurang diantara kaya dan miskin ataupun mendistribusikan yang lebih banyak kepada semua lapisan masyarakat. 

Kata Popkin yang kini bekerja sebagai associate professor pada University of California – San Diego, untuk bidang ilmu politik dan juga pernah bekerja sebagai konsultan untuk kampanye presiden Amerika Serikat, menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada suatu sistem sosial politik manapun yang dapat menjamin pemerataan seperti yang dicita-citakan. Sistem demokrasi-liberal sekalipun hanya berhasil mendistribusikan fasilitas-fasilitas secara geografis dan bukannya secara merata ke semua lapisan masyarakat.

*********

Apakah Ahmad Safei pernah menyelami atau bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh W. F. Wertheim seperti yang dikutip oleh Menteri Amran, ataupun wacana yang dikembangkan Samuel Popkin dan James Scott? Wallahualam. Tetapi bagian-bagian akhir dari buku yang “enak dibaca dan perlu” ini, secara nyata dan praktis mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan pemikiran para ahli tersebut.

Bagaimana Safei berkisah tentang cara berfikir petani yang disebutnya dengan ungkapan “fikiran petani ada di mata” itu cukup unik, serta rasanya didasari oleh hasil pengalaman nyatanya dalam bersentuhan dengan petani. Keberpihakan Safei juga secara tegas dinyatakan dalam bagian yang menegaskan bahwa petani wajib untuk dilindungi. Sementara itu, pada ujung dari bukunya, Safei meniscayakan adanya peluang untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas ini dengan simbolisme “petani berdasi”.

Pada prinsipnya, buku ini menjadi penting artinya bagi publik untuk menyelami kehidupan para pahlawan kehidupan yang kini masih dipersepsikan orang sebagai bagian yang selalu berada dalam lingkaran kemiskinan,  tertinggal dan terkebelakang.  Ahmad Safei, melalui buku ini, rasanya telah menjalankan fungsi menghubungkan sesuatu yang selama ini berdiri sendiri (connecting the dot) tentang kompleksitas pertanian kita. Apakah ini adalah suatu pertanda bahwa Bupati Ahmad Safei sedang melakukan sesuatu yang paling sulit dilakukan oleh seorang pejabat politik atau pejabat negara, yaitu: mengedukasi rakyat? Mudah-mudahan. Terimakasih pak Safei, terimakasih pak Bupati. Bravo.

  • Bagikan