Ibu Tiga Anak di Buton Ini, ‘Sulap’ Sampah Jadi Karya Bernilai Ekonomis

  • Bagikan
Ibu Dwi Istanti, sang penyulap sampah menjadi sebuah karya bernilai ekonomis. (Foto: La Ode Ali/SULTRAKINI.COM).
Ibu Dwi Istanti, sang penyulap sampah menjadi sebuah karya bernilai ekonomis. (Foto: La Ode Ali/SULTRAKINI.COM).

SULTRAKINI.COM: BUTON – Sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat, seperti tertulis pada UU No 18 Tahun 2008. Berdasarkan sifatnya, Sampah terbagi menjadi 2 jenis yaitu Sampah Organik dan Sampah Anorganik (Nonorganik).

Namun, lain halnya bagi ibu dari tiga orang anak ini, namanya Ibu Dwi Istanti, warga Desa Matanauwe, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Dirinya justru “Menyulap” sampah menjadi sebuah karya yang bernilai ekonomis. Awalnya sih sekedar coba-coba, eh malah bisa menghasilkan uang hingga jutaan rupiah.

Seperti diceritakan, awal ketertarikannya terhadap salah satu jenis sampah anorganik ini ketika dirinya selalu melihat sisa gelas minuman ale-ale serta sisa minuman gelas lainnya berbahan plastik yang sering ia jumpai baik itu di jalan ataupun di lingkungan ia tinggal, sehingga ia berpikir mencoba mengolah sampah tersebut menjadi sebuah karya. Karena ia berpikir, sisa gelas minuman itu merupakan sampah yang sulit terurai sehingga menjadi limbah yang justru membuat pemandangan tak mengenakan.

“Dasarnya itu, saya sering lihat sisa gelas minuman ale-ale dan lain-lainnya, inikan jadi limbah yang sulit dicernah oleh tanah, makanya saya berpikir saya mau kumpul saya mau bikinkan sesuatu begitu,” katanya saat disambangi di rumahnya, Selasa (11/9/2018).

Ia mengaku, mulai menggeluti hal itu sejak 2 tahun lalu, namun setelah beberapa kali dipromosikan baik itu di desa-desa di Kecamatan Siotapina, termasuk pihak kecamatan sendiri, masih belum diminati. Yah, mungkin karena masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang hasil karya yang dilakukannya itu tentang bagaimana mengoptimalkan limbah yang bernilai guna.

“Sudah sejak dua tahun lalu, tapi mungkin masyarakat di wilayah kita ini masih minim pemahamannya bagaimana mengoptimalkan limbah sehingga bernilai guna,” kenangnya.

Namun, dirinya yang dibantu oleh sang suami yang bekerja sebagai seorang guru itu tetap berkarya dan tidak putus asa, mereka yakin apa yang mereka lakukan bisa bermanfaat bagi masyarakat. Dari keyakinan itu, makanya mereka terus berbuat dan berbuat. Alhasil, sejak Bulan Juli 2018 lalu, dari sampah tersebut, dirinya dan suaminya menyulap sampah tersebut menjadi sebuah karya bernilai ekonomis, seperti membuat tempat tisu, toples kue, fas bunga, dan tempat aqua gelas serta masih banyak lagi yang lainnya.

“Bahan-bahannya ya itu tadi, sisa-sisa gelas minuman, kemudian pita kawat, sama kabel, kita buat sesuai permintaan pembeli,” sebutnya.

Ia mengaku, tau cara membuat karya-karya tersebut dari sang ipar, kemudian ia juga mencari-cari informasi melalui internet. Awalnya sih, dibuat untuk dipakai sendiri, eh malah setelah diketahui oleh teman-teman suami yang juga bekerja sebagai PNS itu, justru malah banyak diminati. Sehingga, jumlahnya diperbanyak sesuai permintaan dari pembeli.

 Salah satu hasil karya Ibu Dwi Istanti, sang penyulap sampah menjadi karya bernilai ekonomis. (Foto: La Ode Ali/SULTRAKINI.COM)
Salah satu hasil karya Ibu Dwi Istanti, sang penyulap sampah menjadi karya bernilai ekonomis. (Foto: La Ode Ali/SULTRAKINI.COM)

“Saya juga awalnya tau dari ipar saya, tapi saya juga buka-buka internet buat cari-cari informasi, dan alhmadulillah kurang dari satu bulanan ini sudah lumayan peminatnya dan kita bisa dapat uang biar sedikit-sedikit tapi sudah jutaan juga,” ceritanya.

Ada berbagai metode pemasaran yang ia dan suaminya lakukan, seperti di posting melalui media sosial facebook dan mengunjungi rumah-rumah warga di wilayah setempat. Namun, ia mengaku, lebih praktis mengunjungi langsung pembeli karena barangnya bisa langsung dilihat.

“Kalo di FB itu, paling orang cuman like saja, kalo kita datangi satu-satu rumahkan bisa langsung dilihat barangnya,” kata ibu tiga anak ini yang sesekali tersenyum manis.

Harga pasaran yang diberikan juga dinilainya terjangkau, seperti fas bunga yaitu berkisar Rp 50 ribu-Rp 85 ribu per buahnya, tempat tisu Rp 100 ribu-Rp 150 ribu, toples kue Rp 70-Rp 95 ribu, tempat aqua gelas Rp 250 ribu-Rp 300 ribu per lusinnya. “Kenapa harganya beda-beda karena ada yang menggunakan kaki, ada yang tidak,” sebutnya.

Ia mengaku, sejak banyak diminati oleh pembeli, maka dirinya bersama sang suami, setiap hari tiada waktu tanpa membuat karya-karya tersebut. Pesananpun setiap harinya selalu ada. Untuk bahan-bahannya sendiri, terkadang dicari sendiri, sesekali juga membeli dari anak-anak, dan terbanyak itu dibeli dari Kota Baubau, seperti sisa-sisa gelas minuman yang dibelinya dari pemulung.

“Kita beli dipemulung itu per kilo, satu kilo kadang 5 ribu sampe 20 ribu, alhamdulillah pemasarannya ini sudah sampe juga di Baubau, Pasarwajo, Lasalimu Selatan dan Siotapina, kalo ada yang pesan, kita antarkan langsung, tapi kalo kita kirim, yah paling tambah ongkos kirim saja,” ungkapnya.

Ibu tiga anak ini berharap, apa yang dilakukan bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat, khususnya dapat mengurangi sampah lingkungan, dan tentu bisa bernilai ekonomis. Sebagai ibu rumah tangga, hal itu juga ia lakukan dengan ikhlas untuk membantu perekonomian keluarga yang kian hari, kebutuhan sehari-hari kian meningkat.

Laporan: La Ode Al
Editor: Habiruddin Daeng

  • Bagikan