SULTRAKINI.COM: JAKARTA — Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, atas penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Dalam pokok perkara menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Hakim Tunggal I Wayan Karya saat pembacaan putusan akhir praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (12/10/2016).
Di luar pengadilan, sejumlah orang yang tergabung dalam Sulawesi Tenggara Menggugat KPK (Sulam KPK) melakukan aksi demonstrasi, sehingga menyebabkan jalan depan PN Jakarta Selatan tersendat, baik yang ke arah Cilandak maupun ke Kemang.
Dalam sidang itu, I Wayan Karya juga menolak seluruh dalil dalam permohonan yang diajukan Nur Alam melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, dan memerintahkan pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar nihil.
“Membayar biaya perkara sebesar nihil. Demikian putusan kami,” kata I Wayan Karya.
I Wayan Karya menilai penetapan tersangka sudah sesuai peraturan yang berlaku.
Dua alat bukti permulaan yang dimiliki KPK untuk meningkatkan status Nur Alam dianggap hakim sudah terpenuhi.
Sedangkan belum diperiksanya Nur Alam sebelum ditetapkan sebagai tersangka, tidak membuat tindakan KPK dipandang menyalahi prosedur sebab sebelumnya KPK telah beberapa kali memanggil politisi Partai Amanat Nasional tersebut.
Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan surat perintah penyidikan KPK pada 15 Agustus 2016 karena diduga melakukan perbutan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Dia mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.
Nur Alam disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.