Gerakan 4 November, Murni Reaksi Penistaan Agama Ataukah Ada Unsur Gerakan Politik?

  • Bagikan
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam UNISSULA Program Studi Ahwal Syakasiyah sekaligus aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Jawa Tengah, Semarang.Foto: Ist

Berkenan dengan gerakan 4 november 2016 yang di lakukan Ormas Islam di daerah khusus istimewa Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia, tanpa terkecuali Aktivis muslim Semarang asal Sulawesi Tenggara yang berangkat ke Jakarta 3 november kemarin adalah salah satu bentuk reaksi dari statement gubernur petahana daerah khusus istimewa Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada akhir September lalu di kepulauan seribu tentang pernyataannya “jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan, di bohongin pake surat Al-Maidah 51 macem macem itu. itu hak bapak ibu”. ucapan Ahok itu yang sampai hari ini menuai reaksi dan prahara hingga memicu konstelasi politik di ibu kota Negara kian memanas. tak bisa dipungkiri jika momentum ini sangat berpotensi di jadikan lahan subur multi kepentingan, ibarat dua sisi mata pisau yang dapat digunakan memotong juga dapat melukai tuannya sendiri dalam hal ini ialah “siapa” oknum yang menggulirkan isu SARA? entah Ahok sebagai tertuduh ataukah Ahok sendiri yang menuduh kalangan umat islam yang menggulirkan isu SARA.

Memang kehadiran berbagai ragam fenomena dan dinamika Islam kekinian telah banyak menghabiskan analisis dari pemerhati terutama kaum intelektual dalam menguak misteri tentang pergerakan, politik, fundamentalisme bahkan radikalisme diinternal dunia Islam yang tersembur dalam perubahan sosial dewasa ini.

fenomena fenomena ini selalu menjadi diskursus aktual yang tidak pernah membosankan untuk dibicarakan baik dalam eksposing media maupun dalam ruang-ruang diskusi antar organisasi yang digelar. hal ini membuktikan adanya identifikasi yang khas terkait dengan fenomena khas 4 november, bahkan tak terelakan kekhasan itu melahirkan determinasi determinasi tersendiri dari berbagai pihak.

Islam sejak kelahirannya 15 abad yang lalu tak pelak menjadi inspirasi bagi kebanyakan penganutya dalam mewujudkan impian indah tentang masyarakat  yang adil dan berperadaban Islam dalam penampilannya yang universal dibawah kepemimpinan Islam. namun dalam dinamikanya, persinggungan Islam dengan kebudayaan kebudayaan yang ada di dunia khususnya di Indonesia yang multikultural tidak selamanya berakulturasi secara akomodatif karena pada kenyataannya tak mampu menghindari ketegangan ketegangan teologis, sosiologis, psikologis dan juga politis. ini semua masuk dalam sebuah kurva konsepsi awal mengenai Islam sebagai agama kasih sayang, santun dan memiliki orientasi pembangunan peradaban dan perdamaian umat manusia.

Sebagai sebuah sistem kepercayaan, Islam sendiri secara internal berproses secara dinamis beragam sesuai dengan konteksnya masing masing. proses ini dapat dipastikan akan menemukan korealsi satu sama lain, baik dari aspek religiutasnya  aspek sosial-kultural, maupun dari aspek politiknya. sementara itu sebagai sistem komunal sekaligus sebagai umat mayoritas di Indonesia, para pemeluk Islam menghadirkan ekspresi ke-Islaman yang varian. banyak faktor yang mempengaruhi ekspresi politik umat Islam ketika berhadapan dengan realitas sosial dan politik yang berkembang.

Dilain sisi Negara sebagai sebuah institusi resmi politik pun ketika berhadapan dengan gerakan politik Islam seolah menjadi terkooptasi, atau dengan ungkapan lain seolah terjadi hegemoni agama terhadap Negara yang dapat menimbulkan ketegangan teologis dan politis jika tidak disikapi secara fair, kompetitif, dan rasional.

Sebab pada dasarnya, Islam dan Negara dapat berdialog secara santun dan cantik sepanjang keduanya menyadari posisi dan kompetensinya masing-masing,. moral dan kepercayaan adalah wilayah khas agama, sedangkan power dan kekuasaan memang telah sepantasnya milik Negara, sehingga dalam dataran ini, agama dan Negara diharapkan mampu bekerja sama dalam membangun sebuah nation character buildings dengan agama sebagai faith forces dan Negara sebagai power forces.

Oleh karena itu, fenomena fundamentalisme dan gerakan 4 november 2016 adalah sebuah ekspresi yang tak terlepas dari gerakan politik Islam yang berujung pada upaya ideologisasi Islam secara subtantif, terlebih karena persinggungannya dengan aspek politik dan kekuasaan yang multi kepentingan.

 Memang kita tak berhak menyusun anasir anasir yang tak mendasar namun kita hanya perlu melihat dan menyikapi gerakan 4 november ini secara jernih dan objektif, setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi gerakan ini. yang pertama, adalah  gerakan revavilisme islam yang memiliki semangat politis demi mencapai cita cita kebangkitan islam. ini dapat dianalisir dengan mendasarkan pada gerakan gerakan yang dipimpin pemuka agama, intelektual, dan gerakan oposisi untuk mengkritik legitimasi rezim yang sedang berkuasa. kedua, adalah menurunnya konsentrasi kekuatan Negara. fenomena ini dijabarkan dengan melemahnya posisi “kenegaraan” dalam mengambil kebijakan menyelesaikan permasalahan ini, hingga dikhawatirkan berujung prhara bagi masyarakat muslim yang sesungguhnya memiliki cita cita ideal membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban.

wallahu a’lam bishshawwab

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam UNISSULA Program Studi Ahwal Syakasiyah sekaligus aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Jawa Tengah, Semarang.

  • Bagikan