Hugua: Keberpihakan Pemerintah yang Bisa Selesaikan Persoalan Buruh

  • Bagikan
Foto:ist

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Persoalan buruh menjadi polemik yang tak kunjung habis dibahas setiap tahun. Seolah tidak ada yang menyelesaikan permasalah ini. Pun tiap tanggal 1 Mei diperingati Hari Buruh Sedunia oleh kaum pekerja dengan berbagai aksi. Lagi-lagi, memperjuangkan hak dan kesejahteraan.

Sebagai pelaku utama dalam manufaktur barang dan jasa, buruh tak bisa dipisahkan dengan industrinya. Karena keberadaannya adalag aset, sehingga hak paling mendasar harus terpenuhi.

Calon Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Ir. Hugua, melihat ada dua hak dasar buruh yang mesti dibela oleh pemerintah. Pertama, status kepegawaian di perusahaan harus jelas supaya terlindungi secara hukum. Kedua, terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan, termasuk pendidikan dan kesehatan anak.

“Ini dibutuhkan pemihakan pemerintah kepada buruh. Kalau ada keberpihakan, maka kebijakan dan program yang memihak buruh akan jalan, tentu disertai penganggaran. Ini yang akan kami lakukan,” jelas Hugua kepada Sultrakini.com via telepon, Selasa (1/5/2018).

Menurutnya, saat ini pemerintah daerah sudah berpihak, namun belum ada langkah-langkah nyata yang serius. Misalnya dengan program pemberdayaan maupun perlindungan status kaum buruh.

Memang di satu sisi, kata pengusaha resort ini, perusahaan juga harus sehat. Nah, untuk menjamin itu perusahaan pemberi kerja mesti punya perizinan yang legal. Pemerintah juga tidak mempersulit pengurusan izin dan menghindarkan dari pungutan-pungutan aneh.

“Hal yang paling penting dan utama sebenarnya, memenuhi kebutuhan dasar listrik dan air,” kata Hugua.

Menghadapi Tantangan e-Commerce, Buruh Harus Sekaligus Pelaku Bisnis

Era digitalisasi terutama e-Commerce (perdagangan via elektronik) yang kini melanda masyarakat, cukup mengkhawatirkan sejumlah industri di tanah air, apalagi bila tak mampu menyesuaikan. Hal ini juga berdampak pada kondisi para buruh yang selama ini mengandalkan kerja fisik.

Namun, menurut Hugua, kondisi ini bukan hal yang menakutkan. Suka atau tidak, harus dilewati. Hanya perlu adanya penyesuaian dalam bentuk pemberdayaan yang disponsori oleh pemerintah. Para buruh, harus diarahkan agar sekaligus menjadi pelaku utama dalam industri.

“Bisnis e-Commerce ini kan melalui elektronik, laptop dan android bikan hal luar biasa lagi, sistem aplikasi juga tidak sulit. Hanya perlu peningkatan kapasitas,” ujar Hugua.

Bisnis e-Commerce di Sultra dinilai bergerak sangat lamban. Dalam dua sampai empat tahun ke depan, masih akan didominasi bisnis dan layanan konvensional, sehingga porsi buruh tidak terlalu besar diambil.

Buruh tradisional yang ada harus diberi pelatihan dan pengembangan kapasitas. Ketika buruh juga menjadi pelaku utama bisnis, justru lebih terhormat dan formal serta terorganisir. Sementara para tenaga kerja milenial yang sudah memiliki kapasitas tinggal dioptimalkan, akan menjadi pelaku dahsyat.

“Contoh jambu mente dari Sultra, dengan kapasitas bisnis e-Commerce, kebutuhan di Surabaya dapat disuplay dalam waktu singkat dan terorganisir. Pesanan via online, bayarnya pakai ATM atau e-banking, ” terang mantan Bupati Wakatobi ini.

Untuk mewujudkan itu, harus diawali dengan perubahan mindset pemerintahnya. Sebab posisi pemerintah sebagai service provider atau penyedia layanan kepada masyarakat.

“Kalau dia nggak ngerti, bagaimana menjadi pendorong utama. Pemerintah dulu yang jiwai e-Commerce ini. Kebijakan, peraturan, langkah, sistem, semua bisa terjadi kalau pemerintah pikirkan dan programkan dengan nyata. Ada kebijakan anggaran di dalamnya,” kata pendamping Asrun di Pilgub Sultra 27 Juni 2018 nanti.

“Saya paham hal ini, karena itu perlakuan saya. Sebagai Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Sultra, pengusaha hotel, itu bukan hal baru. Justru hal biasa. Kita dapatkan dari e-transaction. Kalau orangnya kurang ngerti malah jadi hal lucu,” ujarnya.

TKA Wajar dalam Fase Konstruksi

Polemik Tenaga Kerja Asing (TKA), juga mendapat perhatian Hugua. Menurut politisi PDIP ini, dalam fase pembangunan pabrik smelter misalnya, kehadiran TKA masih dapat ditoleransi. Sebab harus ada introduksi teknologi dari negara asal, untuk kriteria teknologi tertentu. Sehingga pabriknya hanya dapat dirakit oleh tenaga kerja dari negaranya.

“Tapi setelah selesai, pada fase operasional, harus sangat ketat. Tenaga kerja itu harus pulang. Satu dua orang saja yang memiliki kapasitas memang harus transfer teknologi,” ujar Hugua.

Untuk mengendalikan ketenagakerjaan asing ini pun sangat mudah. Tinggal mengecek Visa yang digunakan, harus tenaga kerja.

Namun di satu sisi, kadang ada kesenjangan antara cara kerja tenaga kerja lokal dan asing. Seperti tenaga kerja dari China atau luar, yang memiliki budaya kerja tinggi.

“Kalau orang luar, waktu kerja ya kerja. Kadang kita kerja, ada yang misalnya merokok. Mereka itu nanti merokok pada saat jam istirahat. Situasi begini yang harus bisa otokritik,” imbuh Hugua.

Peran pemerintahlah di sini dibutuhkan. Perlu ada doktrin cara kerja, melalui pembinaan dalam pelatihan tenaga kerja. Termasuk mengatur tenaga kerja kasar, jika ada dari TKA mesti dipulangkan. “Karena kita masih punya cukup banyak,” tandasnya.

 

Laporan: Faisal
Editor: Gugus Suryaman

  • Bagikan