Ironi Negeri Agraris

  • Bagikan

 

Oleh : Risnawati, STP.

(Staf Dinas Pertanian & Aktivis MHTI Kolaka)

 

Beras adalah salah satu produk makanan pokok paling penting di dunia. Pernyataan ini terutama berlaku di Benua Asia, tempat beras menjadi makanan pokok untuk mayoritas penduduk (terutama di kalangan menengah ke bawah masyarakat). Benua Asia juga merupakan tempat tinggal dari para petani yang memproduksi sekitar 90% dari total produksi beras dunia.

 

Begitupun produksi beras dalam daerah, sebut saja daerah Kolaka-Sultra. Seperti dilansir dalam Moneter.co.id – Stok beras yang dimiliki Perum Bulog Divisi Regional Sulawesi Tenggara saat ini tersisa 12.000 ton dengan ketahanan hingga Oktober 2016. “Jumlah beras yang kami miliki ketahanannya hanya untuk mampu melayani kebutuhan penyaluran beras sejahtera (rastra) untuk tiga bulan,” kata Kepala Divre Bulog Sultra, Laode Amijaya Kamaluddin di Kendari, Kamis (14/07).

 

Kolaka-Kabaranoa.Com Persediaan beras di Perum Bulog Kabupaten Kolaka diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat selama enam bulan kedepan, dirinya memastikan stok beras yang tersedia mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di tiga kabupaten di Sulawesi Tenggara yakni Kolaka, Kolaka Utara dan Kolaka Timur. Hal ini dikatakan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Kabupaten Kolaka, Ardiyansah yang ditemui di ruang kerjanya jum’at (12/8/2016).

 

Kolaka,  (Antara News) – Bulog Kolaka menyiapkan stok beras miskin (raskin) yang melayani tiga Kabupaten yakni Kolaka, Kolaka Timur dan Kolaka Utara hingga bulan Agustus mendatang. Kepala Bulog Kolaka La Rahibun yang ditemui Jum’at mengatakan stok beras yang ada di gudang untuk penyaluran raskin masih bisa hingga bulan agustus mendatang. Bahkan menurutnya hasil panen tahun ini diupayakan untuk dikirim ke luar daerah karena banyaknya kesiapan stok beras Bulog karena daerah penghasil beras terbesar berada di Kabupaten Kolaka Timur dan Kolaka.

 

 Namun, cukupkah kita merasa lega dan tidak ada masalah karena stok persedian beras dalam daerah mencukupi. Lalu, bagaimana dengan kondisi pangan negeri ini secara keseluruhan, sudahkah tercukupi sebagaimana kondisi beras dalam daerah seperti di Kolaka-Sultra? Karena faktanya, soal pangan ternyata terus menjadi masalah yang tidak kunjung tuntas. Julukan sebagai lumbung pangan yang disematkan pada negeri ini juga tidak menggaransi Indonesia terbebas dari krisis pangan.

 

Kapitalisme : Krisis Pangan tak kunjung Tuntas

 

Mengingat bahwa populasi Indonesia mengkonsumsi beras dalam kuantitas besar, dan mengingat resiko dari menjadi importir beras saat harga bahan-bahan makanan naik (yang membebani rumah tangga miskin karena mereka menghabiskan lebih dari setengah dari total pengeluaran mereka untuk bahan-bahan makanan), Indonesia menempatkan prioritas tinggi untuk mencapai swasembada beras. Bahkan, negara ini memiliki niat untuk menjadi eksportir beras.

 

Sebuah fakta yang cukup mengejutkan terungkap dalam sebuah laporan FAO  bahwa ketika sebagian penduduk dunia masih kekurangan pangan, sebagian penduduk di belahan dunia lain justru membuang makanan. Dalam laporan bertajuk Global Food Looses and Food Waste, FAO (2011) mengungkapkan sekitar 1/3 makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang, dengan jumlah mencapai 1.3 miliar ton per tahun. Jumlah ini lebih banyak  disumbang  oleh penduduk di  negara-negara eropa dan amerika utara yang membuang 95-115 kg makanan per orang per tahun. Sementara itu, negara-negara brkembang di Afrika dan Asia Tenggara/ Selatan membuang 6-11 kg/ orang/ tahun.  Kapitalisme global, seperti kampanye produk “beli dua dapat tiga” telah mendorong orang untuk membeli jauh lebih banyak dari yang ia butuhkan. Produksi pangan secara keseluruhan boleh jadi meningkat efisiensinya namun  kemiskinan dan ketimpangan ekonomi telah menjadi isu besar yang menyebabkan tidak semua orang di berbagai negara dapat mengakses pangan secara layak.

 

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam sebuah laporan Global Food Security Index (GFSI) yang diterbitkan the Economist (2013)  Indonesia tercatat berada pada peringkat ke 66 dari 106 negara yang disurvei tentang keamanan pangannya.  Dari skor 0-100 yang menggambarkan kondisi sangat tidak aman hingga sangat terjamin keamanannya, negeri kita memiliki skor 45.6 yang menunjukkan ketahanan pangan masih menjadi persoalan serius yang belum terpecahkan dengan tuntas.  Di Indonesia sendiri kerawanan pangan masih dirasakan oleh 21 juta jiwa atau 9 % dari populasi.

 

Masalah ketahanan pangan di Indonesia memiliki dua dimensi kepentingan, yakni bagaimana agar masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau dan di sisi lain bagaimana kesejahteraan petani dapat terlindungi.  Hampir setiap tahun, kita disibukkan dengan pro-kontra impor bahan pangan, mulai dari beras, daging sapi, kedelai, hingga bawang merah. Ada bayak persoalan yang menyebabkan hal itu terjadi. Salah satunya, data yang digunakan untuk membuat kebijakan yang bersumber dari instansi resmi negara seringkali tidak sinkron satu sama lain. Apalagi pada tataran perumusan dan eksekusi kebijakannya di lapangan.

 

Kita sebenarnya sudah mengarah pada situasi darurat pangan untuk jangka yang tidak terlalu lama. Celakanya, para pemangku kepentingan belum melihat problem pangan sebagai masalah serius, apalagi darurat. Pemerintah bukan saja lemah mengintegrasikan ketersediaan lahan, tapi juga terkesan membiarkan infrastruktur pertanian tidak terurus. Lebih dari 52% irigasi rusak parah. Karena itu, para pemangku kepentingan harus sigap menempuh tiga langkah sekaligus, yakni jangka pendek, menengah, dan panjang untuk melakukan penyelamatan. Krisis pangan bisa benar-benar menjadi kenyataan jika persoalan yang sangat serius itu masih dipandang biasa-biasa saja. Krisis pangan terjadi tidak lain karena distribusi yang rusak. Rusaknya distribusi ini adalah dampak logis dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis secara global.

 

Untuk mengatasinya, jelas diperlukan suatu sistem alternatif. Sistem anternatif tersebut harus mampu mengatasi rusaknya distribusi yang terjadi di sektor pertanian mulai dari distribusi sarana produksi pertanian (Saprotan) hingga distribusi hasil pertanian. Sistem alternatif itu juga harus mampu mencegah terjadinya kegiatan spekulatif yang dapat memicu gejolak pasar. Sistem alternatif itu adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Negara Khilafah diyakini mampu mengatasi masalah krisis pangan. Sistem ekonomi Islam dengan politik pertaniannya sejak dari awal mampu mencegah terjadinya kerusakan distribusi di sektor produksi pertanian, sektor pengolahan hasil pertanain serta sektor perdagangan hasil pertanian.

 

Pandangan Islam dalam Pertanian

 

Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang  pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.  Imam Ahmad telah mengeluarkan hadits dengan sanad yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: “Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di dalamnya”.

 

Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu.  Rasul saw bersabda: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).

 

Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang.  Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil. Abu Yusuf meriwayatkan di dalam kitab al-Kharâj dari Umar bin al-Khathab: “Tidak ada hak bagi orang yang memagari tanah mati setelah tiga tahun”.

 

Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS. at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan.  Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

 

Praktek pengendalian supply seperti itu pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada  waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash  tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir)  dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

 

Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, kita semakin menyadari betapa rusak dan bobroknya sistem Kapitalisme, yang karenanya harus segera dihancurkan, kemudian diganti dengan sistem Islam. Caranya, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, yaitu dengan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.

Wallahu a’lam.

 

 

  • Bagikan