Jembatan Bahteramas, Paku Jaya dan Resentralisasi Pembangunan

  • Bagikan
La Husen Zuada (Dosen FISIP Untad, Palu)
La Husen Zuada (Dosen FISIP Untad, Palu)

Oleh: La Husen Zuada (Dosen FISIP Untad, Palu)

Berdirinya jembatan Bahteramas (Teluk Kendari) menghadirkan pujian dan kekaguman akan karya monumental yang konon telah direncanakan cukup lama oleh para gubernur yang memimpin Sulawesi Tenggara. Jembatan Bahteramas kini menjadi ikon baru Sulawesi Tenggara (Kendari) yang gampang diingat dan instagramable dikalangan milenial.

Masyarakat Sulawesi Tenggara yang berada diperantauan kini merindukan kampungnya yang mulai bangkit mensejajarkan diri dengan daerah lain. Tidak ketinggalan para warga Sulawesi Tenggara yang bertempat tinggal dipelosok kampung, seperti: Sabulakoa (Konawe Selatan), Tapi-Tapi (Muna) hingga wilayah terluar di laut Banda. Kini mereka ingin berkunjung ke ibu kota Sulawesi Tenggara, sekedar menyaksikan dan berfoto di jembatan Bahteramas. Upaya mereka sangat kuat meski harus bersusah payah untuk menjangkaunya, akibat dari masih terisolirnya kampung mereka. Mereka tampak memiliki semangat layaknya pendaki gunung yang bersusah payah demi mencapai puncak, meski melewati ngarai dan jurang yang sulit.

Sangat paradoks dengan kemegahan dan kemajuan pembangunan Kota Kendari, Desa Paku Jaya masih  terkurung dalam keterisolasian. Desa yang terletak diperbatasan Konawe dan Konawe Utara itu dapat ditempuh dalam waktu 30 menit melewati jembatan Pohara, dan 20 menit melalui Pincara (sejenis Rakit) dari Kota Kendari. Paku Jaya persis berada dibelakang industri terbesar pengolahan nikel Morosi, yang mempekerjakan tenaga kerja asing dan ribuan tenaga kerja lokal. Begitu dekat, jika melempar benda, akan mengenai atap pabrik yang menjadi penggerak ekonomi Sulawesi Tenggara dan Indonesia (investasi). Tak tanggung-tangung investasi di Morosi menurut laporan Tempo mencapai 1,4 miliar US $ 1.

Sejak Kawasan Industri Morosi beroperasi, masyarakat Paku Jaya yang bermata pencaharian sebagai petani (sawah) dan peternak (sapi), secara perlahan mulai beralih profesi sebagai penjual dan pekerja industri yang membutuhkan skill. Infrastruktur jalan melewati desa Paku Jaya, selama hampir lima tahun mengalami kerusakan parah, tanpa ada kepedulian dari pemerintah maupun investor. Akibatnya para sopir mobil penumpang dan warga yang melintasi jalan ini memilih untuk menggunakan transporasi alternatif (Pincara), agar lebih cepat dan sedikit mengurangi guncangan. Ini cukup mengobati rasa kecewa mereka terhadap pemerintah pada setiap pemilu yang menebar janji. Berkebilkan dengan itu, sopir truk yang membawa sembako dan hasil alam ke Konawe Utara dan Kendari terus berjuang melewati jalan ini dengan goncangan dan debu yang mengepul. Tak ada alternatif lain bagi mereka, demi asap dapur mereka tetap mengepul dan ekonomi masyarakat tetap jalan. Warga yang tinggal di Paku Jaya harus beradaptasi dengan perubahan sosioekologis mereka.

Paku Jaya meski lokasinya berada disekitar industri, namun pembangunan disana sangat jauh dari kemajuan. Paku Jaya dan daerah-daerah daya lain di Sulawesi Tenggara yang mengalami kelimpahan sumber daya, namun tetap terisolir, persis seperti teori Michael L. Ross tentang kutukan sumber daya (Resource Curse). Dalam pandangan Ross, bahwa daerah kaya sumber daya tidak otomatis menjadikan lebih sejahtera, sebaliknya bisa saja menjadi kutukan yang memunculkan masalah sosial, ekonomi, politik, lingkungan dan korupsi yang menggurita, yang semakin pelik dan sulit di atasi.

Paku Jaya adalah satu dari banyak ‘Paku Jaya’ lain di Sulawesi Tenggara yang masih terisolir akibat dari minimnya kepedualian dan miskin visi para pemimpin politik lokal. Para pemimpin di tingkat lokal di era otonomi daerah lebih memilih membagun karya yang monumental, guna menanamkan memori kolektif bagi generasi selanjutnya, bahwa mereka pernah membangun. Potret ini persis seperti diceritakan Vedi R. Hadiz, pakar ekonomi politik yang mengajar di University of Meulborne, Australia. Menurut Prof Vedi pemimpin politik pasca Seoharto memilih mengejar populisme melalui karya-karya monumental. Tentang apakah pembangunan yang mereka lakukan memililih efek ekonomi, sosial dan politik yang positif maupun negatif bagi lokal, itu adalah soal lain. Dalam teori pembangunan keberadaan jembatan Bahtermas kecil atau besar akan memberikan multiplier effect bagi masyarakat dan sektor ekonomi lainya. Namun apakah efek ini memberikan dampak positif bagi kabupaten lain di Sulawesi Tenggara, ini memerlukan kajian tersendiri.

Paku Jaya dan Jembatan Bahteramas adalah potret pembangunan yang resentalistik di daerah. Dampak dari pembangunan sentralistik telah diceritakan guru saya di Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago dalam bukunya Gagalnya Pembangunan. Lewat buku itu Bang Nof menujukkan bukti bahwa krisis ekonomi-politik 1998, tidak berdiri sendiri atau muncul tiba-tiba, namun merupakan akumulasi dari corak pembangunan yang sentralistik (Jakarta Sentris) era Soeharto.  Sentralisasi pembangunan telah menyebabkan mobilisasi penduduk dari luar Jakarta menuju Jakarta yang tidak terkontrol. Akibatnya memunculkan banyak masalah sosial (pengemis, kriminalitas, dan penggusuran), masalah ekonomi (kemiskinan) dan politik bagi Jakarta dan daerah lain. Semoga berdirinya jembatan Bahtermas semakin memperkuat modal sosial ekonomi masyarakat Sulawesi Tenggara secara menyeluruh, sejalan dengan tujuan desentralisasi, bukan sebaliknya memperkuat posisi oligarki ekonomi politik di tingkat lokal.***

  • Bagikan