Indonesia Darurat Sakit Jiwa

  • Bagikan
Risnawati, STP (Staf Dinas Pertanian & Aktivis MHTI Kolaka)

Oleh: Risnawati, STP

(Staf Dinas Pertanian & Aktivis MHTI Kolaka)

VIVA.co.id – Lokasi sekitar Bundaran Patung Kuda di seberang Monumen Nasional (Monas), depan Gedung Indosat, Jalan Medan Merdeka Barat, Minggu pagi, 9 Oktober 2016 dibanjiri sekitar 1.300 orang terdiri dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (Arsawakoi), serta Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) memperingatinya dengan menggelar jalan sehat mengelilingi Monas, dengan start pukul 08.00 WIB dan selesai pukul 10.00 WIB dalam memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, yang jatuh setiap tanggal 10 Oktober. Konteks tema besar Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini, Dignity in Mental Health: Psychological and Mental Health First Aid For All atau Martabat dalam Kesehatan Jiwa: Pertolongan Pertama Psikologis dan Kesehatan Jiwa Bagi Semua, dengan subtema Jiwa yang Sehat Berawal dari Keluarga Sehat.

Badan kesehatan dunia WHO dari waktu ke waktu mengatakan jumlah penderita penyakit kejiwaan terus meningkat. Untuk itu WHO telah mencanangkan Hari kesehatan dunia atau world Mental Health Day. Lalu, apakah ini solusi untuk membebaskan Indonesia darurat sakit jiwa? 

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) 2016, ada sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang mengalami bipolar, 21 juta menderita skizofrenia, dan 47,5 juta mengidap dimensia. Sementara data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang. Angka itu sekitar 6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400 ribu orang atau sebanyak 1,7 per mil atau 1.000 penduduk. Jumlah kasus gangguan jiwa berat terbanyak di Yogyakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), masing-masing 2,7 per mil, menyusul Sulawesi Selatan sebanyak 2,6 per mil, Bali dan Jawa Tengah masing-masing sekitar 2,3 per mil. ” kata dia di Jakarta, Minggu, 9 Oktober 2016.

Jakarta menduduki urutan teratas soal penderita gangguan kejiwaan. Data riset kesehatan dasar (riskesdas) Departemen Kesehatan pada 2014, 1 juta orang tercatat sebagai pasien gangguan jiwa berat dan 19 juta pasien gangguan jiwa ringan di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 385.700 orang atau 2,03 persen pasien gangguan jiwa hidup di Jakarta. Penderita psikotik atau atau Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) di DKI Jakarta tiap tahun mengalami peningkatan. Dinas Kesehatan DKI mencatat jumlah pasien ODMK tahun lalu mencapai 2.962 orang.

Seperti dilansir dalam Merdeka.com – Ayati (43) memeluk erat Asep (49) di Panti Laras II, Grogol, Jakarta Barat. Tangis keduanya pecah. Di luar gedung, hujan semakin deras. Ayati seakan tak mau melepaskan pelukan Asep. Begitu pun sebaliknya. Adik kakak ini berpisah sekian tahun setelah Ayati menghilang dari rumahnya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Setelah bercerai dengan suaminya, Ayati datang ke Jakarta dan mulai kehilangan arah hidupnya. Sudah dua tahun terakhir Ayati menghuni Panti Laras I, panti sosial milik Dinsos DKI khusus orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).

Kasus Ayati merupakan salah satu contoh potret masalah sosial di DKI Jakarta. Setiap harinya, Panti Bina Insan di Kedoya Utara, Jakarta Barat ini menerima puluhan ODMK.

Hampir setiap hari, Dinas Sosial DKI Jakarta mengamankan orang dengan gangguan kejiwaan yang berkeliaran di jalanan ibu kota. Usia mereka rata-rata di atas 20 tahun. Kebanyakan mengalami gangguan kejiwaan karena faktor tekanan ekonomi. Mereka menjadi ‘korban’ kerasnya hidup di Jakarta.

“Yang kami temukan, kebanyakan ODMJ dan ODMK, bukan dari Jakarta. Mereka kaum urban yang datang ke Jakarta, namun gagal,” kata Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Masrokhan saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (11/10).

Tidak heran jika Jakarta menjadi kota yang banyak dihuni penderita gangguan kejiwaan. Dalam sepekan, Dinas Sosial mengangkut setidaknya 15 orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Di Panti Bina Laras, dalam sehari rata-rata delapan ODMK diserahkan petugas Dinsos untuk dilakukan pendampingan. Dalam satu bulan saja, contohnya September 2016, 79 orang gangguan kejiwaan dibawa ke panti sosial.

Dinas Sosial Pemprov DKI memiliki lebih dari 20 panti sosial di lima wilayah ibu kota. Panti-panti tersebut dikelompokkan sesuai persoalan yang ditangani. Mulai dari panti untuk balita, anak, remaja dan usia lanjut terlantar, panti anak jalanan, panti penyandang cacat tubuh, panti bina grahita, panti penyandang psikotik (gangguan kejiwaan), panti untuk gelandangan dan pengemis, panti untuk mantan wanita tuna susila, serta panti untuk mantan pengguna narkoba. Hampir 70 persen dari seluruh penghuni panti sosial di Jakarta adalah orang-orang dengan gangguan kejiwaan.

Khusus untuk penderita psikotik atau gangguan kejiwaan di Jakarta, Dinsos menyiapkan tiga panti sosial. Panti Sosial Bina Laras I Cengkareng untuk gangguan jiwa berat, Panti Sosial Bina Laras II Cipayung untuk pendampingan pasien gangguan jiwa sedang, dan Panti Sosial Bina Laras III Cipayung untuk mereka yang mengalami gangguan jiwa ringan. Meski sudah memiliki tiga panti sosial khusus pasien gangguan kejiwaan, namun nyatanya Dinsos masih kewalahan. Sebab, jumlah pasien psikotik di ibu kota semakin banyak, dan 90 persennya masuk kategori stadium sedang sampai berat.

Kapitalisme: Biang Masyarakat Sakit Kebanyakan mengalami gangguan kejiwaan karena faktor tekanan ekonomi. Mereka menjadi ‘korban’ kerasnya hidup di Jakarta.

Beratnya persoalan hidup dan beban ekonomi telah mendorong peningkatan angka bunuh diri di tanah air. Sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri selama tiga tahun terakhir (2005-2007, WHO). Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti A Prayitno mengatakan, faktor penyebab orang nekat bunuh diri karena kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran. Semua itu berpotensi meningkatkan depresi akibat bertambahnya beban hidup. Jumlah kematian itu belum termasuk kematian akibat overdosis obat terlarang yang mencapai 50 ribu orang setiap tahun.

Karena itu, penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadi biangnya. Sistem kapitalisme ini melahirkan berbagai kebijakan privatisasi sumberdaya alam yang seharusnya menjadi hak hidup masyarakat, dan membuat negara mengurangi berbagai subsidi dari masyarakat dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Maka hanya mereka yang memiliki kekuatan modal dan kedekatan dengan penguasa yang dapat bertahan hidup, sedangkan kelompok masyarakat lemah yang miskin dan berpendidikan rendah kian terhimpit. Depresi dan keputusasaan menjadi epidemi dalam masyarakat.

Kapitalisme juga telah menggerogoti akidah Islam dari kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat di Indonesia. Masyarakat telah kehilangan prinsip-prinsip hidup yang amat mendasar seperti berharap kepada Allah SWT, tawakal, sabar, pemahaman akan rizki, musibah dan ujian keimanan, dsb. Padahal prinsip-prinsip ini sangat penting dalam pertahanan mental seorang muslim dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan. Hasilnya lebih banyak masyarakat yang mengalami sakit jiwa akibat penerapan sistem yang sakit . Maka harus ganti dengan sistem Islam.

Islam: Penyembuh Masyarakat Sakit

Ibarat tubuh, sebuah masyarakat bisa sakit, juga bisa sehat. Sehat atau tidaknya masyarakat dilihat dari kualitas interaksi sosialnya. Jika kita membayangkan bagaimana tubuh kita bekerja agar tetap sehat dan kuat, maka tubuh tentu perlu nutrisi yang cukup yang akan membentuk sistem imun (daya tahan tubuh) sehingga juga akan menguatkan sistem metabolisme dan menjaga organ-organ vital tubuh kita tetap sehat.

Begitu pula masyarakat, selain individu yang baik sebagai anggota masyarakat, maka faktor pertama yang akan membuat masyarakat sehat adalah kualitas nutrisinya yang berupa pemikiran-pemikiran yang sahih untuk membangun fondasi peradaban masyarakat dan menjadi identitas yang jelas bagi warna masyarakat. Kedua adalah perasaan kolektif masyarakat yang berperan sebagai kontrol sosial dan sistem imun karena rasa suka dan benci masyarakat akan menentukan sikap kolektif yang benar terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan. Ketiga adalah bagaimana kualitas sistem kehidupan yang ada mampu mengatur berbagai interaksi sosial tersebut sehingga menyelesaikan berbagai masalah dengan tuntas.

Penentu corak lingkungan utama di mana individu dan masyarakat hidup tentu saja adalah negara. Banyak sebab terjadinya kasus bunuh diri dan depressi di tengah masyarakat tidak lepas dari faktor kesulitan ekonomi, rendahnya pendidikan, buruknya tingkat kesehatan, dan beban hidup yang semakin tinggi. Kasus bunuh diri terbanyak di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jakarta, terutama diakibatkan oleh tekanan ekonomi di tengah situasi sosial politik yang carut-marut. Relasi sosial yang sehat hanya dapat terbentuk jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi—pangan, sandang, dan papan, kesehatan, pendidikan dasar, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan orang berinteraksi secara normal. 

Dengan demikian dalam menuntaskan semua problem di atas tidak bisa hanya dengan menyelesaikan satu-persatu masalah yang muncul. Upaya yang komprehensif dan menyeluruh harus dilakukan, yaitu dengan cara menghilangkan akar permasalahan. Mengganti sistem yang salah itulah jawabannya. Selanjutnya perlu dihadirkan pilar-pilar pengokoh tegaknya sistem yang benar. 

Pilar itu adalah penerapan sistem sahih yang dijalankan oleh orang yang amanah, yang akan memandang seluruh urusan rakyat sebagai amanah Allah yang menjadi tanggung jawabnya. Dia betul-betul akan menunaikan amanah ini sesuai dengan aturan Allah SWT. Masalah ekonomi, masalah sosial kemasyarakatan, masalah hukum dan masalah yang lainnya hanya diatur dengan aturan Islam yang mensejahterakan (QS. an-Nur [24]: 55). Ya, itulah syariah Islam yang diterapkan dalam institusi pemerintahan Islam, Khilafah Rasyidah yang insya Allah segera akan tegak kembali. 

Khalifah sebagai pemimpin umum umat Islam akan mengatur berbagai interaksi sosial dan menghilangkan berbagai penyakit di dalam masyarakat dengan akidah dan hukum-hukum Islam yang mulia. WalLahu a’lam bi ash-shawab.

  • Bagikan