Impor Lagi, Lagi-lagi Impor

  • Bagikan
Praktisi Pendidikan Konawe, Hasni Tagili, S.Pd.,M.Pd.

Oleh: Praktisi Pendidikan Konawe, Hasni Tagili, S.Pd.,M.Pd.

Aktivitas impor di negeri ini seolah tak ada ujung pangkalnya. Pun, di awal tahun 2018, pemerintah masih melakukan hal yang sama. Tak tanggung-tanggung, kebijakan tersebut menyasar beras, gula mentah, garam industri, hingga jagung. 

Dilansir dari Merdeka.com (20/01/2018), Kementerian Perdagangan secara resmi telah menerbitkan izin importasi beras yang direncanakan berasal dari Vietnam dan Thailand sebanyak 500.000 ton yang diberikan kepada Perum Bulog. 

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengatakan bahwa pihaknya telah mengeluarkan izin importasi tersebut dan berlaku hingga 28 Februari 2018 (dikutip dari Antara, Selasa, 16/01/2018). Ini dilakukan karena stok Bulog diklaim berkurang dan harga beras dalam negeri naik cukup tinggi.

Tercatat, stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) berkisar pada angka 30-32 ribu ton. Pada awal Januari 2018, stok beras yang ada sebanyak 35.292 ton dan pada Senin (15/01/2018) berada pada angka 30.177 ton.

Berdasar data dari Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, harga beras kualitas medium tercatat mengalami kenaikan. Pada Senin (15/01/2018), harga rata-rata nasional beras kualitas medium sebesar Rp11.271 per kilogram dan pada Selasa (16/01/2018) mengalami kenaikan menjadi Rp11.291 per kilogram.

Pemerintah menyatakan bahwa importasi sebesar 500.000 ton tersebut tidak akan mengganggu petani lokal. Beras impor tersebut nantinya akan memperkuat stok Perum Bulog, dan akan dipergunakan untuk melaksanakan Operasi Pasar (OP) beras.

Meski demikian, kebijakan impor ini ternyata mendapatkan penolakan dari beberapa daerah, di antaranya yang berada di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Respon senada juga datang dari Kabupaten Sleman, Kabupaten Bone Bolango, dll. Masing-masing menyatakan bahwa hingga saat ini daerah lumbung beras di wilayah tersebut merasa tidak mengalami kekurangan beras.

Tak cukup sampai disitu, importasi juga terjadi pada 1,8 juta ton gula mentah (CNNIndonesia, 19/01/2018); 3,7 juta ton garam industri (Merdeka.com, 20/01/2018); dan 171.660 ton jagung. (Republika, 04/02/2018). Ya, bagi sebagian pihak, angka-angka tersebut menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam membangun kemandirian ekonomi dan mengelola semua potensi yang Allah SWT anugerahkan demi kepentingan rakyat.

Selama ini, impor menjadi jalan pintas bagi penguasa yang dipengaruhi pandangan ekonomi neoliberal kapitalistik dengan dalih efisiensi dan solusi jangka pendek bagi problem kelangkaan produksi. Ujung-ujungnya, kebijakan tersebut merugikan rakyat dan menguntungkan pihak kapitalis.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Konawe, Muhammad Akbar, menegaskan bahwa kebijakan impor beras jelas bukan solusi, melainkan semakin menekan petani. Menurutnya, jika impor terealisasi terus-menerus, maka hal ini sangat merugikan petani lokal. Disamping itu, impor ini juga bertentangan dengan program swasembada pangan yang digaungkan Presiden RI (Zonasultra.com, 05/02/2018).

Keberadaan beras impor di tengah panen raya petani Februari 2018 akan berujung pada matinya beras lokal atau beras petani. Apalagi, diprediksi pasokan beras akan surplus. Sehingga, kebijakan impor adalah pilihan yang mendzolimi dan menyakiti rakyat. Hal ini diungkapkan oleh pengamat ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Bagus Santoso. Dalam penilaiannya, kebijakan impor beras pada saat musim panen dinilai tidak bijak. Apalagi jika hasil impor langsung digelontorkan ke pasar, maka hal ini dapat mematikan produktivitas para petani (12/01/2018).

Dalih pasokan beras dalam negeri yang dinilai berkurang merupakan argumentasi yang tidak sesuai dengan data. Kementerian Pertanian mengklaim produksi beras mengalami surplus sebesar 329.000 ton. Dengan mengacu data BPS, Kementan menyatakan bahwa sepanjang 2017 produksi beras mencapai 2,8 juta ton, sementara tingkat konsumsi sekitar 2,5 juta ton.

Demikian pula alasan menjaga kestabilan harga pasar, sebab harga beras di pasaran dinilai cukup tinggi, bukan argumentasi yang benar. Pasalnya, harga beras impor tetap disesuaikan dengan harga eceran tertinggi (HET) yakni berkisar Rp. 9.450/kg, sehingga adanya beras impor sama sekali tidak menjadikan harga beras menjadi turun dan stabil.

Paradigma kapitalistik ini jelas bertentangan dengan Islam. Meskipun pada dasarnya, importasi adalah aktivitas yang diperbolehkan di dalam syariat Islam jika dibutuhkan. Dengan catatan, aktivitas ini harus sesuai dengan hukum-hukum Islam dan tidak menimbulkan bahaya bagi kaum muslim.

Dalam Islam, negara berkewajiban memaksimalkan potensi yang dimiliki demi kesejahteraan seluruh rakyat sekaligus membangun kemandirian ekonomi. Ketika sesuatu menjadi kebutuhan pokok masyarakat, maka akan diutamakan pemenuhannya oleh negara. Islam memiliki konsep visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpiannya, termasuk masalah pangan. Dosa besar jika ada rakyatnya yang kelaparan, sementara ia berada dalam kondisi kenyang. 

Negara juga memberikan kemudahan dalam mengelola lahan agar produktivitas mengalami peningkatan. Bibit, pupuk, dan obat-obatan akan didukung penuh dengan subsidi yang besar dari negara. Sehingga, tidak akan ditemui kondisi kekurangan pasokan bahan-bahan pangan.

Selanjutnya, dalam mekanisme pasar, negara akan mendorong terciptaanya kesimbangan harga melalui mekanisme supply and demand (permintaan dan penawaran). Jika terjadi kenaikan harga barang karena supply yang kurang sementara demand-nya besar, maka negara dapat melakukan intervensi pasar dengan cara menambah supply barang di wilayah tersebut, dimana supply  barang tersebut didapatkan dari wilayah lain yang masih termasuk wilayah negara Islam, agar harga barang tersebut dapat turun dan normal. Cara ini jelas tidak merusak pasar. Ketika wilayah Syam mengalami wabah penyakit yang mengakibatkan produksi barang berkurang, kebutuhan barang di wilayah tersebut kemudian disuplai dari Irak. Kebijakan ini dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab guna menjaga kestabilan kondisi pasar pada masa tersebut.

Adapun tindakan curang, seperti monopoli pasar, penimbunan, riba, dan penipuan akan ditindak tegas. Jadi tidak ada pihak yang bisa memainkan harga semaunya sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tinggi pada komoditas pangan tertentu. Dengan demikian, importasi tidak harus dilakukan terus-menerus. Wallahu ‘alam bisshawab.

  • Bagikan