Indonesia Krisis Air?

  • Bagikan

Oleh: Sri Damayanty, SKM., M. Kes
(Dosen Kesling STIK Avicenna & Ex Ketum Kohati Badko HMI Sultra)Beberapa hari kemarin, air di rumah nampak keruh dan berpasir, berbau sudah pasti. Untuk mandi masih bisa dipaksakan, tetapi untuk dimasak sudah barang tentu tidak dibolehkan menurut referensi kesehatan, kecuali jika melalui proses penjernihan sebelumnya. Hal ini bukan kali pertama terjadi. Untungnya frekuensi aliran air yang jernih masih lebih tinggi dibanding aliran air yang kotor tersebut.Beberapa pekan lalu, seorang kerabat malah harus numpang mandi dan mencuci di desa tetangga karena aliran air dari PDAM macet. Persoalan teknis menjadi penyebab, perpipaan yang terganggu namun lamban tertangani. Apapun masalahnya, tetap kondisi tersebut sungguh mempersulit masyarakat setempat. Terlepas persoalan teknis, sumber air PDAM ternyata dapat menjadi keruh jika kondisi hujan deras.Dan beberapa bulan lalu, lupa persisnya, sempat membaca keluhan teman tentang aliran air yang sering macet sedangkan tagihan tak ada macetnya. Sedikit ber-vickynisasi, hal tersebut tentu menimbulkan “kontroversi hati”. Kewajiban masyarakat harus tunai, sedangkan hak yang diperoleh tak memuaskan.Ibarat fenomena gunung es (iceberg phenomenon), fakta-fakta di atas hanyalah sedikit gambaran dari berbagai persoalan menyangkut air dalam kehidupan kita sehari-hari.Jika dalam sehari saja aliran air di rumah macet, sudah cukup mengganggu dan menghambat berbagai aktivitas dan rutinitas kita. Kalaupun bisa diporsikan untuk mandi tetap harus irit, mencuci pun terhambat. Mungkin sebagian dari kita khususnya yang tinggal di daerah perkotaan pernah mengalami hal tersebut. Meskipun aliran air tetap lancar, tidak jarang air yang tiba di bak penampungan mengandung pasir sehingga menyebabkan keruh dan berbau. Kadang-kadang berkapur sehingga dimasak sekalipun tetap tak layak untuk diminum jika kita masih sayang dengan kesehatan tubuh.Keterbatasan air menimbulkan berbagai masalah bagi kita. Air merupakan zat yang sangat penting dalam kehidupan setelah udara. Kita mungkin dapat bertahan tanpa makan sehari dibandingkan tanpa minum sehari. Sekitar ¾ bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpanya.Selain itu, air juga dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, membersihkan rumah dan perabotnya, dan sebagainya. Air juga digunakan untuk keperluan industry, pertanian, pemadaman kebakaran, tempat rekreasi, transportasi, dan masih banyak kepentingan lainnya yang kita sama-sama ketahui. Bahkan dalam kajian mendalam tentang kesehatan, air merupakan salah satu media dan penyebab penyakit. Berbagai jenis penyakit dapat hinggap ke manusia melalui air seperti DBD yang kasusnya sedang tinggi belakangan ini, Malaria, Diare, Kholera, Typhus, Disentri, Hepatitis, dan Leptospirosis. Yang terparah, air dapat mengakibatkan penyakit Kanker bahkan kematian mendadak jika mengkonsumsi air yang mengandung unsur kimia berbahaya misalnya logam berat Merkuri, Arsen, Kadmium, dan sebagainya.Oleh karena itu, penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sebab persediaan air bersih yang terbatas memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat. Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 150-200 liter atau 35-40 galon. Kebutuhan tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan, dan kebiasaan masyarakat.Dalam dokumen pembangunan hasil perundingan beberapa negara di dunia, Millenium Development Goals (MDGs), persoalan air ini tertuang dalam Tujuan poin ke-7 (Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup) persisnya pada Target 7c: menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak hingga tahun 2015. Kenyataannya hari ini masih juga terdapat keluhan dari masyarakat tentang seringnya aliran air macet. Jika kita berbasis data, justru di beberapa daerah khususnya daerah pesisir masih kesulitan air bersih apalagi air minum. Karena kondisi geografis, hampir seluruh daerah pesisir memiliki sumber air yang berwarna keruh atau kuning.Lepas tahun 2015, MDGs sebagai arah pembangunan tentu tinggal kenangan. Namun dunia tidak kehabisan akal. Sustainable Development Goals (SDGs) dengan target pencapaian hingga 2030 dibuat sebagai dokumen lanjutan dari MDGs. Semoga dapat mencapai target di tahun tersebut.Berbagai fakta yang diceritakan sebelumnya, hanyalah implikasi dari masih banyaknya masalah air yang terjadi. Dampak nyata yang kita rasakan tersebut adalah efek dari berbagai persoalan yang bertalian satu sama lain.Pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi belum maksimal, penyediaan sambungan perpipaan khususnya di perkotaan belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang semakin pesat.  Masih terbatasnya kapasitas pemerintah daerah untuk menangani sektor air minum dan sanitasi, padahal penyediaan dan pengelolaan air minum dan sanitasi yang layak telah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat untuk menerapkan praktek Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) termasuk hemat dalam penggunaan air.Mengapa air dirasa menjadi begitu sulit, padahal sumber air begitu luas. Menurut asalnya, air berasal dari 3 sumber yaitu dari angkasa (air hujan), di atas permukaan tanah (air laut, sungai, danau, waduk, dll) dan di bawah permukaan tanah (mata air dan air sumur).Namun karena aktivitas manusia yang tak terkontrol dan tak beretika lingkungan, maka seluas-luasnya sumber air tersebut menjadi kurang manfaatnya akibat telah mengalami pencemaran. Air hujan tercemari oleh gas kendaraan bermotor, asap pembakaran sampah, terlebih asap pembakaran hutan yang hampir setiap tahun menjadi hot issue. Air hujan yang telah tercemari tersebut menghasilkan hujan asam yang sangat buruk efeknya bagi tumbuhan, hewan terlebih manusia. Air laut, sungai dan waduk tercemari oleh limbah buangan industri, rumah tangga, perhotelan, rumah makan dan sebagainya. Pada akhirnya terjadi intrusi air laut, dimana air laut menyusup ke dalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah. Disamping akibat intrusi, air tanahpun dapat tercemari langsung oleh limbah yang dibuang begitu saja tanpa pengolahan terlebih dahulu.Telah banyak hasil riset menunjukkan bahwa perairan pada beberapa daerah di Indonesia telah mengalami pencemaran. Hal ini tentu membuktikan teori Dahuri (2008) yang mengemukakan bahwa perairan pesisir merupakan penampungan (storage system) akhir dari segala jenis limbah yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Akibatnya keadaan wilayah pesisir baik perairan maupun ekosistem di dalamnya sangat dinamis akibat adanya perubahan kualitas perairan pesisir.Aktivitas perekonomian utama yang menimbulkan permasalahan pengelolaan sumber daya dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan adalah perkapalan dan transportasi (tumpahan minyak, air ballast, limbah padat dan kecelakaan), pengilangan minyak dan gas (tumpahan minyak, pembongkaran bahan pencemar, konversi kawasan pesisir), perikanan (overfishing, destruksi habitat, pencemar pesisir, pemasaran dan distribusi), budi daya perairan (ekstensifikasi dan konversi mangrove), kehutanan (penebangan dan konversi hutan), pertambangan (penambangan pasir dan terumbu karang), industri (reklamasi dan pengerukan tanah) serta pariwisata (pembangunan infrastruktur dan pencemaran air).Belum terhitung efek pemboman kapal-kapal asing yang dilakukan oleh Menteri Susi. Dari kaca mata HanKamNas, tentu cara ini cukup bombastis dalam mencegah illegal fishing di perairan Indonesia, menjaga dan mengamankan sumber daya perikanan serta menertibkan wilayah maritim negara. Namun dari kaca mata lingkungan, cara tersebut sangat tidak arif dan tidak beretika. Kapal karam pun lambat laun dapat mencemari perairan, apalagi kapal yang sengaja dihanguskan. Sepertinya ibu Menteri mesti menerapkan cara lain dengan mempertimbangakn efek terhadap kualitas perairan.Berbicara tentang air seperti tak ada habisnya. Sama seperti kebutuhan kita akan air yang tidak ada hentinya. Bahkan hingga ajal telah tiba pun, manusia masih membutuhkan air untuk dimandikan. Oleh karena itu, selagi aliran air di rumah masih lancar, penggunaannya tetap harus seperlunya. Minimal itu yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat pengguna air. Adapun bagi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan, perlu melakukan pengawasan pada sumber air dan pembatasan pada aktivitas-aktivitas yang menimbulkan pencemaran air. Jika bukan pemerintah, siapa lagi yang berwenang dan berasas hukum untuk itu? Cukuplah kita mengalami krisis ekonomi bertahun-tahun. Jika air pun harus krisis, maka dengan apa lagi kita membelinya?Selamat Hari Air Sedunia, 22 Maret 2016.(*)

  • Bagikan