Jokowi, Prabowo dan Negara Kesejahteraan

  • Bagikan
La Husen Zuada
La Husen Zuada

SULTRAKINI.COM: Bumi dan air serta kekayaan alam yang ada didalamnya dikuasasi oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Begitulah bunyi pasal 33 yang tertuang dalam konstitusi kita UUD 1945. Pasal ini menegaskan bahwa negara memiliki peran besar dalam mengatur perekonomian guna menciptakan kesejahteraan masyarakatnya. Konsepsi ini, oleh para pakar dan kita bangsa Indonesia menyebutnya dan meyakini bahwa inilah penciri dari ideologi pancasila.

Dalam negara pancasila, negara berkewajiban mensejahterakan rakyatnya, mengatur perekonomian, mewujudkan keadilan atau dalam istilah populernya peran negara itu maksimal. Dari prinsip itu, maka bila kita melihat kembali nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi-ideologi dunia, maka ideologi pancasila inimemiliki kemiripan dengan konsepsi negara kesejahteraan (social welfare).

Meskipun demikian, dalam perdebatan akademik, konsep negara kesejahteran ini kita kadang sedikit angkuh dan malu-malu menyebut, bahwa Indonesia berdasarkan konstitusi, secara subtansi menganut konsep negara kesejahteraan. Dalam banyak hal kita—ilmuwan maupun bukan ilmuwan—seringkali mempertentangkan antara negara pancasila dan negara kesejahteraan, bahwa keduanya memiliki perbedaan. Pada pertentangan itu, saya memposisikan diri sebagai kelompok yang memandang adanya kesamaan antara negara pancasila dan konsepsinegara kesejahteran.

Peran Negara dalam negara kesejahteraan

Konsepsi negara kesejahteraan berawal dari kegagalan pasar (liberalisme klasik) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Krisis yang melanda Amerika yang populer disebut dengan great depression pada 1930-an nyaris meruntuhkan negara-negara penganut ideologi liberalisme. Krisis ini memunculkan keraguan banyak pihak tentang tesis kaum liberalisme bahwa pasar akan berperan menyelesaikan krisis tanpa perlu adanya campur tangan negara (pemerintah).

Sejak itu, konsep welfare state yang dipopulerkan Jeremy Bentham (1748-1832)pada abad 18, dimana pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness bagi warganya, secara perlahan mulai diadopsi oleh negara-negara penganut liberalisme, khususnya negara-negara Eropa Barat.

Pada sisi yang lain, pilihan terhadap konsepsi negara kesejahteraan ini merupakan sebuah penolakan terhadap ideologi komunisme yang ditawarkan oleh Karl Marx, dimana individu tidak diperbolehkan memiliki kepemilikan pribadi, sebaliknya kepemilikan adalah milik bersama yang dimonopoli oleh negara. Pandangan Karl Marx ini selain utopis, mengancam kebebasan individu warga negara, juga gagal mewujudkan sebuah negara yang maju. Sebaliknya negara-negara yang menganut komunisme runtuh dengan sendirinya akibat kemiskinan, perang dan kegagalan mengelola kemajemukan yang berujung pada konflik internal dan perpecahan.

Belajar pada kegagalan liberalisme dan komunisme tersebut, negara kesejahteraan yang populer disebut sebagai negara yang menganut paham sosial demokrasi, hadir sebagai ideologi ‘jalan tengah’. Menurut Esping-Anderson (Triwibowo & Bahagijo, 2006; 9), negara kesejahteraan pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warga negaranya.

Secara sederhana, konsepsi negara kesejahteraan memandang bahwa negara tidak boleh terlampau pasif dalam mengatur perekonomian sebagaimana pandangan kaum liberalis, akan tetapi negara juga tidak boleh hiperaktif dalam mengatur perekonomian sebagaimana pandangan kaum marxisme.

Antara Jokowi dan Prabowo

Bila melihat perdebatan dalam Pilpres 2019, masing-masing calon baik Prabowo dan Jokowi berupaya mewujudkan sebuah negara kesejahteraan. Dalam setiap pidato Prabowo seringkali megutip pasal 33 UUD 45 sebagai upaya menarik dukungan pemilih. Pidato Prabowo ini ingin menegaskan tentang peran negara dalam mengatur perekonomian. Pernyataan tersebut sangat populis bagi kalangan pemilih.Namun demikian, pidato Prabowo ini tampak lebih terlihat seperti jargon semata ketika ia gagal menjelaskan dalam sebuah konsep yang programatik.

Lain halnya dengan Jokowi yang jarang mengutip pasal 33, namun dalam konsep operasionalnya ia tampak lebih memahami bagaimana mewujudkan sebuah negara kesejahteraan. Keberadaan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang dibagikan kepada rakyat miskin agar mendapatkan akses pendidikan. Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dibagikan kepada kaum miskin agar mendapatkan pelayanan kesehatan. Serta Kartu Pra Kerja yang intinya memberikan bantuan keuangan (gaji) bagi mereka yang belum bekerja. Pemberian subsidi BBM bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan berbagai program pemberdayaan—PKH, PPIP, dll—yang didanai oleh pemerintah. Adalah menjadi wujudnyata dari sebuah model negara kesejahteraan.

Di negara kesejahteraan akses pendidikan dan kesehatan yang terjangakau menjadi tanggung jawab negara untuk merealisasikannya. Dalam negara kesejahteraan, mereka yang menganggur (tidak bekerja) dibebani (gaji) oleh negara. Dari sisi fisikal keberadaanKIP, KIS, program pemberdayaandan berbagai kartu lainnya membebani keuangan negara, karena ini berarti subsidi negara menjadi meningkat. Akan tetapi hal ini menjadi tanggung jawab dan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan konstitusi kita, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia. Jika negara ingin mengurangi beban akibat subsidi, maka negara harus memacu diri menyediakan lapangan kerja, menurukan kemiskinan dan meningkatkan kualitas kesehatan. Itulah tanggung jawab negara dalam konsepsi negara kesejahteraan.

Oleh: La Husen Zuada (Dosen FISIP Universitas Tadulako, Palu).

  • Bagikan