Ibadah Puasa, antara Syariat dan Hakekat

  • Bagikan

Oleh: Syaifuddin Mustaming
(Kasi Penerangan Agama Islam, Zakat dan Wakaf
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kolaka)

Puasa atau “ash-shiyam”, berasal dari kata shámayashúmusháimanshiyámshaum,terkandung makna ”imsákun nafs”, yang berarti menahan diri dari sesuatu.

Secara umum, pengertian ash-shiyam (shaum)adalah ”Menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan, dilakukan sejakterbit fajar hingga terbenam matahari disertai niat berpuasa pada hari-hariyang tidak diharamkan untuk melakukan puasa”.

Dalam perspektif syariat, makna ash-shiyam ataupuasa memiliki Dua pengertian: Pertama, menahan diri dari segala perbuatan yang mufthirát (membatalkan),dan Kedua, menahan diri dari segala perbuatan yang Muhlikát (merusak).

Mufthirát adalah segala tuntutan jasmaniah, seperti:makan, minum, dan hubungan seksual suami-isteri. Menahan diri dari mufthirát berartimenghentikan segala kegiatan jasmaniah yang telah disebutkan mulai terbit fajarhingga terbenam matahari selama bulan Ramadhan, dilandasi keimanan dan ketaatanterhadap ALLÁH SWT, serta mengharapkan keridhaan-Nya semata-mata. Padahal padahari-hari biasa (di luar bulan Ramadhan), semua perbuatan itu dihalalkan.

Muhlikát adalah segala tuntutan nafsu dan syahwat yangmenjurus kepada perbuatan dosa (munkar dan maksiat) seperti berdusta, menista,memfitnah, menghasut, menggunjing, mengadu domba, menipu, dan perbuatan kejiyang tidak terpuji lainnya. Semua perbuatan muhlikát tadidiharamkan bagi mukmin bukan hanya pada bulan Ramadhan saja, melainkan jugapada setiap saat.

Menahan diri dari perbuatan mufthirát dan muhlikát itulahyang dimaksud dengan ibadah puasa dalam syariat Islam. Nabi Muhammad SAWbersabda: “Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum saja,melainkan juga menahan diri dari perbuatan jahat dan keji. Bila ada orangmencaci maki atau hendak berlaku jahat kepadamu, maka katakanlah kepadanya:”Sesungguhna aku berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa”. (HR. Ibnu Khuzaimah,Ibnu Hibban, Hakim)

Dalam hadits lain, Nabi SAW Bersabda: “Barang siapayang tidak meninggalkan perkataan dusta, dan beramal dengannya, maka tidak adapenilaian ALLÁH atas jerih payahnya meninggalkan makan dan minum itu”. (HR.Jamaah).

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ibadah puasa yangsempurna dapat mengantarkan orang mukmin untuk mendapat derajat muttaqín dan muqarrabín.Menurut beliau, untuk mencapai derajat tersebut dalam melaksanakan ibadah puasadiperlukan beberapa syarat, antara lain:

Pertama; Menahan mata dari melihat semua perkara yangterlarang,

Kedua; Menahan lidah (perkataan) dari berkata keji dankotor,

Ketiga; Menahan telinga dari mendengarkan suara yangdapat menyeret pada kejahatan,

Keempat; Menahan anggota badan dari perbuatanterlarang, seperti menahan perut dari makanan dan minuman yang diharamkan,

Kelima; Menahan nafsu makan yang berlebihan pada waktuberbuka, sehingga menyebabkan kekenyangan, badan lesu, kemauan hilang, dankurang gairah untuk beramal,

Keenam; Setiap kali berbuka puasa, hati selalu takutkalau-kalau terdapat kekurangan dalam  menjalankan puasa dansenantiasa berharap agar puasanya diterima ALLÁH SWT.

Dengan demikian, Ibadah puasa merupakan perjuanganbesar, dilakukan dengan menahan diri dari segala tuntutan nafsu syahwati yangmenjurus kepada perbuatan negatif destruktif, kemudian mengendalikannya agartunduk pada ketentuan ALLÁH SWT.

Hakekat puasa adalah membentuk manusia yang bertakwa.Impilkasi dari ibadah puasa menggiring dan menjadikan mukmin untuk senantiasataat kepada ALLÁH. Dengan kata lain bahwa segala i’tikad, kecenderungan khanifdan amaliah yang baik, termasuk optimalisasi pengamalan ibadah serta ikhtiarmaksimal meninggalkan semua larangan ALLÁH SWT, mesti terwujud di setiap saat,bukan hanya di bulan Suci Ramadhan.

Dengan kemampuan mengendalikan nafsu syahwatitersebut, manusia makin terpelihara dari berbagai pengingkaran, pelanggaranserta penyimpangan perilaku yang menyungkurkan martabat kemanusiaan ke tempatdan tingkat yang paling rendah dan hina (asfala sáfilín).

  • Bagikan