Hadapi Revolusi Industri dengan Persatuan dan Kerukunan dalam Local Wisdom

  • Bagikan
Ilustrasi (sumber foto cashbac.com)
Ilustrasi (sumber foto cashbac.com)

Hari ini, 17 Agustus 2019, Republik Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-74. Sejak merdeka 17 Agustus 1945. Bendera merah putih berkibar-kibar seirama suka cita yang merekah di mana-mana dalam rangka peringatan kemerdekaan, mulai doa bersama, karnaval, hingga berbagai perlombaan khas 17-an.

Kita merdeka karena kekuatan persatuan dan kerukunan semua elemen yang ada saat itu. Pejuang bersatu padu dengan masyarakat mengangkat bambu runcing untuk mengusir penjajah. Mereka rukun untuk satu kepentingan, yakni Merdeka!

Sudah 74 tahun kita merdeka dari kolonialisme. Kekayaan bangsa ini tidak lagi dirampas dan dipindahkan ke negara penjajah. Secara fisik, bangsa Indonesia tidak lagi berhadapan dengan tentara penjajah yang menindas masyarakat kita.

Itulah makna merdeka di satu sisi, namun di sisi lain bangsa ini juga harus mampu merdeka dari penjajahan ekonomi dan penjajahan sumber daya alam, misalnya. Penjajahan dalam arti berbeda dengan zaman kolonialisme, melainkan suatu penjajahan baru terkait persaingan antar negara di era globalisasi yang ditandai oleh revolusi industri.

Bagi negara yang tidak siap maka mau tidak mau akan mengalami penjajahan secara tidak kentara. Akan tertindas oleh negara yang menguasai teknologi, negara yang mempunyai talenta-talenta hebat sebagaimana diungkapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-74 Proklamasi Kemerdekaan RI di depan sidang bersama DPD dan DPR RI di Jakarta pada 16 Agustus 2019 bahwa saat ini kita berada dalam dunia baru, dunia yang jauh berbeda dibanding era sebelumnya.

“Persaingan semakin tajam dan perang dagang semakin memanas. Antar-negara berebut investasi, antar-negara berebut teknologi, berebut pasar, dan berebut orang-orang pintar,” kata Joko Widodo mengingatkan kita semua.

Menjawab permasalahan tersebut, maka setiap daerah harus melakukan peran sesuai potensi dan kearifan lokal (local wisdom) yang mampu mengendalikan dan memberi arah pada perkembangan di era globalisasi tersebut. Daerah harus menjadi landasan pijak bangsa untuk menuju negara yang maju, negara yang berdaya saing dengan bangsa-bangsa lain.

Sumbangsi sederhana daerah, seperti Provinsi Sulawesi Tenggara misalnya, adalah mengukuhkan kembali rasa persatuan dan kerukunan antara masyarakat dengan pemerintah, antara sesama aparat pemerintah, atau antara sesama masyarakat.

Kita tidak terlalu sulit untuk melakukan hal tersebut karena daerah ini mempunyai kearifan lokal di hampir setiap suku bangsa yang ada di wilayah Sultra. Misalnya pada suku Tolaki mempunyai budaya kohanu (malu) dan merou yakni budaya sopan santun dan tata pergaulan. “Inae merou nggoieto ano dodio toonu merou ihanuno, barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain maka orang lain akan bersikap santun pula kepadanya”.

Demikian pula dengan suku Moronene yang mempunyai filosofi kehidupan metokia (bersahabat) dan tanduale (mengikat tali persaudaraan). Atau masyarakat Muna memiliki kesucian rasa dan akhlak pada falsafah pomaa-maasiaka (saling cinta-mencintai), popia-piara (saling abdi-mengabdi) dan pomae-maeka (saling takut-menakuti).

Sedangkan masyarakat Buton memiliki kearifan lokal berupa filosofi pobinci-binciki kuli (saling cubit mencubit kulit), poangka-angkataka (saling utama-mengutamakan), pomaamaasiaka (saling cinta-mencintai), popia-piara (saling abdi-mengabdi), dan pomae-maeka (saling takut-menakuti).

Demikian pula etnis Bali, Bugis, dan daerah lain di Indonesia sudah pasti mempunyai kearifan lokal yang bila diterapkan dalam kehidupan modern yang ditandai dengan perkembangan teknologi digital dapat menangkal segala bentuk fitnah, ujaran kebencian, dan bentuk-bentuk hoax lainnya yang dapat mengganggu stabilitas bangsa yang sementara fokus dalam pembangunannya.

Kekuatan nilai-nilai budaya tersebut sebagai suatu pandangan yang mencerminkan sikap dan kepribadian bangsa, jika digunakan sebagai spirit pembangunan daerah untuk menopang kemajuan bangsa dalam menghadapi globalisasi, termasuk pasar bebas maka Insya Allah negara ini akan mampu bersaing di dunia internasional.

Talenta-talenta yang dimemiliki bangsa dengan senantiasa berpegang pada nilai-nilai kearifan lokal, utamanya pada budaya toleransi yang disemangati oleh rasa persatuan dan kerukunan maka reputasinya akan diperhitungkan di dunia internasional.

“Itu yang harus kita siapkan. Sekali lagi kita harus semakin ekspansif, from local to global,” sebagaimana kata Presiden Joko Widodo. ([email protected])

 

  • Bagikan