Seandainya jembatan kuning pasar baru yang membelah Sungai Wanggu itu adalah barang di marketplace, tentu tidak akan ada orang yang mau membeli. Harganya Rp 37 miliar, dilabelnya tertulis begitu untuk 2 (dua) buah jembatan, tetapi kita hanya bisa mendapat 1 (satu) jembatan saja. Idealnya, yang berlaku di pasaran adalah harga bundling, beli satu, dapat dua. Kita rugi kone.
Ilustrasi itu sepertinya pas untuk menggambarkan kondisi jembatan yang hingga saat ini hanya bisa digunakan satu jalur. Akibatnya, satu jalur lainnya terpaksa memanfaatkan jembatan lama yang kondisinya sedemikian rupa. Jembatan lama ini bahkan siap segera dirobohkan pihak berwenang jika kedua jalur jembatan sudah berfungsi.
Di mana benang kusutnya? Beberapa waktu lalu Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) XXI Kendari, Yohanis Tulak Todingrara menyatakan tersendatnya jembatan pasar baru karena masalah pembebasan lahan warga.
Konon Pemprov Sultra baru membebaskan dua ruko di sekitar area itu, sementara masih ada tanah kosong yang dilalui serta bagian yang berhadapan dengan posisi BRI. Hal itu mengacu pada perencanaan bahwa jalur antara lampu lalu lintas dan jembatan pasar baru harus lurus tidak ada belokan.
Hal lain, setidaknya ada sejumlah masalah dalam upaya pembebasan lahan warga. Pertama, masih diperlukan langkah penyelesaian penentuan lokasi. Kedua, luasan lokasi yang perlu dibebaskan dan ketiga pengalokasian anggaran.
Jika mencermati persoalan di seputar pembebasan lahan warga ini, pemerintah provinsi adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Pihak BPJN sampai saat ini menyatakan siap menyelesaikan pembangunan jembatan, jika masalah lahannya sudah selesai. Jembatan yang sudah digunakan sejak tahun 2018 seolah diabaikan penyelesaiannya. Begitu juga sudah bagus, mungkin begitu kira-kira ada yang dibenak petinggi Sultra.
Fakta ini sekali lagi menunjukkan level kemampuan Pemprov Sultra dalam menangani masalah. Bagaimana mungkin membangun sebuah jembatan tanpa menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan warga yang terkena proyek? Di mana-mana, pembebasan lahan adalah hal utama yang harus diselesaikan, dan kali ini adalah domain pemerintah provinsi.
Saling tuding antara Pemprov Sultra dan BPJN tampak dari pernyataan Kepala Biro Pemerintahan Setda Sultra, Ali Akbar yang dikutip dari sebuah media di Kendari meminta pihak BPJN bersurat jika menginginkan jalur jalan yang lurus dari arah lampu merah pasar baru. Konon karena sebelumnya pihak balai hanya menyampaikan 2 ruko itu saja yang bermasalah, makanya itu saja yang dibebaskan. “Satu ruko itu ada yang 2 miliar lebih, dan ada lagi yang 1,9 miliar. Jadi kedua ruko itu sudah tuntas dan clear,” terangnya.
Selebihnya menurut pejabat ini, tanah kosong akan dituntaskan di anggaran perubahan. Sementara terkait bangunan BRI dan bangunan lainnya belum ada pembahasan. Regulasi ganti rugi ini perlu dibuat secepatnya agar bisa dianggarkan.
Itu bagian serius dari masalah jambatan kuning pasar baru, soal anggaran yang memang tidak mudah, rumit karena birokrasi yang membelit. Belum lagi ego sektoral yang sudah berkarat lama di birokrasi. Hal-hal semacam ini jelas merugikan rakyat yang seharusnya sudah menikmati fasilitas jembatan itu dengan sempurna.
Beruntung, warga Sultra itu immortal (tidak ada matinya), dikasih fasilitas seadanya meski hak mereka lebih dari itu, tidak pernah protes. Sementara pajak kendaraan adalah tambang terbesar PAD Provinsi Sultra, di tahun 2018 saja jumlahnya Rp 700 miliar. Gubernur Sultra, Ali Mazi saja pernah mengilustrasikan, bahwa kalau tidak punya kendaraan berarti kita tidak punya PAD. Pungutan pajak kendaraan ini terus meningkat dan angkanya sudah hampir menyentuh Rp 1 triliun.
Kaitannya jelas, bahwa warga Sultra yang sudah membayar pajak kendaraan, tentu berhak atas penyediaan fasilitas yang layak termasuk jembatan. Tidak perlu mempertontonkan egoisme sektoral itu di hadapan publik. Selesaikan masalah jembatan kuning pasar baru. Kalau perlu anggarkan rapat koordinasi semua stakeholder dan bahas di balik tembok hotel mewah lengkap dengan SPJ berhari-hari, warga tidak peduli karena kami tidak ada matinya.
Penulis: AS Amir