SULTRAKINI.COM: JAKARTA – Sayembara Desain Arsitektur Nusantara 2016 memang sudah berakhir dan diumumkan 25 Oktober 2016 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona Kemenpar. Tiga lembaga yang berkolaborasi menggelar acara itu antara lain Kementerian Pariwisata, Badan Ekonomi Kreatif dan PT Propan Raya. Jawara untuk arsitektur homestay desa wisata di kawasan Borobudur dimenangkan Aditya Wiratama yang dibantu dua anggota tim, Rizky Rachmadanti dan TB Dimas Dianggara Putra. Karya emasnya, berjudul Gnomon Urip.
Darimana ide itu berawal? Semua diambil dari Candi Borobudur, sebuah World Cultural Masterpiece yang sudah resmi tercatat oleh UNESCO. “Borobudur adalah
kompleks candi terbesar di dunia. World class tample. Itu sebabnya kami mengambil banyak ide dari sana,” ungkap Aditya Wiratama, Ketua Tim Desain Homestay Destinasi Borobudur, Minggu (4/11).
Eksplorasi pun dilakukan. Dan semuanya di luar kebiasaan. Kecenderungan arsitek lebih mengambil unsur dari gubahan bentuk arsitektur lokal dan hal-hal yang berupa fisik. Tapi Adit justru memilih untuk mengambil unsur-unsur yang ada di Borobudur. Adit dan timnya berani memasukkan unsur penggunaan Borobudur dalam ilmu astronomi seperti untuk mengetahui waktu, cuaca dan sebagainya ke dalam rancangan homestay desa wisatanya.
“Kami terapkan dengan membuat ”permainan” akan waktu dan bermacam lapisan aktifitas. Kami ingin para pengunjung dapat memanfaatkan waktunya untuk beraktifitas dengan baik saat menginap di sekitar Borobudur. Selain itu, kami juga menambahkan beberapa unsur lain, seperti penggunaan punden berundak dan material lokal,” kata Adit.
Lokasi yang dipilih? Desa Wanurejo. Alasannya simpel. Wanurejo dipilih lantaran desa ini adalah gerbang untuk menuju Borobudur. “Setiap wisatawan nusantara dan mancanegara pasti lewat Wanurejo saat berwisata ke Borobudur. Sangat strategis. Selain itu, desa ini memang sudah “tourist friendly.” Lngkungannya sudah sangat mendukung karena banyak gelar budaya yang digelar setiap tahun oleh sembilan dusun yang ada di desa ini,” ungkap pria berkacamata itu.
Selain lokasi, hal lain yang dicermati Adit dan timnya adalah karakteristik bangunan di sekitar Borobudur. Tipologi bangunan semacam komplek perumahan yang dihuni oleh satu keluarga secara turun temurun ikut dipelajari. Pengaruh terhadap ilmu pengetahuan ikut diperhitungkan. Hasilnya? Gnomon Urip pun tercipta. Inilah judul karya yang dipilih Aditya Wiratama bersama dua anggota tim, Rizky Rachmadanti dan TB Dimas Dianggara Putra.
“Borobudur ternyata tidak hanya berfungsi sebagai tempat wisata dan ibadah. Namun juga sarat dengan ilmu pengetahuan. Di sana ada unsur ilmu astronomi dimana terdapat gnomon sebagai penanda waktu. Dan penanda waktu itu kami masukkan ke dalam desain bangunan,” ulas Adit.
Konsep lain yang ikut dipikirkan adalah penahapan aktifitas. Adit dan timnya ingin memperkaya pengalaman pengunjung saat menginap di sekitar Borobudur. Kamar pengunjung pun diset di lantai dua. “Jadi bila ingin beraktifitas seperti makan dan mandi, pengunjung harus turun ke penghuni rumah. Akan ada banyak interaksi dengan sang pemilik rumah. Saat keluar rumah, pengunjung juga bisa beraktifitas di pekarangan rumah keluarga besar dan berinteraksi dengan keluarga besar. Di lapisan berikutnya, pengunjung bisa beraktifitas di dalam desa. Bisa melihat sawah-sawah dan aktifitas warga seperti bertani dan bercocok tanam. Gong-nya ya menyaksikan mahakarya world culture, Candi Borobudur,” terang Adit.
Selain itu ada konsep punden berundak yang diimplementasikan ke dalam bangunan, Punden berundak adalah bentukan bertingkat yang memusat ke tengah. Pada zaman dahulu, punden berundak dijadikan pemujaan roh nenek moyang. Dewasa ini banyak pula digunakan untuk bangunan ibadah seperti di Masjid ataupun di Candi Borobudur. “Ada tiga tingkatan yang kami masukkan ke dalam desain. Tiga tingkatan tersebut diibaratkan seperti fase kehidupan, yaitu saat kita masih di dalam kandungan, ketika kita hidup di dunia,dan ketika kita meninggalkan dunia,” timpal Rizky Rachmadanti, anggota tim Gnomon Urip Borobudur.
Dengan beragam filosofi tersebut, massa bangunan yang dihasilkan terlihat sederhana namun penuh makna. Bentukan bangunannya terlihat sangat simpel. Hanya ada tambahan genteng yang dipotong miring. “Fngsinya sebagai penanda masa. Itu penanda bahwa bangunannya dibuat pada masa sekarang dengan menggunakan alat modern,” sambung TB Dimas Dianggara Putra, angota tim lainnya.
Material yang digunakan? Diambil dari material lokal. Dari mulai batu andesit, genteng lokal, kayu lokal yang banyak tersedia di sekitar Borobudur, dimanfaatkan untuk membangun homestay. “Tenaga kerjanya pun lokal. Penggunaan material tembaga, kuningan dihandle pengrajin sekitar,” ungkap Dimas.
Harapan tim, karya berjudul Gnomon Urip bisa menghasilkan banyak manfaat. Dari mulai penambahan income bagi warga sekitar, memperkaya aktifitas, hingga membranding dengan sesuatu yang unik dan menarik. “Kami ingin homestay mudah dapat dikenali oleh siapapun yang melihatnya. Kami juga ingin menunjukkan kepada dunia tentang arsitektur dengan pendekatan kelokalan di Indonesia. Dan keberagaman serta kekayaan budaya di Indonesia dapat diaplikasian di dunia arsitektur masa sekarang,” tutup Aditya Wiratama.
Menpar Arief Yahya menghargai ide-ide cerdas anak-anak muda dalam Sayembara Arsitektur Nusantara untuk Homestay Desa Wisata itu. Kelak homestay desa wisata itu akan menjadi dasar dalam membangun rumah wisata di seputar Joglosemar dengan ikon Borobudur itu. “Selamat atas semua ide-idenya. Dari tataran filosofis sampai ke implementatif yang masuk akal untuk dibangun dengan cepat,” kata Menpar Arief Yahya (*)
(Kemenapr RI)