Ironi Plastik Berbayar

  • Bagikan
Naowati S.Kom.Foto: Ist

Oleh : Naowati S.Kom
(Aktivis MHTI Sultra)

 

Pemerintah mulai mengujicoba penerapan kantong plastik berbayar di ritel modern di Indonesia pada 21 Februari 2016. Ujicoba tersebut serempak dilakukan di 17 kota seluruh Indonesia, termasuk DKI Jakarta. Nantinya saat berbelanja, konsumen akan dikenakan pembayaran sebesar Rp 200,- per kantong plastik. (http://m.liputan6.com/bisnis/read/2441282/mulai-hari-ini-belanja-pakai-kantong-plastik-bayar-rp-200).

 

Bagaimana dengan Kota Kendari? Pemerintah Kota Kendari saat ini sedang intens melakukan sosialisasi penggunaan kantong plastik berbayar. \”Sosialisasi ini mulai kami lakukan di tempat pusat perbelanjaan dan pasar-pasar tradisional yang ada di Kota Kendari,\” kata Kepala Badan lingkungan Hidup (BLH) Kota Kendari, Rusnani, di Kendari, Kamis (Sultra.antaranews.com/Daerah/Kota kendari/25 Februari 2016).

 

Sampai tulisan ini dibuat, sudah ada beberapa minimarket di Kendari yang menerapkan kebijakan plastik berbayar. Menurut pemerintah, kebijakan ini diterapkan untuk mengurangi penggunaan plastik dan menekan dampak buruk limbah plastik terhadap lingkungan.

 

Menyoal Sampah Plastik

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam 10 tahun terakhir, ada 9,8 miliar lembar kantung plastik digunakan oleh masyarakat Indonesia tiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, hampir 95% jadi sampah. Kresek yang jadi sampah: 95% x 9,8 m=9,31 milyar lembar (news.unair.ac.id).

 

Setiap menit masyarakat mengonsumsi 1 juta plastik. Sedangkan plastik tertentu butuh 400 tahun untuk menguraikannya (data versi Kementerian Lingkungan Hidup).

 

Data lain menyebut, konsumsi plastik di Indonesia mencapai 9,6 juta lembar per hari. Itu hanya di ritel modern. Jumlah itu bisa menutupi lahan seluas 21.024 hektar atau setara dengan luas Kota Bandung dan sekitarnya. Produk plastik yang diklaim ramah lingkungan pun, tidak benar-benar terurai. Melainkan hanya “menghancurkan” diri menjadi mikroplastik. Jadi plastik kecil-kecil yang lebih kecil dari 1 mikron. Kalau masuk laut mirip plankton.

 

Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI, Agus Haryono mengatakan, bahan ini menjadi berbahaya bila masuk ke dalam rantai makanan melalui ikan, biota laut, hingga masuk ke dalam tubuh manusia (Koran Jakarta, 4/3/16).

 

Diet Plastik

Kebijakan plastik berbayar ini membuat sebagian orang terpaksa menoleh ke belakang, mencari jejak sejarah plastik ini, gimana ceritanya plastik yang tadinya gratis bahkan mungkin kita sendiri sering menghambur-hamburkannya atau menumpuknya di sudut dapur karena kebanyakan plastik akibat belanja di minimarket atau dipasar, tiba-tiba jadi dihargai ketika hendak belanja di minimarket atau bahkan supermarket?

 

Kita semua pasti sepakat bahwa plastik adalah hasil penemuan teknologi yang revolusioner. Suatu produk yang sangat mempermudah aktivitas manusia. Bahkan mengubah perilaku, mengubah budaya.

 

Di masa lalu, jika ibu ibu ke pasar harus membawa bakul, maka generasi kita saat ini dimanjakan dengan kantong kresek gratisan. Selang beberapa waktu kemudian plastik (kantung kresek) ini memunculkan dampak negatif, volume plastik yang sudah di luar ambang batas, memunculkan kebijakan untuk mengendalikannya. Diet plastik dalam kebijakan plastik berbayar ini salah satunya.

 

Mengurai Titik Kritis

Beberapa titik kritis perlu dicermati dari kebijakan ini, seperti, uang penjualan plastik itu masuk ke mana? Benarkah digunakan untuk program penyelamatan lingkungan? Apakah kebijakan ini efektif untuk mengurangi sampah plastik? Apakah tidak ada kebijakan lain tanpa “membebani” rakyat?

 

Bila meneropong dengan jeli, kebijakan plastik berbayar hanya akan mengurangi sedikit penggunaan plastik, bukan solusi tuntas menyelesaikan masalah lingkungan. Karena plastik berbayar tidak menyentuh produsen/pabrik plastik sama sekali. Artinya produksi jalan terus tiap jam tiap saat. Inilah sistem kapitalis yang memanjakan para kapital/pebisnis/perusahaan, dan “mencekik” atau “memalak” rakyat dengan berbagai dalih/alasan.

 

Masyarakat yang pragmatis akan memilih beli plastik (sekalipun berbayar) daripada membawa tas dari rumah, demikan pula kalangan menengah keatas. Dan yang akan membawa plastik dari rumah mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu, atau orang-orang yang mau berhemat karena alasan kondisi keuangan. Jika demikian, bisa diprediksi sampah plastik akan tetap banyak. Sehingga plastik berbayar tak berarti sama sekali bagi pengurangan limbah plastik.

 

Lalu, ke mana larinya uang plastik berbayar itu? Kabarnya peritel akan mengembalikan uang itu kepada masyarakat dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR). Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) membantah tudingan mencari untung dengan kebijakan kantong plastik berbayar Rp200 per lembar. Pengusaha ritel memastikan akan mengembalikan uang konsumen tersebut melalui program tanggungjawab sosial perusahaan.

 

\”Harga kantong plastik Rp200 adalah batas minimum untuk ujicoba. Artinya kalau ada pemasukan dari itu, bukan berarti ritel menjadi untung atau mencari untung,\” tegas Ketua Umum Aprindo Roy N Mande seperti dikutip Liputan6.com, Jakarta, Minggu (21/2/2016).

 

Jika uang CSR terkumpul pun, kebijakan ini menunjukkan betapa pemerintah lepas tangan dari masalah penanganan lingkungan. Artinya, mengalihkan tanggungjawab pengelolaan lingkungan pada pihak lain, dalam hal ini perusahaan peritel.

 

Menurut Prof. Ir. Agoes Soegianto, DEA, selaku dosen di Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga (FST UNAIR), kebijakan plastik berbayar belum dirasa tepat. Cara paling efektif menekan jumlah limbah plastik adalah dengan memperbaiki proses pengolahannya.

 

“Seperti kita tahu, pemisahan sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) masih belum dilakukan. Ini murni tanggungjawab pemerintah yang harus mengurusnya. Tidak dengan cara membebankan pada masyarakat untuk menekan peredaran plastik,” jelas Prof. Agoes ketika ditemui ruangannya, Senin (22/2).

 

Apalagi sistem yang diterapkan saat ini justru ikut berkontribusi menghancurkan lingkungan. Sistem kapitalis yang diterapkan negara inilah, yang membuat produk-produk berbahan tidak ramah lingkungan marak beredar.

 

Padahal seharusnya bisa saja dicegah dengan kebijakan mengetatkan penggunakan bahan kimia berbahaya dan sebagainya. Sistem pengelolaan lingkungan di Indonesia juga banyak disorot karena terkesan serampangan. Seperti menyerahkan hutan pada pengusaha hitam. Membiarkan pembalakan liar, pembakaran hutan, longgarnya izin Amdal, dll.

 

Walhasil, pemerintahan sendiri dengan kebijakannya, turut berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan. Maka kebijakan diet plastik di sini baru berefek individual. Belum berdampak sistemik.

Penutup

Permasalahan sampah merupakan tanggungjawab pemerintah yang membutuhkan komitmen dan dukungan masyarakat. Ke depan kita berharap negara dapat memberikan pendidikan kepada rakyat untuk menjaga lingkungan, mengetatkan pembuangan sampah secara terpisah dan menjaga kebersihan lingkungan.

 

Pemerintah juga harus memiliki komitmen dan tindakan untuk mengolah sampah serta menerapkan kebijakan yang menjamin lingkungan yang sehat dan bersih, serius membuat kebijakan kepada produsen/pabrik plastik berupa aturan harus memproduksi plastik yang ramah lingkungan dan mudah terurai. Jika tak ada lagi produsen “plastik tak ramah” maka berikutnya seluruh rakyat tak akan dapat mencemari lingkungan dengan plastik-plastik tersebut, karena plastik tersebut memang sudah tidak ada lagi, karena tak diproduksi oleh pabrik-pabrik itu. Wallahu A’lam. (*)

  • Bagikan